Keserakahan di Tengah Pandemi (3): Tinjauan Kritis Terhadap Kepemimpinan Otoriter dan Oligarki di Indonesia

Oleh: Gde Siriana

TAHUN 2019 indeks korupsi Indonesia skor 40, tapi tahun 2020 skornya merosot menjadi 37, peringkatnya pun turun jauh ke posisi 101 (dari 179 negara).

Kasus korupsi dan praktik perente kebijakan meningkat selama pandemi. Dalam Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2020, BPK mengungkap 2.170 temuan yang memuat 2.843 permasalahan sebesar Rp2,94 triliun.

BPK menyimpulkan bahwa efektivitas hingga kepatuhan pengelolaan keuangan negara dalam kondisi Covid-19 tidak sepenuhnya tercapai disebabkan oleh tiga hal.

Pertama, alokasi anggaran Covid-19 dalam APBN belum teridentifikasi dan terkodifikasi secara menyeluruh.

Kedua, pertanggungjawaban dan pelaporan program, termasuk pengadaan barang dan jasa, belum sepenuhnya sesuai aturan.

Ketiga, pelaksanaan program dan kegiatan manajemen bencana penanganan Covid-19 tidak sepenuhnya efektif.

Hasil pemeriksaan BPK juga menemukan adanya perbedaan sebesar Rp146,69 triliun dalam penyusunan anggaran Program Penanganan Covid-19-PEN.

Dalam APBN 2020 disebutkan bahwa anggaran Program PC-PEN adalah Rp695,2 triliun. Namun, hasil pemeriksaan BPK menunjukkan alokasi biaya Program PC-PEN dalam APBN 2020 adalah Rp841,89 triliun.

Perbedaan atau selisih itu terjadi karena ada beberapa skema pendanaan yang belum dimasukkan dalam biaya yang dipublikasikan pemerintah, yaitu:

1) Biaya-biaya terkait dengan Program PC-PEN di luar skema Rp695,2 triliun sebesar Rp27,32 triliun;

2) Anggaran belanja untuk kebutuhan internal K/L yang telah menggunakan akun dengan tagging COVID-19 per 30 November 2020 sebesar Rp10,80 triliun, termasuk biaya pembangunan Rumah Sakit Pulau Galang di Pulau Batam, Provinsi Kepulauan Riau pada Kementerian PUPR sebesar Rp396 miliar;

3) Program existing yang telah ada dalam APBN Tahun 2020 berupa Belanja Subsidi sebesar Rp107,63 triliun. Kegiatan-kegiatan pada belanja subsidi tersebut memiliki substansi yang sama dengan kegiatan-kegiatan pada

belanja subsidi yang dikategorikan dalam skema PEN.

4) Biaya bunga utang tahun 2020 yang timbul sehubungan dengan penerbitan SBN untuk pemenuhan kebutuhan pembiayaan program PC-PEN melalui skema burden sharing dengan BI yang diestimasikan sebesar Rp0,9 triliun.

Praktek korupsi atau potensi korupsi terjadi pada Bansos, APD dan Alat Kesehatan, konflik kepentingan Kartu Prakerja, Klaim Biaya Perawatan Pasien Covid-19.

Sedangkan perente kebijakan dapat dilihat dari mafia obat, pengadaan dan penyelenggaraan vaksin, serta penyelenggaraan jasa tes PCR.

Secara etis, sebenarnya ketika sudah dapat dibuktikan ucapan pejabat berdampak signifikan meningkatkan penjualan Ivermectin, ini sudah dapat dipandang sebagai adanya konflik kepentingan.

Politik tes PCR tidak melarang orang mencari untung. Tapi, dalam konteks tata kelola pemerintahan yang baik, dalam praktiknya, akan sulit untuk menghindari konflik kepentingan jika orang-orang yang berlatar belakang bisnis, apalagi yang berkontribusi besar secara kapital dalam pemenangan pemilihan presiden, diberi tugas menyusun kebijakan publik menangani krisis selama pandemi.

Terkait definisi suap yang dipergunakan KPK dalam kasus korupsi Juliari, seharusnya suap dipandang sebagai tindak pidana korupsi karena memenuhi unsur “perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.

