Kebijakan Bobrok di Tangan Ahok

Sepanjang karier, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tak tuntas menyelesaikan pekerjaannya. Ia kini diisukan menjabat Direktur Utama PT Pertamina (Persero) dari jabatan sebelumnya Komisaris Utama, satu kebijakan yang tidak lazim.

KABAR Ahok bakal diangkat menjadi Direktur Utama PT Pertamina semakin santer dibicarakan. Maklum segala hal yang menyangkut Ahok selalu menarik perhatian untuk disimak, bukan karena prestasinya, akan tetapi  karena kontroversinya. Publik khawatir, jika Ahok benar-benar menjadi Dirut Pertamina, maka kebangkrutan BUMN tersebut semakin cepat.

Sejak menjabat sebagai Komisaris Utama Pertamina pada tahun 2019, tak ada prestasi yang bisa ditunjukkan oleh Ahok. Bahkan ketika itu, Ahok sudah mendapat penolakan dari Serikat Pekerja Pertamina yang mencium gelagat kurang baik terhadap mantan terpidana penista agama itu. Namun Menteri BUMN Erick Thohir menggaransi bahwa Ahok adalah sosok yang tepat menjadi Komisaris Utama Pertamina.

Saat itu, Erick Thohir sempat berkhutbah bahwa jajaran direksi BUMN harus memiliki ahlak yang baik. "Kalo akhlaknya enggak bagus, apalagi ini amanah yang diberikan oleh kita semua termasuk saya dan presiden oleh rakyat, ini yang harus jadi bagian pertanggungjawaban mereka sebagai pimpinan," jelas Erick.

Erick tidak mau direksi BUMN tidak memiliki empati dalam arti perusahaan tidak baik, tapi gaya hidupnya tetap mewah.

Tentang sosok Ahok, juga diperkuat oleh Ekonom Centre of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah yang menilai posisi komisaris utama tersebut sangatlah tepat untuk Ahok.

Piter menerangkan, jabatan Ahok sebagai komisaris utama akan memegang peranan penting untuk melalukan pengawasan terhadap Pertamina ke depan. Posisi Komut sangat menentukan di BUMN besar seperti Pertamina. Banyak keputusan penting misalnya terkait belanja modal yang nilainya sangat besar harus melalui persetujuan Komut.

Namun setelah empat tahun berkuasa di Pertamina, Ahok justru banyak belangnya. Pakar ekonomi energi asal Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan, kegagalan duo Nicke-Ahok, bukan saja tercermin dari banyaknya kecelakaan aset Pertamina, terakhir kebakaran Depo Plumpang yang menewaskan 19 orang. Namun ada perkara lain yang cukup serius. Yakni, cabutnya Air Products & Chemical Inc (APCI) menjalin kerja sama dengan Pertamina dan Bukit Asam dalam menggarap proyek gasifikasi batubara.

“Kementerian ESDM memastikan APCI keluar dari proyek kerja sama gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME), bekerja sama dengan PT Pertamina dan PT Bukit Asam. Gasifikasi batu bara ini amat penting dan startegis bagi Indonesia, tidak saja untuk mengubah energi kotor batu bara menjadi energi bersih gas, tetapi juga digadang-gadang menjadi subtitusi LPG, yang konten impor dan subsidi sangat besar,” beber Fahmy, Jakarta, Rabu (15/3/2023) dikutip dari tempo.co.

Ketidakbecusan negosiasi Pertamina dalam menggolkan proyek atau investasi besar, menurut catatan Fahmy, tidak hanya sekali ini saja. Sebelumnya, Menko Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan sempat marah besar atas kegagalan Pertamina dalam negoisiasi pembelian minyak mentah murah dari Rusia.

“Pertamina juga gagal dalam negoisasi dengan ENI, perusahaan multinasional Italia dalam pengembangan Kilang Minyak Ramah Lingkungan (green refinery). Awalnya, kilang ramah lingkumngan pencapaian Pertamina yang menggunakan Minyak Sawit akan dibangun di Plaju Indonesia dan Italia untuk menghasilkan B-100, yang kini baru mencapai B-35,” ungkapnya.

