Jejak Darah Biru Presiden Indonesia: Nggak Ada Jokowi!
Presiden Indonesia, kecuali Joko Widodo, adalah keturunan raja. Mereka berdarah biru. Wajar saja, jika Jokowi pun kini berjuang “membirukan” darahnya.
Oleh: Dimas Huda | Jurnalis Senior FNN
SEMILIR angin menerpa Ken Dedes, istri Tunggul Ametung. Kain yang menutup betis si Jelita ini pun tersingkap. Terlihatlah apa yang seharusnya tidak boleh dilihat lelaki lain. Ken Arok yang kala itu menjadi pengawal Tunggul Ametung menyaksikan keindahan tersebut. Anggota tubuh Ken Dedes yang biasa tersimpan rapi itu memancarkan sinar yang menyilaukan mata. Ken Arok pun terpana.
Penasaran, Ken Arok pun bertanya kepada “orang pintar” bernama Lohgawe. Peramal ini bilang bahwa Ken Dedes akan menurunkan raja-raja tanah Jawa. Mendengar hal itu, Ken Arok pun berhasrat merebut Ken Dedes dan menyingkirkan Tunggul Ametung.
Singkat cerita, Ken Arok pun sukses membunuh Tunggul Ametung dan memperistri Ken Dedes. Dalam perjalanan kisah ini Ken Arok sukses membangun wangsa yang gilang gemilang.
Ken Arok lahir di timur Gunung Kawi pada tahun 1182. Ia meninggal di istana Tumapel, Kutaraja pada tahun 1227. Ia menjadi pendiri dari Wangsa Rajasa dan Kerajaan Tumapel yang lebih dikenal dengan nama Kerajaan Singhasari. Ia memerintah sebagai raja pertama bergelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi pada tahun 1222.
Berdasarkan Serat Pararaton, Ken Arok digambarkan sebagai keturunan Dewa Brahma. Hal ini secara simbolis menggambarkan perbedaan status sosial kognitif Ken Arok di kemudian hari dengan anak-anak seusianya pada saat itu. Padahal nasab Ken Arok memang tidak jelas. Dia dikenal sebagai anak bandel di masa mudanya. Menjadi perampok ulung setelah itu. Jadi pengawal Tunggul Ametung dan dari sinilah, darah Ken Arok menjadi biru. Keturunan anak-anak Ken Dedes dari dirinya maupun dari Tunggul Ametung menjadi raja-raja Jawa.
Sudah menjadi kelaziman, bahkan takdir, anak-anak raja akan menjadi raja. Begitu juga Presiden Indonesia. Semua presiden RI memiliki darah biru. Leluhur mereka keturunan raja dari trah Brawijaya Majapahit.
Ya. Trah Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit yang terakhir banyak menurunkan raja-raja di Jawa. Kerajaan Majapahit, Kesultanan Demak, Pajang, Mataram Islam, hingga Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, Kadipaten Pakualaman dan Kesepuhan Cirebon semua masih satu garis trah keturunan dari sang Prabu Brawijaya.
Presiden Indonesia, Sukarno, HM Soeharto, BJ Habibie, KH Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputrai dan SBY adalah keturunan raja-raja Jawa trah Mataram.
Kanjeng Senopati KRMH Tommy Wibowo Hamidjoyo, Analisis Spritualis dan Pemerhati Budaya, menyebut Sukarno dan Soeharto berasal dari trah Mataram yaitu Sultan Hamengkubuwana II.
Presiden Sukarno
Tommy mengatakan Bung Karno adalah salah satu Putra Dalem Paku Buwono X. Dia termasuk anak Raja dari Kasunanan Surakarta. Bung Karno salah satu dari sekian putra raja PB X yang didapat dari salah satu para selirnya yang tidak dinikahi secara resmi.
“Selir itu wanita Bali bernama Ida Ayu Rai. Kala itu, Sinuwun PB X sebagai seorang raja biasa mengadakan kunjungan-kunjungan kerja kerajaan ke berbagai wilayah,” jelas Tommy dalam artikelnya berjudul “Jika Silsilah Benar, Semua Presiden Kita Bersaudara” yang dilansir laman Askara.
