Istafti Qalbak!

Imam Shamsi Ali, NYChhc Chaplain/Presiden Nusantara Foundation

Oleh: Imam Shamsi Ali, NYChhc Chaplain/Presiden Nusantara Foundation

TULISAN yang sama pernah saya tuliskan beberapa waktu yang lalu. Tapi mengingatkan “Adz-dzikra” itu selalu bermanfaat bagi yang punya iman (lil-mikminin) maka saya angkat kembali. Maklum kebohongan yang paling berbahaya adalah ketika sudah terjadi “kebohongan pada diri” sendiri.

Kita sepenuhnya sadar jika sekeliling hidup manusia itu, selain banyak menipu dan sangat keras (hard), juga terkadang kejam (harsh). Saking menipu dan kerasnya seringkali warna-warni kehidupan disulap terbolak-balik. Yang hitam bisa jadi putih. Yang putih bisa jadi hitam. Dan, manusia begitu lemah mengekor kepada warna yang direkayasa sesuai kecenderungan hawa nafsunya.

Di sinilah Islam hadir memberikan solusi. Minimal ada tiga tingkatan solusi untuk menyelamatkan diri dari kemungkinan menjadi korban kerasnya rekayasa warna hidup, yang kadang berujung pada tendensi kemunafikan itu.

Pertama, bersikap bagaikan pohon subur yang akarnya menghunjam kuat ke dalam tanah. كشجرة طيبة اصلها ثابت. Sebuah ilustrasi bahwa orang beriman itu tidaklah mudah terwarnai oleh lingkungan sekitar. Tidak saja kuat, tapi juga subur dan memberikan buah-buah segarnya.

Kedua, Islam mengajarkan istiqamah atau konsistensi dalam warna iman kita sendiri. Pujian dan janji Allah kepada orang yang beriman (قالوا ربنا الله) lalu istiqamah (ثم استقاموا) bahwa mereka akan mendapatkan ketenangan hidup dunia akhirat. Bahkan bacaan kita: اهدنا الصراط المستقيم (tunjuki kami ke jalan yang lurus) bermakna antara lain “kuatkan kami untuk istiqamah” atau konsisten di jalan kebenaran.

Ketiga, Islam tidak saja mengajarkan orang-orang beriman untuk solid dan konsisten dalam kebenaran. Tapi lebih dari itu memerintahkan mereka untuk menjadi agen perubahan. Ajaran “amar ma’ruf nahi mungkar” bermakna antara lain agar Umat ini harus berjuang untuk “membentuk” keadaan dan jangan “dibentuk” oleh keadaan.

Tapi ada masa-masa di mana manusia lemah. Sering mengalami kegalauan akibat kerasnya alam sekitar. Apalagi di saat-saat ketika kecenderungan beragama itu mengikut arus emosi sesaat atau kepentingan sesaat. Terlebih lagi di saat kelemahan itu didukung oleh fitnah yang merajalela di mana-mana.

Di saat-saat seperti itulah kita diingatkan sebuah pesan Rasulullah SAW yang mengatakan: “استفت قلبك” (mintalah fatwa kepada hatimu).

Tentu Fatwa di sini bukan meminta sebuah keputusan hukum dalam agama. Tapi dalam  bahasa yang sederhana dapat diartikan “nasehat, arahan, petunjuk, bimbingan” dan yang semakna.

Di saat fitnah merajalela, trust (kepercayaan) kepada umara bahkan Ulama menurun, bahkan seringkali membingunkan. Di saat seperti itulah yang harus menjadi rujukan terakhir untuk menjadi pertimbangan dalam menyikapi dan/atau mengambil sebuah keputusan hidup adalah hati.

Pesan Rasul ini secara khusus menekankan hati sebagai bukti bahwa hati itu selama masih “hidup” harusnya bersifat suci (fitrah). Dengan kata lain, hati itu bersih, bening, berkarakter suci. Dengan kata lain karakter dasar dari hati adalah bersih, tidak kotor dan bukan dusta dan kepura-puraan.

