Jokowi Butuh Anies

Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI

Tidak ada yang tidak mungkin dalam politik, perkawinan kepentingan tidak haram selama demi kebaikan rakyat, negara dan bangsa.

Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI

Bagaimana Joko Widodo pasca menjadi presiden? Hanya Tuhan yang tahu dan sebisanya menunggu reaksi rakyat. Dengan kondite buruk dan terus terpuruk, Jokowi perlu memikirkan bagaimana ia bisa "soft landing" usai tidak lagi ada di Istana.

Sebaliknya dengan Jokowi, Anies Baswedan justru semakin bertumbuh dielu-elukan rakyat untuk menjadi presiden berikutnya. Sepertinya, Jokowi dan keluarga beserta lingkar kekuasaannya, masih membutuhkan Anies untuk keselamatan dan keamanan politik saat terjadinya transisi kekuasaan.

Dibesarkannya oleh kekuatan oligarki, Jokowi bersama kroni kekuasaannya seiring waktu cenderung menjadi "public enemy" di ujung pemerintahannya. Praktik-praktik KKN dan pelbagai kejahatan kemanusiaan yang menyelimuti perjalanan pemerintahannya selama dua periode, semakin mengarah dan nyaris membuat Indonesia menjadi negara bangkrut.

Kegagalan teknis dan strategis menyeruak dalam setiap kebijakannya dan implementasi pembangunan nasional. Infrastruktur yang tak terukur, uang negara yang terkuras bukan untuk kesejahteraan rakyat dan aparatur rakus dan brutal dalam menjalankan roda pemeruntahan merupakan warisan buruk rezim Jokowi, yang dihiasi perilaku penuh kebohongan dan tak punya sedikit pun integritas.

Selain menjadi rezim otoriter dan cenderung dzolim kepada rakyat, Jokowi bersama infrastruktur kekuasaan politiknya, secara subyektif dan tendensius juga giat mereduksi figur Anies sebagai pemimpin potensial masa depan.  Sebagian besar politisi-politisi dan birokrasi yang menjadi sub koordinat  pemerintahan Jokowi, sangat kentara membenci dan memusuhi Anies.

Mulai dari lembaga survey hingga para buzzer, intens membuat opini menyesatkan dan framing jahat, jika perlu "membunuh" karir politik Anies. Akan ada perjalanan waktu, layaknya hidup manusia seperti roda yang terus beputar, kadang di bawah kadang di atas.

Begitupun posisioning politik Jokowi dan Anies, kedua figur pemimpin beda kutub yang paling berpengaruh dalam konstelasi politik nasional itu, bukan tidak mungkin menjadi dinamis, saling berhadapan atau bisa juga membuka ruang sinergi dan elaborasi. Mendorong terjadinya simbiosis mutual dan berorientasi pada kepentingan rakyat, negara, dan bangsa.

Dengan karakteristik yang sesungguhnya jauh bertolak belakang secara signifikan, membuat relasi politik Jokowi dan Anies menjadi begitu menarik dan ditunggu-tunggu publik. Jokowi sebagai presiden yang disokong penuh oleh kekuatan oligarki, momen menjelang pilpres 2024 memungkinkan akan bertemu dengan Anies sebagai capres fenomenal yang berbasis dukungan rakyat.

Akankah keduanya berkonflik ria dan mengambil langkah diametral? Ataukah keduanya bisa menemukan titik kompromis yang melalui transisi kekuasaan kepemimpinan nasional yang perhelatannya tak lama lagi?

Oligarki menjadi faktor penentu dari polarisasi figur Jokowi dan Anies terkait usungan parpol dan basis dukungan massa keduanya, dalam menghadapi pemilu dan pilpres yang kental dengan kucuran modal besar dan serba transaksional.

Keniscayaan kapitalisme dan pengaruhnya yang kini bermuara pada kekuatan oligarki, pada akhirnya menjadi pemain utama dan paling menentukan dari proses suksesi presiden. Bagaimana ongkos ekonomi, sosial danpolitik pesta demokrasi yang berbiaya tinggi itu dapat melahirkan pemimpin boneka atau yang sejati mengemban amanah rakyat.