Lantaran Ida Ayu tetap di Bali tidak mau diajak ke keraton Surakarta maka Sinuwun PB X mengutus dan memberikan tugas seorang abdi dalemnya ke Bali. Abdi dalem itu bernama Sukemi. Tugas Sukemi adalah mengawasi, mengawal dan mengurusi kebutuhan hidup Ida Ayu.
Ida Ayu melahirkan di Surabaya pada 6 Juni 1901. Bayi laki-laki itu diberi nama Koesno Sosrodihardjo atau Soekarno. Nama Koesno sejatinya diambil dari nama kecil Sinuwun PB X yang bernama Malikul Kusno.
Setelah Ida Ayu melahirkan, PB X memerintahkan Sukemi menikahi selirnya itu. Masa kecil Sukarno pun hidup di Bali bersama orang tuanya, pasangan Ida Ayu dan Sukemi.
Trah ibunda Sukarno juga trah bangsawan Bali. Gde Pasek Suardika dan Izarman dalam buku “Bung Karno, Saya Berdarah Bali” menyebutkan Sukarno mewarisi sebilah keris dari kakeknya (ayahanda Ida Ayu Nyoman Rai). Keris itu diwariskan turun-temurun di keluarga Bale Agung yang masih keturunan Raja Buleleng, termasuk pernah digunakan kakek Sukarno saat menghadapi penjajah Belanda.
Walaupun Bung Karno tidak melegitimasi dan mengakui dirinya sebagai keturunan bangsawan Mataram atau putra raja, tapi Sukarno menyandang gelar sang ayah: Sinuwun PB X.
Gelar Paku Buwono X adalah gelar yang terpanjang sepanjang sejarah raja Mataram: "Ingkang Sinuwun Sampeyan Ingkang Dalem Ingkang Wicaksono Senopati Khalifatullah Ingngalogo Abdurrahman Sayidin Panotogomo Pakubuwono Ingkang Kaping Sedoso Pakubuwono ke X".
Gelar Raja Paku Buwono X kemudian ditiru oleh Bung Karno yaitu beliau menamakan dirinya dengan gelar: "Pemimpin Besar Revolusi, Paduka Yang Mulia, Penyambung Lidah Rakyat, Panglima Tertinggi Angkatan Perang, Presiden Seumur Hidup, Ir. H. Soekarno."
Presiden Soeharto
Haji Muhammad Soeharto adalah keturunan dari Sultan HB II, sama seperti Sukarno. Namun keberadaan dan legitimasi itu tidak diakui Pak Harto sendiri. Padahal, Soeharto termasuk salah satu anak dari bangsawan Kesultanan Jogja yaitu anak dari seorang Gusti Pangeran Sultan Jogja, dengan seorang wanita dari luar.
Pak Harto mengaku hanya anak petani berasal dari Desa Kemusuk, sebelah barat Kota Yogyakarta. Kendati demikian, darah biru yang terpancar di wajahnya tidak bisa disembunyikan bahwa dirinya adalah seorang keturunan dari trah kebangsawanan kesultanan Yogja.
Pada tahun 1972, majalah Pop melakukan investigasi. Diungkap bahwa sejatinya Soeharto adalah anak seorang lurah keturunan Hamengkubuwono II yakni Raden Rio Padmodipuro atau Raden Lurah Prawirowiyono. Sedangkan ibunya, Nyai Atmopawiro.
Soeharto lahir di Suronatan, Yogyakarta, pada 8 Juni 1021. Rio menitipkan anak dan istrinya itu kepada kenalannya bernama Kartoredjo, yang menjadi ulu-ulu (aparat pengairan desa) di desa Kemusuk.
Probosutedjo dalam memoar "Saya dan Mas Harto" menyebut bahwa Atmopawiro adalah ayahnya. Sedangkan ibunya bernama Soekirah, yang diakui pula oleh Soeharto sebagai nama ibu kandungnya.
Rio menitipkan anak dan istrinya karena takut ketahuan keluarga istri keduanya. Setelah menikah dengan Nyai Atmopawiro, Rio diambil menantu oleh Mas Wedono Jayeng Prakosa, seorang wedana keraton yang sangat dekat dan disayang almarhum Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Saat diungsikan Soeharto berusia 6 atau 7 tahun.
