Manurver Politik PDIP: Pemerintah Didorong Minta Maaf kepada Bung Karno dan Keluarga
PRESIDEN Joko Widodo menyatakan bahwa TAP MPRS Nomor 33 tahun 1967 telah dicabut dan tidak berlaku lagi. Aturan itu awalnya berisi pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden pertama RI Soekarno.
Di bagian menimbang disebutkan bahwa Soekarno mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kelompok G30S pada 1965.
Kemudian, TAP MPRS itu dicabut pada 2003 lewat TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003 (semasa Presiden Megawati Soekarnoputri. Setelah itu, Presiden Soeharto pada 1986 memberikan gelar Pahlawan Proklamator dan Pahlawan Nasional pada 2012 semasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Artinya, Insinyur Soekarno telah dinyatakan memenuhi syarat setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara yang merupakan syarat penganugerahan gelar kepahlawanan,” kata Jokowi.
Pencabutan aturan ini kemudian menuai pro kontra di kalangan elit politik tanah air. Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah berharap Pemerintah Indonesia menyampaikan permohonan maaf kepada Soekarno dan keluarga besarnya karena pernah mengeluarkan TAP MPRS tersebut.
“Menurut kami setelah diperolehnya gelar pahlawan nasional, kepada Bung Karno di tahun 2012, maka seyogianya negara melalui pemerintah Republik Indonesia menyampaikan permohonan maaf kepada Bung Karno dan keluarga,” kata Basarah dalam keterangan tertulis, Selasa (8/11/2022).
Basarah menegaskan bahwa tudingan yang ditujukan kepada Bung Karno dalam hal G30S tidak pernah terbukti. Oleh karena itu, Basarah menganggap negara perlu menyampaikan permohonan maaf kepada Sukarno dan keluarga besar.
Sementara, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa menilai permintaan tersebut mengada-ada. Dia meyakini desakan itu muncul atas kemauan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
“Kalau Sukarno direhabilitasi itu namanya mengada-ada kan,” kata Desmond di kompleks parlemen, Rabu (8/11/2022).
Ia menilai, permintaan itu muncul karena pemerintahan saat ini merupakan bagian dari keluarga Soekarno. Sebab, Jokowi juga merupakan petugas partai yang dipimpin Mega sebagai putri Presiden RI pertama tersebut.
Sekjen Gerindra, Ahmad Muzani berpendapat negara tak harus meminta maaf ke Bung Karno karena Tap MPR menyatakan Soekarno tidak terlibat dalam G-30S/PKI.
Bagaimana pengamat politik Rocky Gerung melihat persoalan ini? Berikut ini dialog wartawan senior FNN Hersubeno Arief dengan Rocky Gerung di Kanal Rocky Gerung Official, Kamis (10/11/2022).
Saya mau tanya pada Anda Bung Rocky karena jujur saya bingung. Pak Jokowi ini kan sebenarnya sudah sejak beberapa hari yang lalu menyatakan bahwa TAP MPRS Nomor 33 tahun 1966 yang sudah dicabut dan beliau menyatakan bahwa ini kan soal Bung Karno melindungi tokoh komunis segala macam sudah dicabut.
Saya waktu itu mengamati ada apa kok tiba-tiba isu ini dimunculkan, tapi tiba-tiba saja kemudian PDIP mengeluarkan statement bahwa pemerintah harus minta maaf pada keluarga Bung Karno dan kemudian sekarang, mulai hari ini, saya baca kemarin, saya baca ada penolakan dari Gerindra. Sebenarnya apa yang terjadi dan mengapa isu ini diangkat kembali.
Kita bisa berspekulasi karena nggak ada yang jelas kan. Hal yang jelas Bung Karno adalah proklamator, sudah selesai sampai di situ. Itu sudah semuanya. Apa yang masih dipersoalkan? Bahwa Bung Karno nggak bikin salah, jelas dia bikin salah. Wong dia mau jadi presiden seumur hidup. Itu soal urusan para sejarawan.
Tapi, urusan kita adalah menduga-duga bahwa di belakang ini ada semacam transaksi batin lagi Pak Jokowi dengan Bu Mega tuh. Kira-kira persyaratan Bu Mega “lakukan sesuatu baru saya maafin kamu”. Itu intinya kan. Ini jadi soal personal Bung Karno pada waktu itu melakukan kesalahan di dalam kalkulasi politik sehingga terjadi peristiwa ‘65 tuh.
Kan waktu itu dia bukan ayahnya Megawati, dia Presiden Republik Indonesia. Dia bukan Soekarno dalam pengertian Bapak dari sebuah keluarga. Itu lain. Sama juga dengan Pak Harto. Pak Harto juga berkuasa karena dia memelihara kekuasaan militer. Lalu kita kritik dan itu akhirnya diterima diselesaikan.