Menjadi krusial dan menarik untuk diikuti perkembangannya baik oleh rakyat maupun elit politik. Akankah kekuatan oligarki dapat memenangkan kembali pilpres 2024 seperti pilpres sebelumnya. Atau memang akan terjadi proses demokrasi sejati yang menghadirkan pemimpin yang berasal dari rahim rakyat. Bukan pula hal yang mustahil tercipta "win-win solution", dari friksi dan fragmentasi dalam pilpres 2024.

Jokowi sebagai presiden yang dibayangi stigma kepemimpinan gagal, tentunya menjadikan pertarungan pilpres 2024 sebagai sesuatu yang "to be or not to be". Dengan kepercayaan diri tinggi dan dukungan oligarki di belakangnya, Jokowi hanya punya dua pilihan.

Memenangkan jabatan presiden tiga perodenya, atau akan menyiapkan sekoci dengan figur siapapun yang nantinya akan terpilih di pilpres 2024. Meskipun dominan pragmatis, oligarki juga tak sekonyong-konyong mengatrol pemimpin yang rendah elektabilitas dan tingat keterpilihannya, terlepas dengan rekayasa sosial maupun secara alami lahir dari dukungan rakyat.

Sebagai entitas ekonomi yang memiliki korelasi kuat dengan dunia politik, oligarki juga memiliki kalkulasi dan rasionalisasi politik selain dengan tidak meninggalkan karakter "safety player" yang sejauh ini sukses diperankan para pengusaha skala besar. Termasuk menggiring partai politik dan instrumen kelembagaan pemerintahan lainnya seperti KPU, TNI dan Polri.

Kehadiran Anies dalam hingar-bingar panggung politik pilpres 2024 yang begitu trengginas, harus diakui sudah mulai mencuri perhatian para sutradara, aktor dan partisipan politik seantero Indonesia dan mencuri perhatian dunia internasional.

Pelbagai apresiasi dan reaksi bermunculan mulai dari munculnya "supporting system" hingga menjadikannya sebagai ancaman, terasa menggeluti Anies. Lantas, bagaimana dengan Jokowi? Mengambil garis tegas dengan rivalitas terhadap Anies, atau membangun permufakatan politik yang bisa jadi menjadi konsensus transisi kepemimpinan nasional, yang menyelamatkan republik ini.

Terutama di tengah situasi dan kondisi kebangsaan yang rapuh dan rentan berbahaya bagi masa depan Indonesia. Tak terbantahkan, dengan performan rezim pemerintahan sekarang yang semakin merosot. Sebaiknya Jokowi bisa pikir-pikir dulu sebelum jauh melangkah dan salah jalan dalam melakukan manuver dalam pilpres 2024.

Mampu merangkai hubungan yang harmonis dan selaras, antara kekuatan oligarki bersama lokomotif dan gerbong politik rakyat. Pun, dengan Anies yang kini mengemuka dan tak bisa menghindarkan diri menjadi irisan dari domain pemain politik dan ekonomi.

Karena bagaimanapun juga Anies semakin menguat menjadi bagian dari dinamika dan representasi substansi demokrasi kekinian. Terlepas adanya dualisme demokrasi yang mengemuka antara politik realitas dan politik ideal. Jokowi memungkinkan untuk sekali saja bisa menjadi figur pemimpin yang nasionalis dan patriotis. Mendengar suara rakyat dan sebisanya bergaul intim dengan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI.

Tidak ada yang tidak mungkin dalam politik, perkawinan kepentingan tidak haram selama demi kebaikan rakyat, negara dan bangsa.

Demi mengembalikan Indonesia yang sebenarnya, termasuk jangan ragu jika kenyataannya Jokowi membutuhkan eksistensi Anies. Kebutuhan pada estafet kepemimpinan nasional yang kondusif dan terjaga keamanannya, termasuk sosial politik, sosial ekonomi dan sosial hukum.

Masih ragu jika Jokowi butuh Anies? Tunggu saja rakyat akan melakukan apa dan sejarah yang akan menjawabnya.

Catatan dari pinggiran kesadaran kritis dan perlawanan. (*)

338

Related Post