Mengembalikan Kedaulatan Rakyat Melalui Konstitusi

AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI menyampaikan pidatonya Dalam Silaturahmi Elemen Masyarakat Presidium Nasional Majelis Permusyawaratan Bumiputra Indonesia

Sebagaimana dulu di jaman kemerdekaan. Karena kita merdeka oleh kaum intelektual. Kaum yang beretika, bermoral dan berbudi pekerti luhur. Yaitu para pendiri bangsa kita.

Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI

(Disampaikan Dalam Silaturahmi Elemen Masyarakat Presidium Nasional Majelis Permusyawaratan Bumiputra Indonesia)

PERTAMA-tama marilah kita semua panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.

Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalam, beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga kita mendapat syafaat beliau di hari hisab nanti.

Saya sampaikan ucapan terima kasih kepada Presidium Nasional Majelis Permusyawaratan Bumiputra Indonesia yang berinisiatif mengadakan Diskusi Silaturahmi Elemen Masyarakat pada hari ini, yang mengusung tema; ‘Mengembalikan Kedaulatan Rakyat Melalui Konstitusi’.

Tema di atas kalau dalam terminologi Islam, bersifat Fardu Ain. Bukan Fardu Kifayah lagi. Karena memang Kedaulatan Rakyat itu mutlak diperjuangkan dan dipertahankan. Dan Kedaulatan Rakyat tersebut memang harus dijamin dan dilindungi oleh Konstitusi.

Oleh karena itu, perjuangan mengembalikan kedaulatan rakyat melalui Konstitusi adalah langkah yang benar. Sehingga wajib didukung oleh seluruh elemen bangsa. Dan yang tidak setuju atau menolak upaya ini, jelas dia adalah pengkhianat rakyat.

Sebagai Ketua DPD RI yang mewakili daerah, saya sudah berkeliling ke 34 Provinsi dan lebih dari 300 Kabupaten/Kota. Saya telah bertemu dengan stakeholder yang ada di daerah. Mulai dari pejabat pemerintah daerah, hingga elemen masyarakat. Baik itu akademisi, agamawan, pegiat sosial dan kerajaan nusantara.

Saya menemukan satu persoalan yang hampir sama di semua daerah. Yaitu ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dan kemiskinan yang sulit untuk dientaskan.

Dua hal ini adalah persoalan Fundamental bangsa ini. Mengapa saya sebut Fundamental? Karena penyebabnya juga Fundamental. Sehingga penyelesaiannya juga harus Fundamental. Tidak bisa kita atasi

dengan pendekatan yang kuratif dan karitatif. Harus Fundamental. Dari Hulunya. Bukan di Hilir.

Ketidakadilan terjadi karena negara ini telah terkungkung oleh Oligarki Ekonomi yang telah menyatu dengan Oligarki Politik dan menyandera kekuasaan. Dan kemiskinan terjadi karena kemiskinan yang struktural, dampak dari ketidakadilan tersebut.

Jadi menurut saya, persoalan bangsa ini bukanlah soal pemerintah hari ini. Atau soal Presiden hari ini. Tetapi persoalan bangsa ini adalah: Adanya kelompok yang menyandera kekuasaan untuk berpihak dan memihak kepentingan mereka.

Siapa mereka? Oligarki Ekonomi yang rakus menumpuk kekayaan dan menyimpan kekayaan mereka di luar negeri. Dan mereka semakin membesar dan menyatu dengan Oligarki Politik untuk meneruskan cengkeraman mereka kepada negara ini.

Silakan menjadi kaya raya. Tetapi jangan turut mengatur dan mengendalikan kebijakan negara untuk berpihak kepada kalian.

Silakan kalian menjadi kaya raya, tetapi jangan gunakan kekuasaan untuk memperkaya diri dan kelompok kalian.

Silakan untuk kaya raya, tetapi jangan hanya segelintir orang di Republik yang memiliki kekayaannya sebanding dengan kekayaan 100 juta rakyat Indonesia.

Ini ketidakadilan yang sudah keterlaluan. Sudah melampaui batas. Dan ketidakadilan yang melampaui batas harus diakhiri. Karena ketidakadilan yang melampaui batas membuat Tuhan murka.

Jika kita jujur, terbukanya peluang membesarnya Oligarki Ekonomi yang menyatu dengan Oligarki Politik adalah karena kita sebagai bangsa telah melakukan Amandemen Konstitusi yang kebablasan pada 1999 hingga 2002 silam. Saya berulangkali dalam beberapa kesempatan, menyebut Amandemen tersebut sebagai peristiwa Kecelakaan Konstitusi.

Sehingga hari ini kita memiliki Konstitusi yang membuat watak bangsa Indonesia semakin Sekuler, Liberal, dan Kapitalistik.

Sebagai pejabat negara, saya telah disumpah atas nama Allah SWT dan disaksikan Al-Quran. Bahwa saya harus menjalankan Konstitusi dan peraturan perundangan. Tentu secara obyektif, sebagai pejabat negara saya harus memenuhi sumpah saya, untuk taat kepada Konstitusi hasil Amandemen tersebut.

Tetapi secara subyektif, Allah SWT memberi saya akal untuk berpikir, dan Qolbu untuk berdzikir. Sehingga saya selalu memadukan Akal, Pikir dan Dzikir. Sehingga saya harus melakukan koreksi atas Konstitusi hasil Amandemen yang sudah menyimpang jauh dari apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa kita.

Oleh karena itu, saya juga harus melakukan koreksi terhadap peraturan perundang-undangan yang lahir tidak dalam semangat memberi manfaat kepada rakyat. Tetapi sebaliknya memberi manfaat kepada segelintir orang atau kelompok. Bahkan, yang lebih kejam, justru menyengsarakan rakyat.