Jadi mesti bedakan, ini bukan problem keluarga Ibu Mega. Ibu Mega memang mungkin terkait secara biologis, tetapi ini soal ideologi Bung Karno, ini urusan bangsa tuh.
Jadi, para sejarawan memeriksa dan enggak ada orang yang menganggap Bung Karno tidak bersalah. Bahwa Bung Karno adalah proklamator, betul. Tapi Bung Karno melakukan politik melanggar HAM, menahan lawan-lawan politik, membubarkan partai politik, PSI dibubarkan, Masyumi dibubarkan, lawan-lawan politiknya ditahan, Sultan Syahrir ditahan, Buya Hamka ditahan, segala macam. Kan itu peristiwa yang ada di dalam sejarah.
Kalau dimaafkan, artinya Pak Karno itu nggak pernah membuat kesalahan kalau begitu kan. Nanti jadi ajaib. Nanti tiba-tiba romusha minta PDIP minta maaf pada keluarga romusha karena Bung Karno bahkan sudah bilang saya yang mengirim mereka ke dalam kematian. Bung Karno sendiri bilang begitu karena dia sadar bahwa dia salah bikin perhitungan.
Tapi pada waktu itu Bung Karno masih hidup, lalu dia tahu bahwa sebagai ketua pengerahan romusha, itu buruh yang dipaksa kerja paksa oleh Jepang ke Sailon ke luar negeri itu, itu tanggung jawab Bung Karno. Bung Karno sudah bilang, dia yang merasa bersalah.
Jadi, kalau begitu nanti romusha bilang enggak cukup Bung Karno, harus keluarga, harus PDIP minta maaf. Jadi kacau nanti. Kita hanya bisa menduga bahwa di belakang itu ada tukar tambah kepentingan dan bukan kepentingan negara. Ini kepentingan dua tokoh politik, yaitu Pak Jokowi dan Ibu Mega. Jangan dilibat-libatkan dengan soal sejarah. Itu intinya.
Saya heran karena Tap MPRS itu sudah dicabut sendiri semasa pemerintahan Ibu Mega tahun 2003. Bahkan, gelar pahlawan proklamator itu kalau enggak salah itu zamannya Pak Harto bahkan, tahun 1986. Kemudian, zamannya Pak SBY tahun 2012, Pak Bung Karno diberi gelar Pahlawan Nasional. Saya kira sebenarnya bangsa ini sudah meletakkan Bung Karno pada posisi yang pada makomnya gitu.
Memang, nggak ada orang yang menganggap Bung Karno itu pengecut, nggak ada orang yang menganggap Bung Karno pengkhianat atau macam-macam. Orang tetap di dalam balancing antara kemakrifatan dan keangkaramukaan, tetap Bung Karno dianggap Bapak Bangsa. Di mana-mana kita tahu itu.
Jadi, buat apa mempersoalkan sesuatu yang secara faktual orang tahu bahwa Bung Karno punya kesalahan, bahkan kejahatan dalam sejarah demokrasi. Dan orang anggap oke, itu kecelakaan sejarah, karena ada konteks perang dunia, perang dingin segala macam.
Ada kepentingan permainan ideologi Timur Barat. Jadi, Bung Karno ada di dalam wilayah yang pada waktu itu dia bisa untuk jadi semacam sekarang, mau jadi proksi China atau proksi Amerika.
Bung Karno mau melinggis Inggris, mau menyetrika Amerika, lalu terjadi peristiwa G30S. Dan itu dalam ahli sejarawan, ya salah strategi saja PKI itu. Lakukan sesuatu yang tidak matang gitu. Dan kita baca semua otokritik dari kalangan PKI sendiri itu bahwa mereka salah melakukan analisis.
Sampai sekarang, data-data itu berseliweran, belum bisa dibuatkan semacam keutuhan keterangan apa yang terjadi. Tetapi, bahwa ada peristiwa itu jelas dan ada kerugian pada pihak Muslim, jelas. Dan, kita tahu bahwa semua hal itu adalah kontroversi.
Jadi, buat saya, biarkan Pak Karno itu ada di dalam spektrum kontroversi. Dan, bagus juga kan, orang menilai Bung Karno dalam kontroversi itu. Kalau PDIP ngotot, apalagi keluarga Bung Karno ngotot, itu agak absurd, karena ini PDIP mau menghalangi negara.
Kalau begitu Bung Karno dikecilkan lagi jadi sekadar kepala keluarga. Beliau besar sekali namanya. Jadi, apapun yang dicapkan orang pada beliau, tidak memengaruhi kemuliaan atau keagungan dia sebagai orang yang meletakkan dasar negara modern di Indonesia.
Tapi kemudian, dia salah langkah karena ingin jadi presiden seumur hidup, lalu orang mulai bikin analisis kenapa jadi begitu? Karena ada sifat manusia dan ada kepentingan yang lebih besar karena Bung Karno melihat dia harus jadi Bapak Asia dengan doktrin sosio-nasionalisme itu yang didalamnya ada komunismenya.
