Masuk Sekolah Rakyat Sistem Colek Kuping
Oleh Ridwan Saidi Budayawan
SAYA masuk Sekolah Rakyat, kini SD, di jaman Jakarta daerah pendudukan dengan batas-batas yang tak jelas. Tak dapat diketahui dengan mudah bagi rakyat mana daerah Republik dan mana zona Belanda.
Orang tua saya tak tahu bahwa SR Taman Sari II, dimana saya disekolahkan, itu di bawah administrasi Belanda.
Masuk SR gampang sekali. Cek umur dengan merujuk pada pengakuan orang tua murid saja. Hampir tak ada yang anaknya punya akta lahir. Saya punya surat keterangan lahir diketik dengan tanda tangan Komicho, kepala kampung.
Setelah klarifikasi umur, calon murid disuruh pelintangkan tangannya ke atas kepala. Kalau jari tangan kanan bisa colek kuping kiri, artinya bisa masuk sekolah tanpa bayar apa pun.
Di dinding ruang kelas menggantung potret wanira Belanda bermahkota. Kemudian saya tahu itu Ratu Juliana.
17 Agustus sekolah diliburkan. Tak ada perayaan kemerdekaan. Malah ketika saya naik kelas II tahun 1949 sekolah merayakan jaarig (HUT) Ratu Juliana. Kami dikasih permen, coklat, biskuit, dan bendera merah putih biru Belanda. Lalu kami dibolehkan pulang.
Di jalan orang-orang ramai berteriak menyuruh kami buang itu bendera Belanda. Kami pun buang itu bendera.
Tahun1950 ada yang terasa aneh di sekolah kami SR Taman Sari II. Guru-guru lama tak tampak sama sekali. Yang tersisa cuma Pak Sipan, penjaga sekolah dan keluarganya yang bertinggal di kompleks sekolah. Lalu banyak murid baru, katanya pindahan dari daerah. Mereka yang masuk kelas III usianya sudah 12 tahun. Kalau itu anak perempuan sudah berbody gadis. Kalau anak lelaki suaranya sudah pecah, tampaknya sudah balegh. Dalam istilah Betawi "sudah ngarti perempuan".
Di dinding ruang kelas menggantung potret Bung Karno dan Bung Hatta.
Wajah guru-guru pun baru semua.
Guru baru kami namanya Pak Sumarso. Sebagai perkenalan dia mengajarkan kami menyanyi lagu Di Timur Matahari:
Di timur matahari
Mulai bercahya
Bangun dan berdiri
Kawan semua
Marilah menyusun
Barisan kita
Untuk Indonesia
Yang sejahtera.
(RSaidi)