Tidak berhenti di situ, lanjut Fahmy, Pertamina juga gagal dalam negosiasi pengembangan Proyek Kilang Minyak, yang menjadi Instruksi Presiden Joko Widodo sejak periode pertama pemerintahaanya. Salah satunya adalah kegagalan negoisisasi antara Pertamina dengan Saudi Aramco, perusahaan minyak nasional Arab Saudi untuk pembangunan proyek peningkatan Kapasitas Kilkang (RDMP) Cilacap. “Terlepas dari penyebabnya yang beragam, kegagalan negoisasi beruntun tersebut mengindikasikan bahwa Pertamina memang tidak becus urus negoisasi kerjasama internasional,” kata Fahmy.

“Barangkali kegagalan-demi-kegagalan negoisasi itu berdampak terhadap kinerja bisnis Pertamina, yang berpotensi mengurangi setoran deviden kepada negara. Namun, kegagalan Pertamina dalam menerapkan sistim keamanan Depo Pertamina Plumpang, harus merenggut sejumlah korban nyawa dan luka bakar bagi rakyat tidak berdosa, merupakan kegagalan fatal, yang harus dipertanggungjawababkan oleh Direktur Utama dan Komisaris Utama Pertamina, tidak hanya memecat Direktur Penunjang Bisnis Pertamina,” pungkasnya.

Penilian kritis juga disampaikan oleh pengamat energi DR. Marwan Batubara (Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRRES). Marwan  mengatakan bahwa Ahok adalah sosok pejabat yang jauh dari akhlak baik, sebagaimana disyaratkan oleh Erick Thohir. Ahok suka korupsi, perilakunya bobrok, dan kata-katanya kotor.

Soal korupsi, semua alat buktinya itu sudah lebih dari cukup, tetapi Ahok masih aman melenggang, karena dilindungi secara zalim oleh KPK. “Dia aman, mungkin tekanan dari pemerintah, maka Ahok itu bisa bebas," kata Marwan.

Oleh karena itu, tegas Marwan pencalonan Ahok menjadi Dirut Pertamina harus ditolak dengan keras.

Menurut Marwan, Ahok jauh lebih pantas masuk penjara dibanding menjadi Dirut Pertamina. Dia terduga koruptor ratusan miliar rupiah dn wajib masuk bui.

Sementara itu Koordinator Kajian Politik Merah Putih, Sutoyo Abadi menyesalkan cara Jokowi mengelola negeri ini yang cenderung semaunya sendiri.

Presiden Joko Widodo (melalui pembantunya Menteri BUMN) jangan terus menabrak rasa kepatutan dan keadilan, melindungi dan memberikan jabatan untuk para koruptor hanya karena kedekatan dengan dirinya.

Menteri BUMN, Erick Thohir disarankan untuk tidak mengangkat orang yang diduga telah melakukan korupsi menjadi Dirut ataupun jabatan lainnya, apalagi kalau diduga ada niat akan menempatkan seseorang sekadar akan dijadikan alat buldoser keuangan memperkuat dirinya menghadapi Pilpres .

Jika Ahok benar dijadikan sebagai Dirut Pertamina, hal tersebut bukan hanya akan mengusik rasa keadilan masyarakat, tetapi rezim ini menjadi bagian para koruptor untuk saling berbagi dan melindungi.

"Apalagi Pertamina itu 100 persen masih punya negara dan menjalankan tugas konstitusional. Jadi tugas konstitusional kalau dikelola, dipimpin pengelolaannya oleh terduga koruptor,  hanya akan membawa kerusakan dan kehancuran 

Korupsi yang sudah merajalela, apabila sudah berkolaborasi dan bersenyawa dengan kekuasaan,  jabatan akan diperjualbelikan  tanpa peduli siapa yang akan diberi amanahnya.

Hentikan slogan "I am the law - saya adalah hukum dan I'etat, c'est moi - negara adalah saya" , stop memberikan jabatan terkait keselamatan negara dan hajat orang banyak (masyarakat) diserahkan kepada orang yang sudah terindikasi memiliki kepribadian yang berwatak tidak amanah. 

Hentikan adanya rencana akan menyerahkan jabatan Direktur Utama Pertamina kepada Ahok, lebih besar madlarat nya dari pada manfaatnya.

“Jika hukum ditransaksikan, maka keadilan tergadaikan. Jika hukum tunduk pada politik, maka kehormatan kekuasaan akan menghilang, kedepan hanya akan terjadi praktek kebijakan yang bengis, liar dan mengabaikan rasa keadilan,” paparnya.

