Maladministrasi Tanah Rempang, Praktik Pengelolaan Negara Amatiran
Oleh Prihandoyo Kuswanto | Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila
SEMAKIN terbongkar praktek -praktel maladministrasi dalam kasus tanah Rempang Batam. Di satu sisi telah dilakulan persekusi terhadap rakyat Rempang - terhadap kampung yang telah dihuni 300 tahunan sejak 1720, jauh sebelum negara ini ada, tiba-tiba digusur dengan kekerasan yang mengakibatkan banyak orang terluka dan anak anak sekolah kena gas air mata. Akibatnya sesak nafas. Di samping bentrok antara rakyat yang bertahan melindungi tanahnya dari serangan gabungan TNI Polri dan satpol PP, juga dilakukan pemaksaan untuk menandatangai pemindahan rumahnya.
Banyak anak muda yang ditangkap oleh polisi dengan tuduhan anarkhis sampai hari ini masih belum dibebaskan.
Kalau begitu dengan adanya temuan Ombusman bawah BP Batam tidak mempunyai sertifikat hak atas tanah Pulau Rempang, apa yang menjadi dasar parat Polisi TNI dan Satpol PP melakukan pembebasan tanah rakyat? Bahkan Menteri Pertanahan juga menuduh rakyat tidak punya sertifikat, terus bedanya apa dengan BP Batam?
Penemuan Ombusman ini sangat mengejutkan bahwa BP Batam tidak mempunyai sertifikat hak atas tanah yang dikerjasamakan kepada PT Makmur Elok Graha, pemegang hak eksklusif untuk mengelola serta mengembangkan Rempang Eco City, adalah anak perusahaan Grup Artha Graha, yang dimilikinya.
Jika PT. Elok Makmur Graha bentuknya menyewa pada BP Batam, sementara BP Batam tidak mempunyai alas hukum yaitu sertifikat hak. Apakah hal seperti ini menjadi batal demi hukum?
Masalah lahan di Rempang, Kepulauan Riau (Kepri) telah dilakukan penanganan dugaan maladministrasi oleh Ombudsman RI.
Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro menerangkan, sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pulau Rempang belum dimiliki BP Batam.
Hak Pengelolaan yang dimohonkan pihak BP Batam belum diterbitkan dengan alasan lahan belum clean and clear karena masih dikuasai oleh masyarakat.
Surat Keputusan Pemberian Hak Pengelolaan untuk lahan Area Penggunaan Lain (APL) telah terbit dari Menteri ATR/KBPN tertanggal 31 Maret 2023 dan akan berakhir pada tanggal 30 September 2023.
Meskipun dapat diperpanjang dengan persetujuan Menteri ATR/BPN berdasarkan permohonan BP Batam. Ini sesuai dengan penjelasan Johanes dalam konferensi pers, Rabu (27/9/2023) di kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan.
Maladministrasi ini jelas berdampak pada hukum, bagaimana BP Batam belum mempunyai sertifikat melakulan kerjasama dengan pihak PT. Elok Makmur Graha bentuknya menyewah pada BP Batam dengan melakukan sewa menyewa?
Terus yang disewakan apa, la wong BP Batam belum punya sertifikat? Jadi kalau Menteri Agraria menuduh rakyat tidak punya sertifikan di16 kampung tua itu artinya BP Batam pun tidak punya sertifikat tanah.
Hal ini menjadi runyam kepada aparat Kepolisian danTNI serta satpol PP atas dasar apa melakukan pemaksaan pengosongan dengan kekerasan tanah di Rempang? Sedang BP Batam tidak mempunyai sertifikat tanah?
Inilah yang disebut Prof .Yusril Isyah Mahendra praktek -praktek pemerintahan yang amatiran yang diucapksn pada harla PBB yang diungga di Youtube. (*)