Legenda Si Mata Biru
Oleh Ridwan Saidi Budayawan
PADA tahun 1979 saya pindah dari Sawah Besar ke Kelapa Gading. Boleh dikata tiap hari saya melintas Jl Prrintis Kemerdekaan. Dan acap kali melintas saya selalu lempar pandang ke waduk alami di Pulo Mas: Ria Rio. Wah Brazil.
Rio itu air atau juga sungai. Ria tentu bukan gembira tapi penyedap dalam kata berulang a-simetris macam sungsang sumbel. Yang prnyedap di sini: sumbel, kata kedua. Pada Ria Rio yang penyedap Ria, kata pertama.
Di Indonesia etnografi tak dilibatkan dalam mendalami sejarah, sehingga pakar-pakar terkait hanya punya koleksi 3 bangsa: India, China, dan Portugis yang migrasi ke Indonesi.
Padahal migran yang malah datang lebih dulu dari Amerika Selatan, Pacific. Asia Tengah, Afrika, Arab, Eropa.
Maka jika membaca karya tulis sejarah oleh orang Indonesia terkesan dianya pasti punya ijazah asli tapi tak punya SEKIL (skill). Kalau orang bermata biru langsung dibilang Portugis.
Orang-orang suku Lamno, Aceh Jaya, suku pedalaman Lingon di Yamini, Halmahera Timur, itu banyak yang bermata biru dan kadang-kadang berambut pirang. Mereka bukan Portugis seperti yang disangka sementara pakar, mereka Csucasia, Asia Tengah. Orang Portugis tidak berdiam di pedalaman. Portugis berdiam di zona ekonomi. Mereka pebisnis.
Yang juga bermata biru suku pedalaman Buton.
Suku Togutil tidak bermata biru, mereka diam di Halmahera Timur. Di antara mereka banyak yang Islam.
Suku Maya di Mexico sejak 1995 banyak yang masuk Islam. Bermula tahun 1995 kala suku Maya berdemo di kota-kota Meksico menuntut keadilan yang akhirnya menuntun sebagian mereka masuk Islam. Per 2021 orang Maya yang Islam seribuan.
Juga untuk generasi muda muslim Maya sudah ada pusat pengajaran Islam.
Lebih 3000 tahun lalu migran Maya di Indonesia berkata: Ahu aviki. Aku tahu Tuhan, tapi aku tak tahu apa-apa tentang itu.
Sekarang muslim Maya berkata: Aku tahu Tuhan, dan aku menyembahNya. Allahu Akbar. (RSaidi)