Menjinakkan Inflasi Dengan Penyesuaian Bunga Acuan Bank Indonesia
Jakarta, FNN - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi indeks harga konsumen (IHK) pada Agustus 2022 meningkat hingga 4,69 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).
Kenaikan inflasi IHK pada bulan lalu didorong oleh inflasi inti yang mulai merambat melewati level 3 persen, yakni 3,04 persen (yoy). Penyebab kenaikan inflasi inti pada bulan lalu, antara lain, dipicu oleh kenaikan harga beberapa komoditas; ikan segar serta sewa rumah dan mobil.
Namun kenaikan inflasi inti bulan lalu tampaknya sudah diperkirakan oleh Bank Indonesia (BI) sehingga otoritas moneter ini pun secara menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75 persen pada Agustus 2022, setelah menahannya selama 18 bulan di level 3,5 persen.
Tak hanya sudah memperkirakan adanya kenaikan inflasi inti, respons kenaikan suku bunga acuan BI juga merupakan langkah pre-emptive dalam menjaga inflasi lantaran saat itu terdapat desas-desus kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Benar saja, tak lama usai kenaikan perdana bunga kebijakan bank sentral, pemerintah menaikkan harga BBM pada 3 September 2022, seiring dengan makin meningkatnya harga minyak dunia yang tidak bisa ditanggung sendirian. Namun tentunya kebijakan tersebut mau tak mau akan mengerek inflasi.
BI pun tak tinggal diam, sebagai otoritas yang diberi mandat untuk menjaga inflasi, bank sentral kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps pada September 2022 menjadi 4,25 persen.
Walaupun tak akan langsung berdampak, kebijakan tersebut diharapkan akan meredam inflasi inti ke bawah level 4 persen (yoy) pada triwulan ketiga tahun 2023. Dengan demikian transmisi suku bunga acuan BI akan berdampak ke inflasi dan ekonomi domestik selama 4 triwulan.
Gubernur BI Perry Warjiyo memperkirakan inflasi inti akan mencapai 4,6 persen (yoy) pada akhir tahun ini. Sementara untuk inflasi IHK, diperkirakan akan menembus level 6 persen (yoy).
Maka dari itu, BI tampaknya masih akan meningkatkan suku bunga acuannya pada akhir tahun ini untuk menahan inflasi agar tak mengganggu stabilitas perekonomian.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pada bulan Juli 2022 sempat memproyeksikan BI akan mengerek bunga kebijakan sebesar 100 bps pada tahun 2022. Artinya pada sisa akhir tahun ini akan ada lagi kenaikan sebesar 25 bps.
Kendati begitu, perkiraan tersebut tentunya belum memperhitungkan kenaikan harga BBM yang memang baru terjadi pada bulan ini. Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan bank sentral akan menaikkan suku bunga acuan hingga 5 persen pada akhir tahun ini dan kemudian menjadi 5,25 persen pada 2023.
Selain karena kenaikan harga BBM, terbuka lebarnya ruang BI untuk menaikkan suku bunga acuan juga tak terlepas dari kondisi global karena Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, kian menunjukkan kebijakan hawkish. Pada bulan ini, Fed kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps menjadi kisaran 3 persen sampai 3,25 persen.
Kenaikan tersebut bukanlah yang pertama pada tahun 2022. Terhitung sejak awal tahun, otoritas moneter AS itu sudah mengerek bunga lima kali, yakni 25 bps pada Maret, 50 bps pada Mei, serta 75 bps masing-masing pada Juni, Juli, dan September.
Selain itu, The Fed dalam dot plot yang merupakan arah titik akhir kenaikan suku bunga acuan, memproyeksikan bunga acuan AS akan naik menjadi 4,4 persen pada tahun 2022 dan 4,6 persen pada 2023. Angka tersebut naik dari proyeksi Juni 2022, yakni masing-masing sebesar 3,4 persen dan 3,8 persen.
Tantangan pertumbuhan
Meski akan menekan lonjakan inflasi, kenaikan suku bunga acuan berpotensi menjadi tantangan tersendiri pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pasalnya, kenaikan bunga acuan BI akan mengerek suku bunga perbankan yakni simpanan dan kredit sehingga masyarakat akan lebih memilih menyimpan dananya di bank.
Kondisi tersebut bakal menahan konsumsi masyarakat dan investasi sehingga berimbas pada pemulihan ekonomi. Kenaikan suku bunga kredit juga berpotensi mendorong kenaikan biaya pinjaman atau cost of borrowing pelaku usaha atau sektor riil yang akan menahan upaya untuk memperkuat momentum pertumbuhan dan pemulihan.
Oleh karenanya, Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menyarankan pemerintah bisa memberi insentif kepada dunia usaha hingga memperpanjang relaksasi kredit sebagai kompensasi kenaikan suku bunga BI.
"Dengan pola pembiayaan yang lebih terukur dan lebih dapat diatur, dunia usaha akan mempunyai fleksibilitas," ungkap Ajib.
Walau dikhawatirkan segera mengerek bunga kredit, suku bunga di pasar kredit pada Agustus 2022 tercatat justru masih menurun sebesar 48 bps menjadi 8,94 persen setelah BI meningkatkan suku bunga acuan sebesar 25 bps.
Kondisi tersebut bukan tanpa alasan, lantaran rupanya transmisi suku bunga acuan ke suku bunga kredit memakan waktu yang cukup lama, yakni satu triwulan hingga dua triwulan.
Kondisi likuiditas perbankan yang terindikasi dari Alat Likuid dibanding Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) pada bulan Agustus juga masih tinggi, yakni di atas 26 persen yang berimplikasi bahwa transmisi kenaikan suku bunga BI terhadap suku bunga perbankan cenderung masih terbatas, khususnya hingga akhir tahun.
Selain itu, proses transmisi kenaikan suku bunga kredit perbankan pun diperkirakan cenderung bervariasi mengingat kondisi likuiditas dan risk appetite masing-masing juga berbeda-beda.
Dengan transmisi yang tidak sebentar tersebut, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan dampak kenaikan suku bunga acuan BI terhadap pertumbuhan ekonomi tahun 2022 akan terbatas. Alhasil, ekonomi Indonesia masih akan tumbuh cukup solid di level 5 persen.
Kendati demikian, penurunan laju pertumbuhan ekonomi akibat kenaikan suku bunga acuan BI berpotensi terjadi pada tahun 2023 yang memungkinkan perekonomian tumbuh di bawah level 5 persen.
Meskipun dalam jangka pendek berpotensi menahan pertumbuhan ekonomi, kebijakan BI menaikkan suku bunga itu dengan mempertimbangkan fokus menjaga stabilitas sistem keuangan.
Kebijakan tersebut diproyeksikan dapat mendukung pemulihan ekonomi yang berkesinambungan. Ida/ANTARA