Mobil Wapres Dihadang: Demonstran Makin Nekad, Para Profesor Kumpul di UGM

TAMPAKNYA pengunjuk rasa sudah tidak takut lagi jika harus ditangkap. Di Palembang, misalnya, mobil rombongan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dihadang demonstran saat kunjungan ke Palembang.

“Jadi, selalu demonstrasi itu dalam situasi yang kalau semua variabel tersedia dia akan jalan terus, kayak snow bowling, dia nggak bisa ditahan itu,” ungkap pengamat politik Rocky Gerung saat dialog dengan Hersubeno Arief, Wartawan Senior FNN dalam Kanal Rocky Gerung Official, Kamis (8/9/2022)

“Sekarang kita lihat Palembang itu adalah pasti mayoritas muslim di situ. Jadi sebetulnya penolakan dari konstituen yang menganggap bahwa ini kekuasaan dulu cuma mengambil suara kami, tapi setelah urusan rakyat, mereka kabur dari persoalan riil, yaitu BBM. Nah, kita melihat itu sebagai tumpahan dari kemarahan bahwa Istana berbohong terus,” tegas Rocky Gerung.

“Jadi, mereka memang butuh panggung karena dianggap bahwa media-media televisi konvensional nggak akan muat itu. Jadi, sebetulnya ini sudah terjadi semacam kerjasama antara jurnalisme kritik dengan kritiknya, akademis dan kritik yang langsung dalam bentuk yang masalah,” lanjutnya.

“Dan itu yang menggembirakan kita bahwa kesadaran itu akhirnya pulih dan itu berhadap-hadapan dengan kekonyolan para politisi yang nggak mau sama sekali bersuara,” ujar Rocky Gerung.

“Mustinya kampus UI malu pada UGM. UGM yang tadinya mengasuh presiden sekarang dia menganggap Presiden itu sudah bukan lagi aset. Apalagi UI yang ada di pusat kekuasaan, yang Rektor dan aparat-aparat petinggi kampus itu hanya ingin menjilat pada kekuasaan,” tuturnya.

“Jadi, saya kira banyak inspirasi yang bisa kita bahas untuk menunjukkan bahwa kesadaran akademis telah terkait dengan kesadaran politik. Karena itu, ada kritik dari UGM,” tambah Rocky Gerung.

Bagaimana Rocky Gerung melihat semua ini, berikut petikan dialognya dengan Hersuben Arief.

Halo halo apa kabar Bung Rocky, sehat ya?

Sehat karena melihat perkembangan situasi semakin mendidih, makin sehat. Jadi, makin mendidih politik kita makin sehat.

Ya, dan unjuk rasa sudah mulai makin nekad, karena mulai kemarin kita bahas soal ada yang “membajak” mobil pejabat, walikota Cilegon, Banten. Kemarin, di Palembang terjadi mahasiswa mencoba menghadang mobil rombongan dari Wakil Presiden Ma'ruf Amin.

Walaupun nggak berhasil teman-teman, tapi bagaimanapun juga ini kan simbol-simbol negara yang mulai dijamah oleh para pengunjuk rasa.

Ya. Itu yang biasa disebut contiguous effect, efek menular dari satu peristiwa yang memang harus jadi lengkap. Jadi, selalu demonstrasi itu dalam situasi yang kalau semua variabel tersedia dia akan jalan terus, kayak snow bowling, dia nggak bisa ditahan itu.

Dan, apa yang terjadi di Palembang itu hampir jadi puncaknya karena itu mobil wakil presiden dihadang gitu. Dan orang masih coba-coba tuh, tapi sebetulnya yang dihadang itu bukan wakil presiden gitu, tapi presidennya sendiri. Kebetulan memang Pak Ma'ruf Amin yang ada di situ.

Kalau menteri masih bisa secara teknis mungkin bermasalah, tapi ini wakil presiden yang sebetulnya satu paket dengan Presiden Jokowi waktu dipilih. Dan kita tahu Ma’ruf Amin ini dipilih untuk mengambil suara muslim mayoritas kan pada waktu itu.                                                                                                                        

Dengan akibat Pak Mahfud MD tidak terpilih karena pertimbangan macam-macam. Akhirnya okelah ambil saja beliau, Kyai Ma’ruf Amin. Dan sekarang kita lihat Palembang itu adalah pasti mayoritas muslim di situ.

