Rocky Gerung: Bu Mega, Kalau Anda Teguh Pendirian, Pecat Ganjar, Dewan Kolonel dan Hasto

GANJAR Pranowo dipanggil DPP PDIP untuk klarifikasi soal pernyataannya yang menyebutkan bahwa dia “siap nyapres”. Gubernur Jawa Tengah yang sedang naik daun karena hasil surveinya selalu di atas Anies Baswedan itu harus datang langsung pada Senin sore (24/10/2022).

Surat panggilan atas nama DPP PDIP itu ditandatangani oleh Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto dan Kedua DPP PDIP Komarudin Watubun.

Menurut Hasto, pemanggilan itu bukanlah tanpa alasan karena saat ini PDIP masih fokus membantu masyarakat. PDIP kini belum memprioritaskan soal pencapresan untuk Pemilu 2024.

Karena, lanjutnya, terkait dengan pencapresan akan diumumkan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

“PDI Perjuangan makin menguat dalam bergerak ke bawah untuk nyatu dengan kekuatan rakyat. Masalah capres, ya, belum diumumkan oleh Bu Mega,” ujarnya.

Sebenarnya apa yang terjadi di PDIP sekarang ini? Pengamat politik Rocky Gerung berusaha menganalisa bersama Wartawan Senior FNN Hersubeno Arief dalam Kanal Rocky Gerung Official, Senin (24/10/2022).

Halo apa kabar Anda semua. Senang sekali ketemu pada hari Senin. Wah, ini Senin yang cerah jadi mudah-mudahan juga semua Anda dalam kondisi juga cerah dan semangat hari ini ya, seperti saya lihat Bung Rocky seger nih. Biasanya kalau habis akhir pekan, habis naik gunung, jadi seger yang Bung Rocky.

Ya, saya seger naik gunung. Ada yang berupaya naik kekuasaan, tapi bingung sendiri.

Iya. Bener. Saya bingung dengan apa yang terjadi di PDIP. Kenapa semuanya kok ditegur gitu ya. Ganjar Pranowo siap nyapres ditegur, tapi loyalisnya Paun Maharani juga ditegur itu Dewan Kolonel, bahkan dikasih surat peringatan keras dan terakhir. Gitu kalau tidak salah ingat saya. Ini kan serius banget. Apa yang terjadi sebetulnya Bung Rocky.

Itu kan kayak orang, dia lihat tetangganya kok tiap hari pesta gitu kan, lalu dia bingung sendiri. Dia mau pesta, pengantinnya nggak ada. Kan gitu tuh soalnya.

Jadi, dia ngoceh saja di dalam rumahnya sendiri itu. PDIP juga begitu nih. Mau pesta, tapi pengantin enggak ada. Itu soalnya semacam itu. Dan, Ibu Mega, dalam usia yang senja, dia harusnya kasih keputusan lebih tepat, tapi justru saya menduga itu aparat di sekitar Bu Mega itu nggak kasih informasi yang benar kepada Ibu Mega.

Kan Ibu Mega makin lama aksesnya makin terbatas karena memorinya juga makin berkurang itu, sehingga kapasitas Ibu Mega untuk bikin prediksi juga harus dibantu dengan baik. Sementara, Hasto ngoceh-ngoceh kiri-kanan nggak jelas.

Ini Mega yang ngomong, apa ada faksi lain yang sedang menuntun Hasto. Ini kan masalahnya di situ tuh. Dan, kelihatannya orang-orang khusus yang ada di sekitar Ibu Mega enggak lagi mau kasih poin yang masuk akal, karena mungkin Mega akan bereaksi lagi kan.

Jadi, selama Puan Maharani tidak dipastikan sebagai kader Soekarnois maka rakyat akan menganggap bahwa kalau begitu PDIP sudah selesai dong. Kan soalnya cuma satu kan, pastikan saja bahwa Puan adalah kader Soekarno. Di dalam dirinya tuh mengalir darah kepemimpinan.

Kenapa ragu, kan itu. Nanti dia diganggu oleh Pak Jokowi ganggu dengan KIB, lalu Ganjar Pranowo bikin manuver sendiri, sementara Anies Baswedan sudah petentang-petenteng, gembira di seluruh Indonesia kan. Jadi, ini kecemburuan ada orang pesta membuat Ibu Mega gelisah.

Kegelisahan itu sebetulnya yang mestinya kita bantu. Ibu Mega, Anda terkenal atau diingat sebagai orang yang selalu teguh pada pendirian jika menyangkut disipiln partai. Jadi kalau cuma ngancam-ngancam, ya buat apa. Ya pecat saja kan. Pecat Ganjar, pecat Dewan Kolonel, kalau bisa pecat Hasto tuh! 

Iya. Sebenarnya kan memang kita membaca pikiran Ibu Mega itu dari apa yang diucapkan oleh Hasto, walaupun kadang-kadang kita meragukan apakah betul memang pernyataan Ibu Mega atau sekedar mengatasnamakan Bu Mega, itu karena kita lihat yang tidak konsisten, terutama dalam kasus Ganjar, misalnya.

