Indikasi Perubahan
Oleh Sugeng Waras - Purnawirawan TNI AD
Semua yang ada di dunia, selama hal itu hasil dari ulah dan buatan manusia, tidak ada yang kekal, mustahil abadi, sebesar, sekecil, setinggi, sedalam, sebanyak apapun yang dihasilkan, pasti ada batasnya, tidak ada tepi yang tidak bertepian.
Begitu juga fenomena di Kabinet Jokowi, adanya keanehan, keganjilan dan kelucu- lucuan para pembantunya bisa diindikasikan sebagai bentuk kepanikan, ketakutan dan keputusasaan, jelang akhir masa kekuasaan, mungkinkah juga terbayang hotel prodeo yang jendelanya berjeruji besi.
Ambil contoh, ada salah satu Menteri Koordinator, yang lantang berteriak menyiratkan kesombongan dan keangkuhan bahwa selain pemerintah jangan banyak ngomong, jangan ikut campur.
Loh sadar nggak, negara bukan hanya milik pemerintah atau penguasa saja, akan tetapi milik kita semua, rakyat, bahkan bisa didaulat rakyat karena ada asas kedaulatan di tangan rakyat.
Jadi jika ada amburadul atau carut marutnya pemerintah, layak dan berhak rakyat bersuara, ini dijamin dan dilindungi undang undang.
Di sisi lain ada juga menteri, tampaknya menteri baru. Barangkali bermaksud baik dengan percaya diri spontan melarang berbisnis pakaian impor bekas, otomatis membuat panik rakyat kecil yang berharap mengadu nasib melalui perjuangan hidup berjualan, apalagi jelang puasa dan lebaran.
Lebih konyol lagi bak mengikuti cara-cara yang lain, 1200 ton pakaian bekas yang disita dimusnakan dengan cara dibakar atau dihanguskan seperti barang haram, narkoba. Apakah pembakaran itu sebagai simbul saja ataukah akan dihanguskan semuanya?
Meskipun itu pakain bekas tapi banyak yang branded dan perlu koordinasi dengan pak menteri yang lain karena ada impor garam, impor beras, impor TKA dan lain-lain yang muaranya untuk mendukung perekonomian Indonesia.
Kalau narkoba bisa dipahami, karena bisa membahayakan manusia bahkan bisa mati meskipun narkoba juga bisa digunakan untuk campuran bahan obat obatan dalam katagori penyakit tertentu.
Jadi pak Mendag, saran saya pakaian bekas itu jangan dihanguskan, karena masih bisa dimanfaatkan untuk keadaaan darurat seperti ada terjadinya gempa, rakyat masih membutuhkan pakaian itu, koordinasikan dan tawarkan kepada Mensos.
Begitu juga kasus kasus-korupsi yang terjadi di Kemenkeu, KemESDM dan lainnya.
Semua itu dapat diindikasikan cari kesempatan dalam kesempitan, bisa juga sebagai cara untuk penghasutan atau alih perhatian.
Apapun yang dipikir dan dikerjakan oleh para penguasa, kayaknya sudah melihat dan menyadari batas akhir kekuasaan.
Mereka menyadari tidak akan mampu lagi menunda Pemilu 2024 atau memperpanjang masa jabatanya, karena sikap rakyat bak samodera yang bergelombang.
Samodra bermakna luas pandangan dan jangkauan, sedangkan gelombang bak gerakan yang pantang berhenti.
Ini juga bagian dari proses, perkembangan dan dinamika yang disuguhkan oleh pemerintah kepada rakytanya sendiri, sehingga berakibat sifat dan sikap rakyat yang tadinya pasif, apatis menjadi, peka, peduli, proaktif dan sensitif.
Menjadi ingat kisah Raja Fir'aun dan Musa, David dan Goliath yang menggambarkan si lemah yang menggulingkan si kuat, meskipun ada kisah lain yang memaknakan si penguasa dzolim yang tak terkalahkan justru menjadi peluang dan tiket untuk masuk surga karena hidup mulia mati syahid.
Memang, tampaknya batas pemberani dan penakut hanya beda-beda tipis.
Sang pemberani karena keberanianya yang sangat luar biasa akhirnya menjadi ketakutan sendiri. Sebaliknya sang penakut karena ketakutannya yang amat sangat berubah menjadi sangat pemberani.
Semoga kita yang merasa takut, panik, gamang akan berubah menjadi berani, tenang, yakin untuk menegakkan kejujuran, kebenaran dan keadilan yang tak kenal pantang mundur dan menyerah, kecuali hanya berpasrah kepada-Nya.
Mari kita songsong, perubahan NKRI yang lebih baik dengan tetap mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Bandung, 29 Maret 2023.