Esensi pesan Rasul ini ada pada penekanan akan kejujuran hati. Karena memang karakter aslinya yang fitri. Sebuah karakter yang tidak akan berubah (لاتبديل لخلق الله).

Realita ini dalam bahasa sederhana biasa diungkapkan dengan “kata hati” atau “bisikan nurani”.

Sekaligus realita ini pula yang mengantar kepada kesimpulan bahwa kebohongan yang paling buruk adalah kebohongan pada diri sendiri. Karena dalam diri yang didustai itu ada kejujuran yang tak tertutupi atau fitrah manusia yang identik dengan “kesucian ilahi” (fitratullah).

Kedustaan pada diri dan kejujuran hati menjadi dua situasi yang paradoks dalam diri seseorang. Suasana yang paradoks (kontra) ini yang menjadikan seseorang itu selalu merasa terburu (being hunted). Bahkan, ada perasaan tertekan yang dalam. Tidak akan merasakan kedamaian walau kadang nampak/berpura-pura tersenyum.

Dalam sebuah hadits Rasulullah mengekspos realita ini. “Al-itsmu maa haaqa fii sodrika” (dosa itu adalah sesuatu yang selalu menghantui di dadamu”. Kebohongan pada orang lain hanya akan menjadi hantu (hunting) di dada orang yang berdusta.

Dan karenanya dalam menyikapi hidup yang penuh tipuan, baik pada diri sendiri maupun orang lain, baiknya hati selalu menjadi rujukan. Mungkin jika ingin saya bahasakan secara sederhana: “jangan dustai dirimu”. Atau “jujurlah kepada hati nuranimu”.

Jangankan dalam urusan dunia, politik sebagai misal yang seringkali penuh dengan intrik dan kebohongan. Politisi tidak saja memakai baju koko dan songkok yang biasa dianggap sebagai simbol kesalehan. Bahkan sebagian mengekspos diri dengan ragam ritual. Ada yang tiba-tiba diberitakan rajin sholat dhuha, puasa sunnah, bahkan puasa Daud (setiap hari lagi).

Bahkan sebagian pula karena merasa kaya memaksakan diri mengadakan tempat ibadah untuk membangun imej  hebat sekaligus tokoh (perjuangan) agama. Padahal jika jujur dengan kata hatinya akan mengakui: “ada baiknya saya belajar dulu membaca Al-Quran yang benar”.

Kebohongan pada diri atau pengkhianatan pada hati nurani ini menjadikan orang-orang itu tertekan secara batin. Sehingga ada rasa khawatir dan takut yang mengharuskannya mencari perlindungan. Di sìnilah kerap mencari pelarian. Dan tidak jarang dengan cara-cara busuk untuk merusak orang lain.

Hawa nafsu mendirikan rumah ibadah karena kekecewaan, apalagi dengan tujuan busuk, disebut “kegiatan dhiror”. Masjid yang demikian dalam Al-Quran disebutkan “masjid dhiror”. Bagaikan masjid yang didirikan di Madinah oleh kaum munafik untuk merongrong ketenangan Komunitas Muslim dan dengan i’tikad merusak masjid Rasulullah SAW.

Menghadapi musim politik seperti saat ini kecenderungan beragama “dadakan” akan muncul di mana-mana. Tapi pada akhirnya Umat ini juga dituntut untuk selalu merujuk pada kata hatinya. Agar tidak mudah terbuai dan jatuh dalam pelukan buaya darat atau musang yang berbulu domba.

Yang mengherankan adalah ketika ada orang yang seharusnya berada pada posisi yang terhormat (honorable), justeru tidak saja jadi korban. Tapi menjadi pendukung fenomeno kebohongan dan pengkhiatan seperti ini.

Ingat, jujur dan apa adanya itu kadang pahit. Tapi lebih mulia dari “dzulwajhain” atau bermuka dua. Di hadapanmu tersenyum. Di belakang dia rela menikanmu. Pahit dalam kejujuran itu obat. Tapi manis dalam kebohongan itu penyakit.

Istifti qalbak” (minta fatwa pada hatimu)!

NYC Subway, 2 Agustus 2022. (*)

670

Related Post