Pada awalnya ditanya oleh wartawan ketika Ganjar menyatakan siap untuk maju capres dia menyatakan itu masih dalam koridor-koridor partai, kan begitu. Lalu, beberapa hari kemudian dia bilang bahwa itu akan dipanggil, diklarifikasi, karena tetep saja itu hak prerogatif Ibu Mega.

Jadi saya kira mungkin di sini Hasto bicara pada media dan ditegur oleh Ibu Mega dan dia salah menafsirkan apa yang dipikirkan Ibu Mega.

Itu double lost translation sebetulnya. Jadi, dua kali kacau, Hasto berupaya untuk memahami pikiran ibu Mega walaupun dia sudah bertahun-tahun mendampingi Bu Mega, tapi akhir-akhir ini dia nggak bisa nangkap Ibu Mega maunya apa?

Ibu Mega juga mau berupaya untuk memikirkan apa yang bisa disebutkan sebelum diputuskan, Hasto mendahului. Jadi, kekacauan komunikasi itu memang berlangsung di dalam PDIP karena nggak ada calon yang betul-betul kuat kan.

Kalau punya calon kuat dia masa bodoh mau Dewan Kolonel, Dewan Jenderal, Dewan Bripka, juga nggak penting. Yang penting saya sebagai ketua partai, Ibu Mega sudah tahu siapa yang saya inginkan. Tapi nanti ada soal ya, itu tunggu waktu.

Iya, dalam penantian itu, semua hal bermain, bahkan orang-orang dekat Mega juga sudah merasa kalau begini memang PDIP nggak ada harapan. Kan begitu kira-kira. Kalau saya nguping-nguping banyak yang melihat ya ini mungkin masa paling buruk dalam PDIP.

Karena di ujung usia Ibu Mega yang sudah bijak sebetulnya, Ibu Mega masih harus ngurus partai sampai soal tetek bengek-nya kan. Jadi harusnya dipreteli saja bahwa Ibu Mega harusnya mengatakan bahwa saya sudah punya calon, karena itu calon lain yang berupaya untuk mengganggu PDIP kasih disiplin yang final.

Kan selesai? Sehingga Ganjar juga lega, oh, dia nggak didukung oleh PDIP. Ya, mungkin juga Ganjar bisa bilang ya lebih baik gua nempel ke Anies buat jadi menteri pariwisata nanti itu. Karena Ganjar lagi senang berwisata walaupun sudah ditegur jangan keluar kota, eh dia wisata-wisata.

Oke. Memang saya kira nggak adil ya memberikan beban terlalu berat kepada Ibu Megawati seperti sekarang karena selalu dikatakan oleh Bu Mega bahwa “Kan kalian yang memberi saya hak prerogratif untuk menentukan presiden.”

Padahal, untuk menentukan seorang presiden perlu pertimbangannya sangat banyak dan tidak bisa kalau Bu Mega tidak mendapat masukan-masukan dari berbagai kalangan, terutama para kader yang dia percaya kan?

Ya, Bu Mega cuma hitung satu soal, yaitu Pak Jokowi sendiri. Karena setiap upaya Ibu Mega untuk menghalangi Ganjar, itu di belakangnya, Ibu Mega itu tahu, Jokowi ini masih presiden.

Jadi keinginan Pak Jokowi itu seringkali juga akhirnya ditahan di dada oleh Ibu Mega supaya nggak berselisih terlalu jauh tuh. Kan itu masalahnya. Dan, ini kan kirim-mengirim sinyal.

Pak Jokowi juga makin lama merasa bisa mengatur PDIP. Kenapa? Itu karena PDIP nggak punya kader. Kan itu. Yang dianggap satu-satunya kader yang dibanggakan PDIP ya Pak Jokowi sendiri. Kan begitu ceritanya kan.

Jadi, Pak Jokowi masuk di dalam manajemen batin yang berupaya untuk dikirim sinyal tanpa saya PDIP juga akan ambruk. Kira-kira itu. Nah, sinyal itu kemudian diperkusi oleh pers, oleh macam-macam, dan dianggap yang memang itu faktornya.

Lain kalau Pak Jokowi dari awal dibimbing oleh Ibu Mega sehingga Jokowi tahu bahwa dia harus bersarang di PDIP. Tapi karena teguran-teguran Mega, sindiran-sindiran Mega yang sering kali menyakitkan hati Pak Jokowi, ya Pak Jokowi pasti melakukan semacam revans. Kan begitu kan.

Jadi, politik ada dua dimensi. Dimensi revans, dimensi pembalasan itu selalu ada dalam kompetisi politik, juga dimensi momentum. Nah, itu yang sekarang hilang dalam Ibu Mega. Momentumnya hilang.

Ibu Mega sudah terburu dikepung juga oleh Anies dan Pak Prabowo juga sudah merasa ya sudahlah kalau PDIP mencla-mencle ya mending dengan Muhaimin Iskandar saja kan. Begitu kira-kira psikologi Bu Mega. Itu yang enggak bisa dibaca oleh orang sekelas Hasto. Hasto belum bisa baca begituan.

