Kerusuhan di Morowali Sama Dengan Malari, Masalah Investasi Asing dan Ketidakadilan
Jakarta, FNN - Kerusuhan di Morowali Sabtu malam lalu, terjadi hanya satu hari sebelum kita memperingati hari Malari, 15 Januari 1974. Masalah yang diangkat pun sama, yaitu protes terhadap investasi asing.
Melihat fenomena kedua peristiwa tersebut yang hampir sama, Rocky Gerung dalam Kanal Youtube Rocky Gerung Official edisi Senin (16/01/23/ mengatakan, “Kalau kita pelajari sebelumnya, pola di dalam perubahan sosial, di Indonesia terutama, perubahan sosial itu selalu dimulai oleh keresahan rakyat, geneologi dari power atau asal usul dari kekuasaan selalu datang dari keresahan rakyat.”
Rocky mencontohkan, Pak Harto, misalnya, masuk memegang tampuk kekuasan selama 32 tahun karena ada keresahan rakyat di masa orde lama. Demikian juga waktu kita melakukan transisi dari otoriterisme orde baru ke demokrasi reformasi ’98. “Jadi, selalu ada hal yang final di dalam teori perubahan politik, yaitu public disthrush dan itu yang kelihatannya mulai terjadi hari-hari ini,” tambah Rocky dalam acara yang dipandu oleh Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, itu.
Pada peristiwa Malari Januari ’74 lalu, kata Rocky, ada semacam antipati terhadap modal asing, terutama Jepang, yang dianggap memonopoli industri Indonesia karena di-backup oleh satu think tank yang dikuasai oleh Ali Murtopo, yaitu CSIS. Malari sebagai peristiwa politik menimbulkan perubahan kebijakan. Sejak itu kita tahu ada SD Inpres, ada Puskesmas. Tekanan rakyat menyebabkan kebijakan berubah.
“Sekarang hal yang sama terjadi. Jika dulu adalah rakyat dan mahasiswa versus Jepang, sekarang rakyat, mahasiswa, buruh, versus China. Jadi, di latar belakang Morowali itu ada ketegangan modal di situ, bukan sekedar kecemburuan etnis China versus lokal, tapi ada ketidakadilan yang dasarnya eksploitasi kapitalistik,” ungkap Rocy.
Menurut Rocky, sebetulnya bangsa ini toleran. Hanya bila terjadi ketidakadilan yang menyangkut perut maka terjadi ketegangan di mana-mana. Keadaannya akan biasa saja jika tidak ada eksploitasi, tapi begitu masuk wilayah industri-industri strategis dan kelihatan bahwa tenaga kerja asing lebih mewah dan lebih makmur dibandingkan dengan lokal, maka terjadi ketegangan sosial. Jadi bukan karena etnisitas.
“Jadi, dasar dari Morowali itu adalah ketidakadilan yang disebabkan oleh kebijakan yang memihak pada tenaga kerja asing, dalam hal ini China,” tegas Rocky.
Peristiwa Morowali pasti terjadi karena di Morowali dan beberapa wilayah ada ketegangan agraria, konflik agraria, dan sekarang konflik perkembangan. Ini sebetulnya akumulasi dari kejengkelan karena pemerintah tidak peduli. “Jadi dari awal pemerintah melempar puntung berasap ke jerami di Morowali, dan akan ada jerami lain yang kena puntung yang sama,” ujar Rocky.
Jadi, potensi kerusuhan sosial dari awal memang sudah terjadi, menurut Rocky, karena kapital oligarki tidak mungkin menahan akumulasi. Sementara pemerintah tidak berpihak pada rakyat. Ombnibuslaw itu di mata buruh di Morowali artinya pemerasan terhadap hak-hak dia. Bahkan, di tingkat yang lebih menengah, sekarang publik tahu bahwa semua hanya dimaksudkan untuk menimbun kekayaan 4-5 orang.
“Jadi, sekali lagi, mulai terlihat akibat-akibat dari kegagalan pemerintah untuk melindungi hak rakyat,“ ujar Rocky.
Ini pelajaran mahal yang pasti akan berulang, tambah Rocky. Rocky memastikan bahwa ini akan berulang di tempat yang lain, yang sudah mulai berasap, seperti Papua, Aceh, karena soal-soal yang sama. “Jadi konflik industrial dan konflik agraris justru terjadi karena kebijakan pemerintah tidak memperlihatkan keadilan,” tegas Rocky. (ida)