Penekanannya ada pada “dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.” Bagaimana mungkin vendor (pemasok) pemerintah dapat memberikan suap bernilai besar tanpa melakukan mark-up (penggelumbungan harga) atau down-grade (menurunkan) spesifikasi dan mengurangi kuantitas yang sudah ditentukan dalam kontrak.

Bagaimanapun juga, dari sisi vendor tidak akan sukarela mengurangi marjin keuntungannya. Jika demikian artinya dampak dari suap adalah in-efisiensi yang merugikan keuangan negara. Terkait hukuman mati dalam undang-undang Tipikor, dapat dikatakan KPK masih setengah hati untuk menjalankannya.

The Economist Intelligence Unit (EIU): kualitas demokrasi di Indonesia tahun 2020 merosot. Skor Indonesia 6,3 (dari skor tertinggi 10) atau nilai terendah sejak 2006. Indonesia ditempatkan pada urutan ke-64 dari 167 negara dalam survei tersebut.

Berdasarkan 4 standar yang ditetapkan IEU (demokrasi penuh, demokrasi cacat, hibrida, otoriter), skor Indonesia masuk dalam kelompok rezim demokrasi cacat.

Dalam lima tahun terakhir Indeks demokrasi Indonesia cenderung menurun, yaitu 7,03 (2015) ; 6.97 (2016); 6,39 (2017); 6,39 (2018); dan 6.48 (2019).

Dampak lainnya adalah pada kualitas pendidikan yang menurun selama masa pandemi. Ketimpangan pada kemampuan ekonomi masyarakat dan sarana-prasarana untuk mengakses internet menyebabkan kualitas pendidikan melalui pembelajaran daring tidak merata.

Survey The SMERU Research Institute: Minat baca siswa sekolah dasar mengalami penurunan.

Dr Sailal Arimi, Fakultas Ilmu Budaya UGM, menyoroti penurunan kemampuan bahasa siswa selama pandemi. Dalam kondisi normal guru bahasa bisa mengajar materi secara kontekstual, namun karena secara daring tidak semua siswa belajar secara virtual. Membuat serapan materi ajar lebih tekstual, dimungkinkan penurunan pengajaran bahasa atau linguistik.

Sekitar 71,5% rumah tangga menjawab ibu sebagai sosok utama yang lebih berperan dalam membantu anak belajar dan setengah dari para perempuan juga terlibat dalam pekerjaan untuk mendukung keluarga.

Selama pandemi beban ibu atau kaum perempuan meningkat, mereka mengalami kesulitan dalam menyeimbangkan tuntutan pekerjaan rumah tangga dan tambahan tanggung jawab lainnya karena anak-anak harus belajar dari rumah.

Selain itu, dampak pandemi lainnya adalah ancaman generasi yang hilang (The Lost Generation) karena kekurangan gizi selama pandemi terutama pada balita dan anak-anak yang akan mempengaruhi kemampuan otak mereka di usia tumbuh-kembang.

Sedangkan kondisi di Indonesia menurut pendataan tahun 2018, prevalensi anemia balita masih 38,5 persen, usia sekolah 26,5 persen dan anak remaja 15 sampai 24 tahun masih cukup tinggi, yakni 32 persen.

Itu artinya sangat mungkin angka prevalensi tersebut meningkat selama pandemi. Dalam jangka panjang ini akan mempengarui kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia di masa depan.

Ada suatu relasi yang kuat antara kepemimpinan otoriter dan oligarki, di satu sisi situasi krisis dianggap dapat membahayakan kekuasan sehingga pemerintah menjadi otoriter, tetapi di sisi lain krisis juga menjadi peluang oligarki untuk mengakumulasi aset.

Memahami oligarki di Indonesia harus melihat jauh ke belakang, yaitu kontes politik atau pemilihan umum. Thomas Ferguson menjelaskan peran oligarki sebagai investor besar yang mendanai kampanye politik partai atau

kandidat.

Dengan “teori investasi kompetisi partai politik” Ferguson menjelaskan bahwa elit bisnis/ekonomi, bukan pemilih, memainkan bagian penting dalam sistem politik.

