Jiwa Juang Kita (2)

(Foto seorang pemuda pejuang 45 yang ditangkap Belanda, kiri, dalam tangan terikat mata tak berkedip menatap wajah pengkhianat, kanan, yang lagi memperolok dia. Satu mevrouw dengan short, tengah, ketawa cekikikan)

Oleh Ridwan Saidi Budayawan 

Baru-baru ini, masih bulan Juli 2022, seorang profesor menyimpulkan orang Indonesia tak bisa meniru Srilanka. Semangat Indonesia kalah dari Srilanka.

Asrama militer Belanda era revolusi 1945 di selatan lapangan Benteng terkenal sebagai Batalion X. 

Penghuni asrama amat kejam pada orang Indonesia. Jaman itu lencana merah putih yang disematkan di dada terbuat dari kaleng. 

Siapapun lewat Batalion X dengan berlencana merah putih pasti ditangkap. Oleh tentara Belanda si pemakai disuruh menelan lencana itu.

Seorang pejuang 45 Ka'icang orang Tana Tinggi Senen marah dengar cerita ini. Akhirnya ia sendirian datangi Batalion X dan Ka"icang lempar granat ke Batalion X.

Ka'icang ditembak dan roboh. Ternyata Ka'icang tidak mati. Ia dirawat di CBZ, kini RSCM.

Komandan BKR Djakarta, Imam Syafi'ie dkk berencana menculik pasien atas nama Ka'icang. Ternyata BKR sukses.dan Ka'icang diselamatkan (sumber Bang Sanip teman Bang Pi'ie).

Itulah semangat juang sebagai warisan sejarah. Tahun 1623 orang Betawi melawan VOC habis-habisan karena pergantian nama Jacatra dengan Batavia (re: de Haan, 1915). Menarik, migran Jepang mendukung Betawi.

Tahun 1856 di Pekalongan muncul Ahmad Rifangi pimpin pemberontakan tarekat. Dan pemberontakan menjalar ke Tambun, Ciomas, Condet dan finish di Tangerang, pemberontakan yang dipimpin Kaiyin bapa  Kayah tahun 1924. Durasi pemberontakan selama 68 tahun. Terlama dalam sejarah. Nilai-nilai kejuangan ini tentu menetes ke keturunan mereka. 

Tahun 1966 semangat juang itu pun muncul lagi. 

Jika rakyat Indonesia disebut kalah gigih dibandingkan Srilanka, tentu keliru besar.

Kalau mau jadi pengamat politik Indonesia, tak cukup dengan modal diploma dikibar-kibarkan. Capeng, calon pengamat, mesti punya pengetahuan sejarah yang cukup, dan merasakan politik itu secara empirik.

Kalau tidak, ibarat nonton film tak pakai teks, kaga paham-paham. Akhirnya sakit baham. Ngebet bukan main. (RSaidi)

221

Related Post