Jadi, sebetulnya penolakan dari konstituen yang menganggap bahwa ini kekuasaan dulu cuma mengambil suara kami, tapi setelah urusan rakyat mereka kabur dari persoalan riil, yaitu BBM. Nah, kita melihat itu sebagai tumpahan dari kemarahan bahwa Istana berbohong terus. 

Tetapi, hal yang sama juga ada tumpahan kemarahan di Universitas Gajah Mada (UGM). Para Profesor berkumpul di situ dan menyatakan keprihatinan. Sebelumnya mereka sudah mendatangi ketua-ketua partai.

Jadi, lengkaplah bahwa kritik itu mengalir dari pikiran sampai ke jalan. Kira-kira itu yang akan terjadi nanti. Itu yang terjadi juga pada ’98. Kasak-kusuk di kampus akhirnya turun ke jalan. Konsolidasi ide akhirnya berakibat pada konsolidasi otot.

Dan kehadiran para mahasiswa itu betul-betul simbol moral saja. Jadi jangan dianggap mereka akan mengganggu perjalanan Kyai Ma’ruf di situ. Enggak. Mereka memang ingin hentikan mobil itu dalam pengertian ingin hentikan kekuasaan. Kan itu mobil presiden lambang kekuasaan.

Demikian juga yang terjadi di Gajah Mada. Kendati masih dalam formulasi akademis, pasti memang harus begitu formulasinya. Membuat evaluasi tentang keadaan bangsa dan menemukan bahwa yang sekarang itu betul-betul nggak bermutu.

Dan, semua yang kita bicarakan di FNN pasti tercakup juga di situ, mulai dari kemampuan mengolah kemajemukan nggak diperlihatkan Presiden Jokowi, soal ekonomi apalagi, bahkan mereka disinggung yang sering kita sebut di FNN kemampuan berdiplomasi, presiden nggak ada. Jadi satu paket yang lengkap sebetulnya. Ide sudah mateng dan aksi sudah mulai berlangsung. Jadi, itu yang kita sebut sebagai momentum sejarah.

Ya, ,mari kita bahas satu persatu. Mahasiswa dan profesor-profesor yang berkumpul di UGM tadi. Pertama, mahasiswa ini sekarang ini makin masif di berbagai daerah. Dan sekarang yang menjadi sasarannya DPRD.

Gerbang pintu ada yang jebol gerbangnya, ada yang disegel Gedung DPRDnya, dan sebagainya. Karena memang mereka berharap DPR atau DPRD itu menjadi saluran aspirasi rakyat. Tetapi, kita tahu bahwa selama ini dewan itu justru bagian dari kekuasaan yang dikooperasi oleh kekuasaan.

Ya, itu intinya kan berupaya untuk dilarang mahasiswa itu dengan segala macam cara. Dan mereka bisa menembus itu. Dan barikade yang paling bagus sebetulnya adalah barikade pikiran. Tetapi, kalau mahasiswa dibarikade pikirannya, mahasiswa anggap Istana nggak punya pikiran kok.

Ngapain kita dibarikade pikiran kita. Kalau akhirnya mereka disebut nanti ini covid dinaikin PPKM-nya, nanti akan ada argumen yang bagus. Kami jingkrak-jingkrak, itu artinya kami sehat. Justru dengan memanaskan badan virus mati. Kalian bakar ban. Iya bakar ban itu justru untuk membunuh virus yang lagi beredar. Kan covid bisa mati oleh asap.

Jadi, terlihat bahwa cekcok di lapangan itu nggak mungkin lagi ditahan oleh aparat. Yang harus dilakukan adalah jangan sampai dia merembet menjadi kerusuhan. Jadi, biarkan saja mereka masuk ke DPR, lindungi mereka, ya pecah-pecahin kaca kecil ya bisalah itu karena desa-desakan pasti ada yang pecah.

