Minyak Goreng Tetap Mahal, Pemerintah Mengabaikan Hak Rakyat Paling Mendasar
Jakarta, FNN – Sudah bisa diduga harga minyak goreng tetap tinggi meskipun ada Domestic Market Obligation (DMO). Keruan saja harga tidak turun, sebab subsidi dicabut dan DMO-nya hanya 30 persen.
“Minyak ini soal kebutuhan pokok. Betul-betul kebutuhan pokok, ada di setiap meja makan, ada di setiap dapur. Jadi, hal mendasar ini yang mestinya dibereskan, jaminan ketersedian dan harga harus diberikan,” kata pengamat politik Rocky Gerung kepada wartawan senior FNN, Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Selasa, 31 Mei 2022.
Rocky memahami pencabutan subsidi minyak gorang karena alasan global markets, tetapi operasi di bawah itu berbeda sekali.
“Seharusnya malah nggak perlu tahu dicabut atau tidak dicabut, yang penting harganya tersedia dan stoknya ada. Emak-emak tidak ingin mempersoalkan kebijakan segala macam, proteksi DMO. Dia cuma ingin anak-anaknya itu ada makanan di rumah, bisa jualan gorengan untuk menambah penghasilan. Itu intinya,” papar Rocky.
Rocky menyarankan, harga minyak goreng seharusnya murah dan tersedia. Karena ini kebutuhan pokok, lain kalau dia kebutuhan tersier. Ini kebutuhan primer yang negara memang harus bertanggung jawab di situ.
Dampak tingginya harga-harga pokok membuat banyak orang memutar otak untuk bertahan, salah satunya penjual gorengan dadakan. Mereka adalah ibu-ibu rumah tangga yang karena soal krisis ekonomi, kemudian mencoba menambah penghasilan dengan menjadi penjual gorengan dadakan. Akan tetapi menghadapi situasi ini, mereka nggak bisa berharap lagi dengan bisnis yang sedang mereka rintis ini karena tingginya harga minyak goreng.
“Mereka ini terutama masyarakat terus bertahan hidup sambil menunggu harapan. Mereka memerlukan hal yang dasar, yaitu konsumsi. Karena itu, dia berupaya untuk terus melihat dompetnya, masih ada tersisa setiap hari 20.000 hanya dengan urusan goreng menggoreng saja, dia sudah senang. Jadi, kalau pemerintah lalai dalam soal itu, artinya pemerintah lalai menyejahterakan rakyat,” paparnya.
Rocky menegaskan bahwa pemerintah sepertinya lupa, hal yang paling mendasar dalam kehidupan konstitusi adalah proteksi kesejahteraan rakyat, terutama dalam keadaan ketidakpastian ekonomi dunia.
”Itu yang kita sebut sebagai social safety net, bukan sekadar ngasih BLT, tapi jaminan bahwa ada produksi walaupun itu subsistem, walaupun itu mendasar, sangat primer, tapi musti disediakan supaya ada orang bekerja, sebab kalau cuma sekadar dapat uang, itu enggak ada fight-nya,” paparnya.
Menurut Rocky, orang melakukan aktivitas jualan, karena kerja, itu artinya martabat manusia. Itu filosofi yang musti dipahami. Aktivitas memproduksi minyak goreng itu juga adalah hal yang menyebabkan manusia bangga bahwa dia bisa berproduksi.
“Bukan nunggu-nunggu bantuan uang tunai Presiden. Itu lain lagi. Itu tugas negara di bidang kesejahteraan. Tetapi, hak untuk bekerja dan memproduksi sesuatu itu adalah dimensi kesosialan manusia,” tegasnya.
Bekerja itu kata Rocky adalah sesuatu yang menggembirakan hidup walaupun pekerjaan itu dianggap sebagai pekerjaan rendahan. Tapi dengan bekerja, orang merasa bangga.
Dalam keterbatasn, masyarakat tetap bisa menunjukkan solidaritas sosial dengan Gerakan Membeli Gorengan dan kemudian membagikan pada orang lain.
“Gerakan bagi-bagi pada teman yang lain, pada keluarga yang lain, kepada seseorang yang kita temui, itu yang disebut bagian etis dari kehidupan manusia untuk menghidupkan harapan. Akhirnya kita musti masuk lagi dalam filosofi rakyat bantu rakyat. Kan begitu jadinya,” paparnya.
Hal ini terjadi, kata Rocky karena rakyat memang diabaikan oleh pemerintah dalam soal yang paling mendasar, yaitu kaki hak hidup layak rakyat melalui ketersediaan bahan kebutuhan pokok. (sof, sws)