Jadi, semua variabel itu sudah kita pelajari di bangku akademi dan orang tahu bahwa Ibu Mega sebetulnya hanya bayang-bayang sederhana dari figur Bung Karno, nggak sebesar Bung Karno, apalagi Puan segala macam. Dan, orang mengerti bahwa memang enggak mungkin menandingi Bung Karno. Mau siapapun enggak bisa menandingi Bung Karno.
Jadi, PDIP jangan memonopoli ke-Bungkarno-an dan menganggap bahwa kesalahan Bung Karno harus dipulihkan, apalagi minta maaf. Itu agak susah karena sejarah selalu punya cacat. Enggak ada yang jalan bagus di dalam kehidupan di dalam kehidupan seorang tokoh.
Justru kesempurnaan manusia itu kan di situ ya.
Ya. Berbuat salah itu adalah manusia. Antropologi politik selalu mengajarkan kesalahan pasti harus terjadi supaya dia dianggap manusia.
Oke. Karena itu maka ketika beberapa hari lalu Pak Jokowi menyampaikan itu kita mencoba mengendapkan, apa maksdunya. Tiba-tiba muncul pernyataan PDIP dan kemudian sekarang ditolak oleh Gerindra dan sebagainya.
Memang kita tidak terlalu salah kalau seperti Anda tadi menyimpulkan ini ada tukar tambah soal politik, apakah ini berkaitan dengan ketegangan antara Pak Jokowi dengan Ibu Mega, berkaitan dengan pencalonan Ganjar dan sebagainya. Kan orang kemudian analisis bisa ke mana-mana.
Ya, analisis saya ini soal di belakang layar adalah tukar tambah itu. Tetapi, kalau kita mau perluas sedikit analisisnya, ini juga mau memancing soal politik identitas, supaya ramai. Pasti nanti pihak Islam akan menganggap enggak, Bung Karno itu bersalah dan salahnya besar sekali, karena PKI berkelahi atau melakukan kekerasan terhadap HMI.
Dan, itu semua yang mengalir dalam sejarah kan. Tapi, apakah itu yang mau diungkit-ungkit hanya untuk permainan elektabilitas. Kan kacau. Jadi, tetap ini ada operasi intelijen, tapi di belakang itu juga ada semacam ya tahu sama tahu bahwa siapa yang mengeluarkan isu, tentu dia punya kepentingan pertama tuh.
Jadi, kita tagih sekarang Pak Jokowi keluarin isu itu, lalu ditanggapi oleh PDIP. Itu artinya, kepentingan dia berdua saja. Mana ada kepentingan rakyat di situ. Kan rakyatnya nggak peduli soal-soal semacam itu. Tiba-tiba ada soal permintaan maaf.
Jadi Gerindra pasti bereaksi karena secara historis kan mesti dibuka ulang dan faksi-faksi yang ada dalam Gerindra juga banyak yang tahu, memang Bung Karno itu otoriter. Jadi gampang saja. Memang otoriter.
Membubarkan partai sikap otoriter, menahan lawan-lawan politik juga sikap otoriter. Jadi, jangan sampai PDIP dikesankan ingin mengembalikan versi otoriterianisme Bung Karno. Satu partai, Nasakom saja yang ada di Indonesia. Itu juga otoriter. Jadi, percuma sebetulnya mengungkit-ungkit sesuatu yang nanti akan membongkar banyak hal.
Padahal, sebenarnya buat kita persoalan itu sudah selesai dan saya kira bagi generasi yang baru sekarang bahkan itu jauh sekali ya persoalannya. Mereka sendiri mungkin bingung mengapa soal-soal seperti ini mesti diributkan.
Iya, ini tahun Pemilu. Semua hal mau dijadikan bahan buat ambil suara, buat kampanye segala macam. Dan Pak Jokowi yang mestinya beliau sebagai presiden yang sudah nggak boleh mengambil keputusan sebetulnya.
Biarkan saja banyak proyek Pak Jokowi yang pasti kalau dia bagus diteruskan oleh successornya, kalau buruk ya pasti dihentikan. Nggak usah dipaksain. Pak Jokowi nggak perlu memaksakan bahwa semua proyek dia itu harus diteruskan oleh presiden berikutnya.
Kan itu artinya menahan presiden berikutnya untuk tidak boleh berimajinasi atau membuat program lain. Jadi, Pak Jokowi juga salah itu. Dia minta supaya ada kelanjutan dari program dia. Enggak ada. Nggak perlu ada. Kenapa mesti ada.