Tetapi secara empirik, kewenangan DPD RI dalam fungsi legislasi sangat terbatas. Demikian juga kewenangan yang diberikan di dalam Konstitusi. Oleh karena itu, yang bisa saya lakukan adalah menyampaikan langsung kepada seluruh stakeholder bangsa ini, bahwa arah perjalanan bangsa ini harus kita koreksi. Harus kita perbaiki, untuk Indonesia yang lebih baik.

Untuk dapat melakukan itu, kita tentu harus Adil sejak dalam pikiran. Harus Jernih sejak dari hati. Dan harus Berani mengatakan bahwa yang benar itu benar, dan yang salah itu salah. Dan hal itu hanya bisa kita lakukan, jika kita konsisten berpijak dan bertindak sebagai Negarawan.

Karena seorang Negarawan tidak berpikir tentang next election, tetapi berpikir tentang next generation.

Jadi, saya tegaskan di sini, Silaturahmi Elemen Masyarakat seperti ini, mutlak diperlukan sebagai bagian dari kesadaran kita sebagai bangsa, bahwa Oligarki Ekonomi yang menyatu dengan Oligarki Politik adalah musuh utama Kedaulatan Rakyat.

Kedaulatan rakyat semakin terkikis karena kita sebagai bangsa telah telah meninggalkan Pancasila sebagai grondslag bangsa ini. Kita telah meninggalkan ciri utama dari Demokrasi Pancasila, dimana semua elemen bangsa ini, yang berbeda-beda, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama yang berada di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara ini.

Kita telah meninggalkan mazhab ekonomi Pemerataan dengan mengejar Pertumbuhan Domestik Bruto yang berbanding lurus dengan Tax Rasio.

Kita telah meninggalkan perekomian yang disusun atas azas kekeluargaan, dan membiarkan ekonomi tersusun dengan sendirinya oleh mekanisme pasar.

Inilah yang saya sebut dengan kita sebagai bangsa telah Durhaka kepada para pendiri bangsa. Kepada para pahlawan yang merelakan nyawanya, dengan dua pilihan kata saat itu, yaitu; Merdeka atau Mati!

Sebuah semboyan yang kini terasa absurd. Padahal itu semuanya mereka lakukan demi kemerdekaan. Demi perwujudan kecintaan kepada tanah air, dan demi satu harapan mulia; “Agar tumbuh generasi yang lebih sempurna.”

Tetapi hari ini yang tumbuh adalah Oligarki Ekonomi yang menyatu dengan Oligarki Politik untuk menyandera kekuasaan agar negara tunduk dalam kendali mereka.

Dan bangsa ini sudah tidak mengerti lagi kedalaman makna dari kata ‘Republik’ yang dipilih oleh para pendiri bangsa sebagai bentuk dari negara ini. Padahal dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang sangat dalam, yakni Res-Publica, yang artinya Kemaslahatan Bersama dalam arti seluas-luasnya.

Oleh karena itu, saat kemarin saya diminta untuk memberi kata pengantar untuk penerbitan buku 1 Abad Tamansiswa, saya sampaikan pentingnya membumikan kembali semboyan yang digagas Ki Hajar Dewantoro. Yaitu; Ing ngarso sung tulodo; Ing madyo mangun karso; Tut wuri handayani.

Karena menurut saya itulah etika. Itulah moral. Itulah budi pekerti atau akhlak. Yang seharusnya menjadi esensi dari tujuan Pendidikan Nasional bangsa ini. Sehingga kita akan menghasilkan kaum terdidik atau intelektual yang beretika. Intelektual yang bermoral. Dan intelektual yang berbudi pekerti luhur seperti para pendiri bangsa kita.

Mereka inilah yang harus menjadi para pemimpin bangsa. Mereka inilah para hikmat yang memiliki kebijaksanaan. Mereka inilah yang harus ditimbang pendapatnya dalam musyawarah untuk menentukan arah perjalanan bangsa.

Bukan mereka yang lahir dari pencitraan dan survei-survei yang dibuat untuk mempengaruhi persepsi publik. Karena popularitas sama sekali tidak ada hubungannya dengan etika, moral dan akhlak. Karena Iblis pun sangat populer.

Sehingga, saya tidak sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa untuk membenahi Indonesia yang karut-marut dan salah arah ini, harus diawali dengan membenahi hukum, membenahi ekonomi, membenahi birokrasi dan lainnya yang bersifat sektoral dan parsial.

Bagi saya, untuk memperbaiki Indonesia, harus dimulai dengan memurnikan kembali demokrasinya. Artinya, mengembalikan demokrasi, yang selama ini digenggam kalangan oligarkis yang rakus, kepada kaum intelektual yang beretika, bermoral dan berbudi pekerti luhur.

Sebagaimana dulu di jaman kemerdekaan. Karena kita merdeka oleh kaum intelektual. Kaum yang beretika, bermoral dan berbudi pekerti luhur. Yaitu para pendiri bangsa kita.

Kiranya itu yang dapat saya sampaikan. Saya tidak akan membedah tentang Pancasila di hadapan para senior, para purnawirawan TNI dan para pejuang bangsa. Karena saya yakin dan percaya, Bapak Ibu dan Hadirin yang hadir adalah warga negara yang mencintai tanah airnya.

Karena seorang Patriot sejati, adalah warga negara yang selalu peduli terhadap kehidupan bersama. Peduli terhadap kemaslahatan bersama. Karena musuh Patriotisme adalah segala jenis tirani yang menjadi penyebab ketidakadilan. (*)

294

Related Post