Kejagung Dianggap Terlambat: Seruan CBA Usut Tuntas Mega-Korupsi Astra Group
CBA mendesak Kejaksaan Agung segera keluarkan Sprindik Astra Group. Dugaan aliran dana ACSET dan PAMA ke induk belum disentuh, dan TPPU sejatinya jadi jalan.
JAKARTA, FNN | Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, mengecam lambatnya respon Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam menyikapi dugaan mega-korupsi pada Astra Group. Menurut Uchok, penerbitan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) sangat mendesak untuk membuka potensi aliran dana yang tidak hanya berhenti di anak-anak perusahaan, tetapi bisa menembus level korporasi induk.
Dua anak usaha Astra dinilai berada di jantung skandal besar. PT Acset Indonusa Tbk (ACSET) menghadapi dakwaan korupsi proyek Tol Layang Mohamed Bin Zayed (MBZ) dengan kerugian negara sebesar Rp179,99 miliar. Sementara PT Pamapersada Nusantara (PAMA) diduga meraup Rp958,38 miliar dari skema solar murah Pertamina.
Uchok menilai penyidikan semata ke anak usaha tidak cukup. “Penyidik harus memperluas ke induk perusahaan,” tegasnya sebagaimana dikutip sejumlah media. Dia menambahkan bahwa pasal TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) wajib digunakan agar aliran uang bisa dilacak sampai ke mana, dan siapa penerimanya.
Sorotan tajam CBA juga diarahkan ke Djony Bunarto Tjondro, Presiden Direktur Astra. Uchok mendesak agar Djony dipanggil oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejagung untuk memberikan kesaksian dan klarifikasi atas perannya dalam kedua kasus tersebut.
Desakan tersebut mendapat dukungan dari pakar hukum. I Wayan Titib Sulaksana, pengamat pidana dari Universitas Airlangga, menyebut korupsi seperti “gurita”: sulit dipisahkan antara induk dan anak perusahaan. Tanpa memeriksa pimpinan Astra, menurut Titib, proses pengungkapan hanya setengah hati.
Sementara itu, Hudi Yusuf, pakar hukum pidana dari Universitas Bung Karno, menilai bahwa Kejagung punya cukup pijakan untuk menetapkan Astra Group sebagai tersangka korporasi jika terbukti adanya aliran dana dari anak usaha. Hudi menyerukan penyidik untuk menindak Astra secara korporasi, bukan hanya anak usahanya.
Kritik ini muncul di tengah tekanan publik yang terus meningkat. Fakta persidangan dan bukti awal sudah banyak dibuka, tetapi Kejagung belum merespon dengan konkret. Jika Kejagung menerbitkan Sprindik, penyidikan bisa mencakup pencucian uang dan struktur aliran dana. Ini bukan hanya soal dua anak perusahaan: ini soal kemampuan penegakan hukum di korporasi besar.
Analisis Korporasi dan Risiko Sistemik
Kasus ini menggambarkan isu fundamental dalam pemberantasan korupsi korporasi di Indonesia. Seringkali, hanya anak usaha korporasi besar yang diperiksa, sementara induk perusahaan — yang mungkin menjadi otak struktural korupsi — luput dari jangkauan hukum. Hal ini memperkuat narasi “impunitas korporasi” yang pernah dikritik oleh berbagai pihak.
Dalam kajian akuntabilitas korporasi, para pakar seperti Huda Yusuf dan Titib Sulaksana menyebut bahwa hanya dengan melibatkan pimpinan puncak — dan mengejar aliran dana ke level induk — penyidikan bisa efektif dan menciptakan efek jera.
Sementara itu, literatur anti-korupsi internasional juga mendukung pendekatan ini. Dalam laporan Journal International Journal of Sociology, Policy and Law, peneliti menyebut bahwa pemulihan kerugian negara dari korupsi korporasi memerlukan pendekatan integral yang juga menyasar aliran dana lintas struktur perusahaan.
Tantangan Kejagung dan Implikasi Politik
Menerbitkan Sprindik terhadap Astra Group bukan pekerjaan ringan. Astra adalah salah satu konglomerat terbesar di Indonesia, dengan portofolio di otomotif, konstruksi, pertambangan, dan energi. Mengusut aliran dana ke induk akan menguji keberanian Kejaksaan Agung — apakah hukum berlaku sama untuk korporasi besar seperti Astra, atau ekonomi besar tetap kebal.
Jika Sprindik diterbitkan dan TPPU diterapkan, penyidikan bisa mencakup audit internal grup, pemeriksaan pimpinan puncak, dan pelacakan transfer antar-cabang dan anak usaha. Ini bisa menjadi blueprint baru pemberantasan korupsi korporasi di Indonesia — bukan berburu kambing hitam anak perusahaan, melainkan mengejar akar struktur korporasi.
Namun, kegagalan menerbitkan Sprindik dapat menimbulkan kekecewaan publik. Aktivis anti-korupsi akan menggunakan kasus ini sebagai bukti bahwa korporasi besar masih memiliki “antibodi kelembagaan” terhadap penegakan hukum. Reputasi Kejagung juga dipertaruhkan: apakah lembaga penegak hukum akan jadi agen perubahan atau sekadar sekutu diam para konglomerat?
Kesimpulannya, desakan CBA memang berakar di fakta kuat: kerugian negara hampir mencapai triliunan melalui anak usaha Astra. Menolak memeriksa induk perusahaan bisa dianggap kelalaian atau bahkan akomodasi korporasi besar. Jika Kejagung serius, Sprindik dan pasal TPPU adalah jalan jamak yang harus ditempuh. Jika tidak, Indonesia berisiko terus memproduksi skandal korupsi struktural yang tidak pernah tuntas. (DH)