Cuma Mega yang punya batin yang kuat. Setelah tapa brata mungkin minggu ini Bu Mega akan keluar dengan statement to be or not to be, Puan atau bukan, kalah atau menang nggak ada soal. Itu yang orang tunggu dari Ibu Mega.

Iya. Dan kelihatannya begini, kalau Anda bicara bahasa tubuhnya, memang kelihatan beda sekali ketika Pak Jokowi berada di lingkungan PDIP dengan di lingkungan Golkar.

Kita ingat dulu bagaimana bahasa tubuh Pak Jokowi menghadapi Ibu Mega dan bahasa tubuh Pak Jokowi saa kemarin ketika pidato peringatan Puncak Golkar. Bagaimana Pak Jokowi dengan santai mencandai semua yang hadirlah, mulai dari Pak Ical yang dibilang lagi sumringah wajahnya karena batubara harganya naik, bahkan Pak Luhut yang pakai baju jas kuning pun juga dicandai oleh Pak Jokowi sampai disuruh berdiri oleh Pak Jokowi karena kaget. Jadi, ini kelihatan benar bahwa Pak Jokowi itu merasa at home banget gitu ya, merasa nyaman ketika di lingkungan Golkar itu.

Dia bukan merasa nyaman. Pak Jokowi merasa kalau di PDIP dia adalah alat dari PDIP. Kalau di Golkar di KIB, KIB itu alatnya Jokowi. Ini kan alat gue nih, semua bisa gua buli. Ya tentu ada hal yang Pak Jokowi kasih sinyal, eh gua tahu kelakuan lu semua, kira-kira begitu kan.

Kalau di PDIP susah Pak Jokowi bilang begitu. Karena ada soal kalah mental, kalah moral, kalah aura dengan Ibu Mega. Kalau yang di KIB Pak Luhut teman baik Jokowi, jadi dia tahu bercanda pun Pak Luhut pasti paham. Airlangga ya mungkin sedikit nyut-nyut nih, ini apa maksudnya apa.

Kira-kira begitu kan. Kalau dua partai yang lain di KIB sudah pasti itu, enggak mungkin berupaya untuk kasih sinyal melebihi apa yang diminta oleh Pak Jokowi. Ya dua partai, PPP dan PAN itu ya sudahlah, itu saya sebut itu bukan lagi peralatan Pak Jokowi, tapi mainan hiburan Pak Jokowi.

Sebetulnya kalau kita baca, selain bercanda Pak Jokowi itu jelas nyindir Surya Paloh walaupun Surya Paloh nggak merasa disindir soal sembrono. Kemudian yang tadi bercanda dengan Pak Ical, Pak JK, Pak Luhut, semua dicandain, tapi kepada Pak Airlangga dan KIB saya kira itu semacam warning, ancaman, yang dia menyatakan:

“Jangan hanya rangkul-rangkulan, segera mengumumkan siapa capresnya”. Kan itu maksudnya tentu Pak Jokowi ingin kepastian karena bagaimanapun sekarang juga kan tetap berusaha di kalangan internal KIB itu untuk mereka berebut tiket. Padahal kan sebenarnya kita tahu bahwa mereka itu tidak berhak menentukan siapa capresnya, karena itu tiketnya Pak Jokowi, bukan tiket KIB.

Nah, di situ kita masuk pada problem etika politik. Pak Jokowi dengan enteng  memaksakan itu. Dan sebetulnya partai-partai itu bisa tersinggung dong, eh urusan apa presiden nyuruh KIB untuk cepet-cepet, urusan kitalah karena kita belum dapat calon.

Jadi, mustinya Golkar, PPP, PAN tersinggung karena disuruh buru-buru. Kan dalam tradisi demokrasi nggak bisa dong Pak Presiden nyuruh partai politik. Tapi karena partai politik memang sudah jadi alat atau permainan presiden, ya presiden coba-coba ya gue mau bermain nih, mana peralatan. Nah, Golkar sodorin Airlangga, PAN sodorin Ganjar, PPP juga hal yang sama.

Tapi semua soal itu kan menunjukkan bahwa nggak ada sebetulnya tuntunan etis dalam politik. Apalagi Pak Jokowi, petentang petenteng di situ juga karena sebetulnya terlarang kalau kita mau pakai konsep politik. Tetapi, sekali lagi, konsep kita kan bukan partai yang mandiri.

Ini kan partai yang diasuh langsung oleh Presiden sebagai kenikmatan politik dia tuh. Jadi, kita nggak lihat marwah Golkar di situ. Kita nggak lihat marwah Nasdem, kita nggak lihat marwah PPP, apalagi PAN. PKB juga sama saja tuh. Jadi semua hal menunjukkan bahwa president under control, dan itu bagus bagi presiden sebagai pemain politik, tapi buruk buat demokrasi.

Masa partai-partai nunduk-nunduk saja pada presiden yang enggak punya partai. Ajaib itu. Jadi, sebetulnya bagian itu yang saya soroti itu bahwa ini semua partai disuruh oleh Presiden untuk mengikuti kehendaknya. Itu yang berbahaya bagi demokrasi. Tapi kita tahu semuanya punya komorbit, karena itu disuruh vaksin 30 kali pun pasti mau nih partai-partai. (ida/sws)

536

Related Post