Kendati Soeharto tidak mengakui sebagai keturunan bangsawan Mataram Yogja, tetapi ia membangun pesarean "makam" keluarga dengan diberi nama "Astana Giri Bangun" di Karanganyar Jawa tengah, di atas gunung persis menyerupai miniatur makam para raja-raja Mataram di Imogiri.
Pak Harto sendiri memiliki istri keturunan ningrat. Menurut catatan T Wedy Utomo dalam bukunya berjudul “Ki Ageng Selo” R Aj Siti Hartinah, istri Pak Harto, keturunan ke-17 Ki Ageng Selo. Ki Ageng Selo adalah guru mengaji Joko Tingkir yang dimakamkan di Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan.
Ki Ageng Selo merupakan cicit dari Raja Majapahit Prabu Brawijaya V. Ibu Tien Soeharto adalah keturunan ke-20 dari Brawijaya V. Namun di buku “Siti Hartinah Soeharto, Ibu Utama Indonesia”, silsilah Ibu Tien Soeharto dimulai dari Mangkunegoro I. Sama-sama berdarah biru.
Presiden Habibie
Baharuddin Jusuf Habibie lahir di Parepare, Sulawesi Selatan. Ia adalah anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo.
Ayahnya yang berprofesi sebagai ahli pertanian yang berasal dari etnis Gorontalo, sedangkan ibunya dari etnis Jawa. Alwi keturunan suku Bugis Makassar yang berasal dari daerah Sulawesi Selatan. Anak seorang Imam dan pemangku adat dan anggota Majelis Peradilan Agama.
Ibunda Habibie, RA Toeti Marini Poespowardojo, adalah perempuan Jawa kelahiran Yogyakarta. Dari garis keturunan Ibu, Habibie adalah generasi keempat dari Tjitrowardojo, seorang terdidik yang meraih gelar dokter di usia 19 tahun.
Menurut Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dalam Buku "Ibu Indonesia dalam Kenangan" (2004), ibunda Habibie berasal dari keluarga priyayi atau ningrat Jawa karena itu ibunda beliau bergelar RA atau Raden Ayu.
Toeti adalah cucu dari Raden Ngabehi Tjitrowardojo dari trah Mataram, seorang dokter sekaligus bangsawan lokal terkemuka dari Purworejo, Jawa Tengah, tidak seberapa jauh dari Yogyakarta dan pernah menjadi wilayah kekuasaan Mataram.
Presiden Gus Dur
KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah keturunan Joko Tingkir atau Raden Hadiwijaya, Sultan Pajang. Itu sebabnya Gus Dur sering ziarah ke petilasan Joko Tingkir di Lamongan, Jawa Timur.
Gus Dur pernah bercerita bahwa dirinya memiliki jalur langsung keturunan dari Sultan Pajang, Hadiwijaya. "Gus Dur itu punya jalur langsung (keturunan) dengan Joko Tingkir. Makanya beliau jadi presiden," tegas ujar KH Ahmad Muwafiq atau Gus Muwafiq dalam satu kesempatan.
Joko Tingkir merupakan bapak dari Pangeran Benowo yang juga menantu Sultan Trenggono. Joko Tingkir juga murid Sunan Kalijaga, salah seorang ulama yang masuk dalam daftar sembilan wali atau Wali Songo.
Dalam Kitab Talkhish karya Abdullah bin Umar Assathiri bahkan disebutkan bahwa Gus Dur adalah keturunan ke-34 dari Rasulullah SAW. Nur Rokhim dalam buku berjudul “Gus Dur Santri yang Gemar Membolos” menjelaskan bahwa keluarga besar Gus Dur dikenal sebagai keluarga ulama dan bangsawan. Selain keturunan Raja Pajang, silsilah Gus Dur juga akan sampai kepada Lembu Peteng atau Sultan Brawijaya V, raja terakhir Majapahit.
Gus Dur memperoleh darah biru dari kakeknya yang bernama Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari dari jalur ayah, yaitu Muhammad Hasyim bin Asy'ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim (Pangeran Benawa) bin Abdul Rahman (Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yakin (Sunan Giri).
Sedangkan dari jalur sang ibu, yaitu Muhammad Hasyim bin Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir (Mas Karebet atau Sultan Hadiwijaya) bin Lembu Peteng (Prabu Brawijaya VI).