Sutoyo menyarankan agar masyarakat lebih waspada terhadap kebijakan yang ditempuh rezim ini. Hentikan rencana menteri BUMN akan menempatkan Ahok menempati jabatan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina.  Akan lebih pantas Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk diadili oleh Aparat Penegak Hukum (APH) atas berbagai macam persoalan.

Jauh lebih pantas untuk Ahok itu diadili, karena berbagai kasus korupsi yang sudah dia lakukan, bukan justru dilindungi bahkan diberi posisi yang  membahayakan negara.

Dalam catatan FNN, jejak Ahok sejak di Bangka Belitung sudah penuh kontroversi. Ia tidak tuntas mengemban amanah dan gemar gonta-ganti partai politik. Ahok pertama kali berpolitik dengan menjadi Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB) dan menjadi anggota DPRD Belitung Timur periode 2004-2009.

Tak lama duduk di DPRD Belitung Timur, Ahok maju ke Pilkada Belitung Timur pada 2005 berduet dengan Khairul Effendi, terpilih menjadi Bupati dan Wakil Bupati Belitung Timur.

Tak sampai menyelesaikan masa baktinya, pada 2007 Ahok mengundurkan diri dan maju dalam Pilgub Bangka Belitung, namun ia gagal.

Gagal di Pilgub Bangka Belitung, Ahok kembali maju sebagai caleg dan terpilih menjadi anggota DPR RI pada 2009 menggunakan kendaraan Partai Golkar. Ia pun duduk di Komisi II DPR RI. Lagi-lagi, ia tak sampai tuntas.

Menjelang Pilgub DKI 2012, ia mengundurkan diri dari Golar. Keputusannya membuat kesal petinggi Golkar. Ia sempat luntang-lantung di DPR bahkan konon tak diberi kursi oleh Partai Golkar, hingga akhirnya ia bergabung ke Partai Gerindra. Singkat cerita, Jokowi-Ahok menang Pilgub DKI tahun 2014.

Di kemudian hari, Jokowi maju di Pilpres 2014 berpasangan dengan Jusuf Kalla. Karier politik Ahok makin meroket dengan menjadi Gubernur DKI Jakarta menempati kursi Jokowi. Ia kemudian didampingi Djarot Saiful Hidayat sebagai Wagub DKI. Di tengah jalan, terjadi dinamika politik yang lagi-lagi membuat Ahok akhirnya mundur dari Gerindra.

Ahok-Djarot kemudian melanjutkan langkah politik berpasangan di Pilgub DKI 2017. Ahok-Djarot didukung oleh PDIP, NasDem, Golkar, dan Hanura. Panasnya suhu politik memuncak mendekati pengujung 2016. Sampai kemudian, dalam sebuah kunjungan ke Kepulauan Seribu Ahok, menyinggung tentang Surat Al-Maidah. Setelah itu, Ahok dilaporkan atas dugaan penistaan agama.

Akhirnya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa, 9 Mei 2017, menyatakan Ahok terbukti bersalah melakukan penodaan agama karena pernyataan soal Surat Al-Maidah 51 saat berkunjung ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu tersebut.

Usai menjalani penjara selama 2 tahun, Ahok malah dihadiahi jabatan Komisrais Utama PT Pertamina hingga kini. Setelah berjalan hamper 4 tahun, Ahok kini diisukan menjadi Direktr Utama Pertamina.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir merespons isu pergantian komisaris dan direksi PT Pertamina (Persero). Termasuk isu soal Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok akan ditunjuk menjadi direktur utama perusahaan minyak tersebut.

Isu pergantian sempat muncul usai Erick memanggil Ahok dan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati pada Kamis (20/7) kemarin.

Menurut Erick tour of duty atau pergantian posisi atau jabatan bisa dan biasa saja terjadi. Namun, ia menegaskan keputusan mengganti direksi dan komisaris Pertamina sama sekali belum diputuskan.

Erick menambahkan pemanggilan Ahok dan Nicke sejatinya bukan untuk mendiskusikan rencana pergantian itu, melainkan terkait tragedi kebakaran Depo Plumpang beberapa waktu lalu. Pertemuan dilakukan kata Erick untuk menyamakan persepsi soal pemindahan depo tersebut.

Kabar yang beredar, penggantian Nicke Widyawati lantaran sebagai Dirut Pertamina ia tak segera merespons keinginan Jokowi untuk memindahkan kantor pusatnya ke kawasan pesisir Teluk Balikpapan yang menjadi gerbang ibu kota negara (IKN). Entahlah. (sws)

993

Related Post