Kan kalau memang baik pasti dilanjutkan, tapi bukan karena dia program Pak Jokowi, tapi karena kemasuk-akalan suatu proyek secara ekonomi maupun secara politik. Yang bahaya kalau Pak Jokowi tetap punya ambisi, seluruh proyek dia harus diteruskan oleh suksesornya.
Itu artinya Pak Jokowi juga mengalami mental seperti Soekarno, mau ngatur terus-menerus. Itu bahayanya, Soekarnoisme yang otoriter bisa dipraktekkan oleh Presiden Jokowi hari ini.
Saya kira sebenarnya kita harusnya dalam negara demokrasi itu kita tidak pernah membayangkan bahwa akan ada akhir masa jabatan seorang kepala negara itu kemudian terjadi kekacauan semacam ini. Karena sebenarnya demokrasi sudah mengatur mekanisme sendiri.
Katakanlah kita punya pengalaman yang pertama kali kan Pak SBY yang dua periode itu dalam era demokrasi ini. Dan pada waktu itu, saat Pak SBY selesai, ya selesai. Kemudian ganti Pak Jokowi. Harusnya, kita membayangkan pola yang sama juga berlaku begitu. Tapi yang terjadi kita malah bingung nih kok seperti ini negara jadinya.
Jadi, bayangkan misalnya Pak SBY ngotot supaya proyek-proyek Pak SBY harus diteruskan Pak Jokowi itu. Maka enggak mungkin Pak Jokowi ngledek ada proyek mangkrak di Hambalang waktu itu. Kan itu jelas Pak Jokowi mau kasih sinyal bahwa ini mangkrak. Sekarang banyak yang mangkrak ini di era Pak Jokowi.
Jadi, biasa saja tuh. Nanti orang juga akan anggap bahwa itu karena ada salah kebijakan. Jadi, banyak hal yang enggak perlu dipaksakan. Jadi, susah nanti kalau setiap pemimpin itu harus menunjuk suksesornya.
Contohnya saja SBY. SBY nggak peduli itu siapa yang mau terpilih itu karena dia nggak mau meninggalkan kesan bahwa dia mengatur masa depan orang lain tuh. Kan begitu. Bahkan, kalau Pak Jokowi ingin terpilih lagi, nggak ada orang yang ingin mengatur apa yang mesti dilakukan oleh Pak Jokowi selain dirinya sendiri itu.
Jadi, sebetulnya yang disebut sirkulasi elit tersebut artinya pergantian visi kepemimpinan, bukan sekedar pergantian orang, pergantian rezim. Kalau terus-menerus Pak Jokowi ingin begitu, nanti pengganti Pak Jokowi juga akan bilang oke nanti terusin ya. Jadi terus-menerus.
Jadi sejarah ini sejarah Jokowi doang. Demikian juga emosi dari teman-teman di PDIP, seolah-olah sejarah Bung Karno sudah macet. Enggak. Orang akan ingat Bung Karno terus. Nah, kalau mau dipersoalkan kenapa sejarah Bung Karno itu berhenti, ya karena Pak Jokowi tidak meneruskan proyek-proyek pikiran Pak Bung Karno yang sosialistis.
Kan Pak Jokowi itu bertentangan sama sekali dengan teori ekonomi Bung Karno: kemadirian, ternyata kita nggak mandiri, tergantung pada China. Kesetaraan bangsa-bangsa, kita nggak setara, kita diatur-atur di dalam kompetisi global. Pro keadilan rakyat, enggak.
Karena Bung Karno dari alam baka dia bisa lihat bahwa disparitas tinggi sekali itu. Jadi, nggak ada satu pun poin yang bisa kita katakan Jokowi itu meneruskan proyek Bung Karno.
Padahal, di awal orang tahu, Pak Jokowi sebagai petugas partai diwajibkan untuk pro pada pikiran-pikiran Bung Karno dan kita nggak lihat itu dalam kenyataan. Bahkan, dalam narasinya Pak Jokowi itu tidak punya semacam kesamaan dengan Bung Karno, walaupun nggak boleh disama-samakan, tapi jauh betul.
Jadi bagaimana kita menempatkan ini secara proporsional Bung Rocky?
Ini permainan sementara dalam upaya memancing opini itu. Biasanya, ketika opini terbentuk, akan ada yang ambil keuntungan dari penyesatan opini. Kan itu saja. Karena itu, kita mau terangkan pada publik nggak usah peduli saja. Kan ini nggak ada urusan dengan pemilu yang jujur, gak ada urusan dengan kesulitan ekonomi hari-hari ini. Satu-satunya hal yang bisa kita duga secara kuat adalah persaingan antara Jokowi dan Megawati belum selesai.
Oleh karena itu, dicari jembatan. Jembatannya adalah memunculkan isu semacam ini. Yang kedua, sekaligus memancing reaksi dari masyarakat kaum muslim politik. Setiap kali Bung Karno diajukan itu sebetulnya reaksi pertama dari umat muslim. (sof/sws)