Kebijakan APBN Tidak Pro Rakyat
Lalu, dari sisi belanja, realisasinya sudah mencapai Rp 1.444,8 triliun. Realisasi tersebut terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 1.031,2 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) Rp 413,6 triliun.
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies
KETIKA dibutuhkan defisit untuk meringankan beban ekonomi rakyat, APBN 2022 malah dibuat surplus: menahan belanja negara, menahan subsidi yang dibutuhkan rakyat, dan bangga pula? Penerimaan naik 21,2%, belanja hanya naik 13,7%?
Membuat APBN surplus, atau defisit, itu tidak diperlukan keahlian khusus, tinggal menyesuaikan belanja negara. Yang diperlukan keahlian khusus itu adalah terkait masalah sosial APBN, apakah belanja negara tersebut adil bagi masyarakat, khususnya yang berpendapatan rendah?
Cobalah kita lihat berita berikut. Melansir Kontan.co.id, Senin (08 Agustus 2022 13:22 WIB), Kemenkeu mencatat realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 masih menunjukkan surplus hingga akhir Juli 2022, yakni sebesar Rp 106,1 triliun. Angka tersebut setara 0,57% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan, surplus APBN tersebut terjadi karena pendapatan negara masih tumbuh cukup baik. Hingga Juli 2022 pendapatan negara tercatat mencapai Rp 1.551 triliun dan belanja negara sudah terealisasi sebesar Rp 1.444,8 triliun.
“(Surplus terjadi) karena karena pendapatan negara yang tumbuh cukup baik, sehingga sampai Juli 2022 APBN kita masih menghadapi surplus, bukan defisit,” tutur Febrio dalam agenda Tanya BKF: Capaian Perekonomian dan Mitigasi Risiko Global ke Depan, Senin (8/8/2022).
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga semester I tahun 2022 dalam kondisi yang sangat baik dengan mencatatkan surplus sebesar Rp 73,6 triliun atau 0,39% dari produk domestik bruto (PDB).
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra Kamrussamad mengingatkan, meski APBN hingga Semester I-2022 mengalami surplus, namun pemerintah harus mencermati tekanan fiskal yang akan dihadapi seiring ancaman inflasi global, tren kenaikan harga minyak dunia dan tren kenaikan harga makanan akibat krisis pangan.
“APBN semester I memang surplus Rp 73,6 triliun. Ini didorong oleh kenaikan penerimaan pajak, cukai, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Tapi, kondisi surplus ini juga karena memang penyerapan belanja pemerintah masih rendah. Artinya, ini juga menandakan perputaran APBN di ekonomi domestik masih minim," ujar Kamrussamad dalam keterangan tertulisnya yang diterima Kontan.co.id, Kamis (28/7/2022).
Ia menambahkan, di kuartal akhir, penyerapan belanja akan tinggi karena proses birokratis anggaran siklusnya demikian. Namun, yang lebih penting adalah pemerintah perlu mengantisipasi kenaikan subsidi akibat ancaman inflasi dan kenaikan harga minyak dunia yang trennya mengalami peningkatan.
“Pada perdagangan selasa kemarin, misalnya, harga minyak dunia naik kembali dua dollar. Realisasi penyaluran BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar juga sudah melampaui 50% dari kuota sejak awal tahun sampai 20 Juni 2022. Kalau begini, tekanan fiskal di kuartal mendatang sudah di depan mata,” katanya.
Kamrussamad menyebutkan, saat ini, anggaran belanja subsidi tadinya adalah Rp 207 triliun, namun dikarenakan konsumsi energi yang meningkat, maka subsidi bisa mencapai Rp 284,6 triliun bahkan lebih. Jika harga minyak terus naik maka akan berdampak pada subsidi yang disalurkan pemerintah.
"Belum lagi dengan ancaman krisis pangan. Tren kenaikan harga pangan akan berlanjut dipengaruhi tren tingginya harga pupuk, gangguan rantai pasok akibat perang di Ukraina," katanya.
Adapun dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98/2022, defisit APBN 2022 diturunkan menjadi Rp 840 triliun atau 4,5% dari PDB. Sedangkan sebelumnya dirancang Rp 868 triliun atau 4,85%.
Lebih lanjut, Febrio menyebutkan, realisasi pendapatan negara hingga Juli tumbuh 21,2% jika dibandingkan periode sama tahun lalu. Sedangkan belanja negara naik 13,7% dari periode sama tahun lalu.
Ia merinci, pendapatan negara hingga Juli 2022 terdiri dari, penerimaan perpajakan senilai Rp 1.213,5 triliun atau tumbuh 24,4% yoy dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 337,1 triliun atau meningkat 11,4% yoy.
Kemudian, penerimaan perpajakan diperoleh dari dari penerimaan pajak yang meningkat 25,8% yoy atau Rp1.028,5 trilun. Serta penerimaan kepabeanan dan cukai senilai Rp185,1 triliun atau meningkat 17,7% yoy.
Lalu, dari sisi belanja, realisasinya sudah mencapai Rp 1.444,8 triliun. Realisasi tersebut terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 1.031,2 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) Rp 413,6 triliun.
Febrio bilang, meski saat ini terjadi surplus secara terus menerus, APBN akan tetap mengalami defisit meski pendapatan diperkirakan terus tumbuh. Ini karena belanja negara juga akan terus meningkat, termasuk pembayaran subsidi dan kompensasi BBM dan listrik.
“Sehingga proyeksi defisit APBN akan tetap ke arah 3,92% dari PDB pada tahun 2022 atau lebih baik,” imbuhnya. (*)