Dalam kontes politik atau pemilu, area kompetisi sesungguhnya bagi partai politik adalah investor besar yang memiliki kepentingan berinvestasi untuk mengontrol negara. Hal ini karena, dalam sistem politik biaya tinggi uang menjadi penting, sehingga partai politik harus dapat menarik investor besar untuk membiayai kampanyenya yang mahal agar sukses.

Dalam hal ini, partai politik akan tetap menggandeng investor besar meskipun keputusannya tidak mendapatkan dukungan mayoritas pemilih, karena partai berpandangan adalah sia-sia jika mengambil posisi populer tetapi tidak mampu membayar biaya pemilu yang tinggi.

Investor besar harus memperkirakan peluang investasi mereka akan berhasil, karena mereka tidak dapat menjamin hasil pemilihan atau tahu persis kebijakan apa yang akan diterapkan oleh partai atau seorang

kandidat setelah berkuasa.

Ini memungkinkan bagi investor besar untuk mendukung lebih dari satu partai atau kandidat. Ferguson juga memberi catatan, bahwa kontribusi tunai bukanlah cara terpenting investor besar.

Investor besar juga menjadi sumber kontak jaringan, penggalangan dana, dan sebagai sumber legitimasi bagi kandidat, terutama melalui dukungan di media.

Teori ini juga tidak memprediksi bahwa pemilu akan dimenangkan oleh partai yang mampu menghabiskan uang paling banyak.

Dengan demikian menurut penulis, dalam kampanye politik peran partai politik atau kandidat bukan untuk menarik pemilih, tetapi menarik investor, yang merupakan konstituen fundamental.

Konsekuensinya ketika merespon isu, posisi dan sikap partai cenderung menyesuaikan diri dengan posisi investornya, bukan sebaliknya. Maka jangan heran jika partai politik terkesan galak dan serius membahas suatu isu sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan investornya. Kecuali jika terjadi pertarungan kepentingan di antara blok-blok investor, ini dapat menciptakan perdebatan sengit di antara partai politik.

Sebaliknya jika blok-blok investor yang tersebar ke berbagai partai politik telah bersepakat pada suatu kebijakan, maka tidak ada lagi pertarungan pada area kebijakan. Konsekuensinya adalah kebijakan publik akan sangat

dipengaruhi oleh kepentingan investor dan kepentingan masyarakat luas sangat mungkin dikorbankan.

Ini dapat dilihat dari misalnya beberapa UU kontroversial yang diloloskan DPR-RI tanpa perdebatan sengit dan panjang di fraksi-fraksi meskipun mayoritas publik menentangnya.

Sedangkan di sisi pemilih, keputusan memilih partai atau kandidat dipengaruhi oleh informasi yang tersedia. Manakala pengaruh investor sangat besar pada media massa, disertai pengerahan “buzzerRp”, kemungkinan besar keputusan tersebut akan dipengaruhi oleh informasi yang disubsidi oleh investor.

Ini menjelaskan mengapa seringkali masyarakat Indonesia memilih partai yang kebijakannya bertentangan dengan kepentingannya, mengikuti opini yang dibangun oleh media-media yang berafiliasi dengan investor.

Tetapi dalam konteks tertentu, misalnya ketika pemilihan dipengaruhi oleh politik identitas, biaya kampanye besar tidak menjamin kemenangan. Ini bisa dilihat saat Pilkada DKI 2017 yang memenangkan Anies-Sandi atas Ahok-Djarot meskipun didukung kekuatan finansial besar.

Agar dapat mengontrol negara, investor besar dan elit politik harus bersepakat dalam suatu kepentingan, tidak bisa bekerja sendiri-sendiri. Dan kepentingannya pun berskala besar, yaitu keuntungan ekonomi yang besar dan kemenangan politik yang besar.

Inilah ciri khas oligarki. Dalam praktiknya, operasi politik investor besar tidak selalu harus pada agenda politik nasional.

Pilkada pun harus dimenangkan oleh investor sepanjang di depannya ada suatu keuntungan bisnis yang besar seperti hak membangun kawasan properti atau mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam (SDA) di daerah.

Penulis Buku “Keserakahan di Tengah Pandemi”

361

Related Post