Jiwa Juang Kita (1)
Oleh Ridwan Saidi Budayawan
CABE kini, dan esok 19/7/2022, lahir didorong rasa pilu membaca pernyataan seorang professor dari almamater saya yang undervalued semangat juang generasi bangsa yang gandrung perubahan, dan dibandingkannya pula dengan Srilanka. Saya ingat lagu tahun 1960-an:
Pilu rasa hatiku
Karena kecerdasan pergi jau
Suatu malam tahun 1980-an di sebuah warung sate Tenabang, Machbub Djunaidi berkata, "Wan, jaman revolusi gue belum balegh, gue bingung orang tua gue ngajak ngungsi ke Solo. Ngapain ngungsi?
Januari 1946 Jakarta diduduki lagi Belanda, Machbub kemudian prakira 600 ribu orang Jakarta mengungsi. Berbanding total populasi Batavia en Ommelanden (sekitar) sensus 1930 yang 1.8 juta, dan native Betawi 60%. 600. 000 pengungsi itu banyak.
Rumah keluarga besar harus ada 1 unit keluarga yang jaga. Keluarga ayah jaga rumah.
Orang-orang Betawi itu mengungsi a.l ke Bandung, Sukabumi, Purworejo, dan Solo. Mereka ditampung keluarga Betawi yang sudah menjadi warga setempat.
Percakapan saya kemudian dengan keluarga yang mengungsi tentang alasan mengungsi,
Kita gak mau dijajah lagi
Kok musti mengungsi?
Kita gak suka sekota lagi sama penjajah.
Dialog ini geestelijk menyentuh. Ini soal jiwa. Seorang profesor yang telah bersenyawa dengan pustaka, mungkin sulit menjiwai perasaan orang yang inginkan perubahan.
Mereka yang mengungsi itu banyak yang tinggalkan pekerjaan, bahkan sampai tiga tahun. Pengungsi kembali Jakarta tahun 1949.
Saya tidak mengerti bagaimana ekonomi mereka di masa pengungsian, dan bagaimana pula dengan keluarga yang menampung. Ini tidak akan terjadi tanpa jiwa juang.
Jiwa juang = n. Tak terkira untuk membangun Indonesia kembali. Pintar itu soal raport dan diploma. Kecerdasan, kata Subchan ZE eks Wakil Ketua MPRS, adalah soal himmah ilmu.
"Apa Mas himmah ilmu?", tanyaku.
"Ridwan, definisi tak selalu verba, tapi empirisme," jawab Subchan. (RSaidi).