Lalu, bagaimana dengan Megawati Soekarnoputri? Jika Soekarno masih keturunan trah Mataram Sultan HB II dan Pakubuwono X maka garis darah serupa juga berlaku untuk putrinya, Megawati Soekarnoputri, yang menjadi Presiden RI ke-5.
Presiden SBY
Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY masih memiliki keturunan dan punya pertalian darah dengan Raden Wijaya, raja pertama sekaligus pendiri Kerajaan Majapahit. Tak hanya itu, SBY juga masih satu garis keluarga dengan Sri Sultan Hamengkubuwana III.
"Kalau diurut dari eyang saya Ki Ageng Buwono Keling hingga kedua anak saya yakini Agus Harimurti dan Edi Baskoro adalah trah ke-14," kata SBY di hadapan 1.500 kader Demokrat se-Jawa Timur pada suatu ketika.
Kader Partai Demokrat, Andi Arief, mengunggah dua gambar silsilah lengkap SBY melalui akun Twitternya. Menurut daftar silsilah tersebut, garis keturunan SBY bisa dirunut dari Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit. Dari gambar tersebut juga tertulis bahwa tak hanya keturunan Majapahit, SBY juga adalah keturunan Raja Mataram.
Obsesi SBY pada Majapahit juga bisa dilihat dari nama cucu-cucunya. Cucu pertama SBY bernama Almira Tungga Dewi Yudhoyono. Tribhuwana Tunggadewi adalah raja perempuan pertama Majapahit yang melahirkan Hayam Wuruk, raja yang membawa Majapahit ke puncak kejayaannya.
Cucu keduanya bernama Airlangga Satriadhi Yudhoyono. Airlangga adalah nama pendiri Kerajaan Kahuripan, yang terbagi menjadi dua kerajaan, Kediri dan Jenggala. Kedua kerajaan ini menjadi daerah bagian Majapahit pada masa pemerintahan Raden Wijaya.
Pancasakti Maharajasa Yudhoyono, cucu ketiga SBY, tidak diberi nama dari Majapahit. Nama Maharajasa diambil dari nama besan SBY, Hatta Rajasa. Meski demikian nama Rajasa mengingatkan juga pada nama pendiri Majapahit, Kertarajasa Jayawardhana.
Cucu keempat bernama Gayatri Idalia Yudhoyono. "Gayatri diambil dari Kerajaan Majapahit, yaitu istri Raden Wijaya yang kemudian menurunkan raja-raja selanjutnya," kata Ibas saat mengumumkan kelahiran putrinya melalui akun Instagram @ibsyudhoyono, 1 Januari 2018.
Dwi Cahyono, sejarawan dan arkeolog dari Universitas Negeri Malang menjelaskan bahwa silsilah keluarga sudah dipakai sebagai cara melegitimasikan diri sejak berabad-abad yang lalu. "Jadi kalau sekarang ada politikus mengaku sebagai keturunan raja Majapahit, tentu karena ada kepentingan, yaitu legitimasi," kata Dwi Cahyono sebagaimana dilansir BBC Indonesia.
Silsilah keluarga yang dirunut-runut itu sudah sejak lama dipakai oleh seseorang atau keluarga untuk menghubungkan dirinya dengan penguasa di masa lalu, bisa pemimpin, raja, atau sultan. Bahkan pada era kesultanan Islam di Indonesia, silsilah itu dibuat dua sisi, yaitu mangiwo (ke kiri) dan manengen (ke kanan).
Mangiwo yang dirunut panjang bisa sampai ke tokoh-tokoh dalam pewayangan, sampai puncaknya ke dewata. Garis keturunan manengen diruntut dari para pempimpin Islam sampai tokoh-tokoh kenabian. "Perkara betul atau tidak itu masalah nanti, yang penting melegitimasikan diri bahwa dia adalah orang yang punya posisi tertentu dilihat dari genealoginya, garis keturunannya," kata Dwi.
Lalu, bagaimana dengan Presiden Jokowi? Sejauh ini, nasab Jokowi masih menjadi pergunjingan. Tak ada satu pun yang mampu membuktikan bahwa ia berdarah biru. Jadi wajar, jika Jokowi ingin memulai dari dirinya, mengalirkan darah biru ke anak cucunya. @