Tetapi, sinyal pertama kita adalah seluruh lembaga politik kita yang mewakili arogansi kekuasaan: anggota DPR, gedung DPR, segala macam, sudah nggak dipercaya. Dan mudah-mudahan nggak ada kerusuhan di kantor polisi. Jadi, kita jaga jangan sampai masuk ke kantor polisi karena itu adalah lembaga yang kita perlukan.

Jadi, sekali lagi persiapan demonstrasi itu makin lama makin matang. Kan kita percaya mahasiswa punya ruang diskusi, yang sekarang bahkan di cafe-cafe untuk membahas dari mana kita bikin peta. Mereka bikin peta di situ. Batunya di mana dilemparin. Kira-kira begitu.

Tetapi, kita ingin agar tidak ada lempar-lemparan batu, tidak ada lemparan-lemparan molotov, walaupun mereka juga berpikir begitu. Tapi, tentu mereka juga melihat atau membaca, bahkan mengikuti FNN, dan seringkali teman-teman BEM itu menelpon saya dan minta diwawancara langsung.

Saya bilang pasti itu, nanti ada wartawan di sana kan itu akan terbuka semua dan akan kita bahas di FNN. Mereka merasa, oke, itu bagus. Jadi, mereka memang butuh panggung karena dianggap bahwa media-media televisi konvensional nggak akan muat itu.

Jadi, sebetulnya sudah terjadi semacam kerjasama antara jurnalisme kritik dengannya kritik akademis dan kritik yang langsung dalam bentuk yang masalah. Semua ini kritikan. Yang kita bahas di FNN adalah kritik, yang dibicarakan oleh profesor-profesor di UGM adalah kritik, yang dilengkapkan dengan kritik di jalanan oleh demonstrasi itu semua adalah upaya untuk menghasilkan kembali Indonesia.

Dan itu yang menggembirakan kita bahwa kesadaran itu akhirnya pulih dan itu berhadap-hadapan dengan kekonyolan para politisi yang nggak mau bersuara. Bahkan ada video-video baru yang sudah lama sebetulnya muncul lagi.

Ibu Mega bilang di zaman SBY dia berpidato bahwa penerima BLT itu artinya mereka yang terhina. Jadi, SBY dianggap menghina rakyat karena memberi BLT. Itu soalnya. Dan sekarang petugas partainya nggak dia tegur, padahal dia menghina berkali-kali, karena BLT sudah berkali-kali diberikan.

Jadi mahasiswa membaca jejak itu, betul-betul partai munafik ini PDIP. Begitu yang saya terima dari teman-teman BEM itu, mereka uraikan begitu. Karena saya bertanya, kenapa kalian nggak minta langsung PDIP untuk ikut turun ke jalan. Ah, mereka sudah nggak peduli lagi tuh.

Dulu mereka bilang BLT itu adalah menghina rakyat, kok sekarang mereka justru yang siram BLT ke rakyat. Ini sudah terjadi perbandingan dan itu yang sering di dalam sejarah sosiologi, kita lihat bahwa situasi semacam ini, tadinya cair makin lama makin menyatu.

Jadi, tinggal ada kepemimpinan alternatif yang mengarahkan perubahan itu. Nah, pada saat itu, atau nanti begitu ada pemimpin alternatif orang nggak mau lagi dengan pemilu karena sudah ada pemimpin alternatif yang dijalani, ngapain lagi ada Pemilu.

Tapi ini kita bukan kita bocorkan strategi, justru kita cuma mau lihat keadaan yang akan berkembang. Pasti akan ada pemimpin alternatif turun ke jalan dan memimpin.

Sangat mungkin Ketua DPD LaNyalla, sangat mungkin Anies, sangat mungkin bahkan kita membayangkan keadaan yang paling mendesak lalu ada rapat-rapat di Cilangkap. Jadi, kita membayangkan semacam persiapan ’98.

Jadi, harusnya Istana juga berpikir begitu. Jangan istana sekadar hura-hura dan merasa semua bisa dikontrol, lalu evaluasi lagi. Wacana-wacana begitu mahasiswa sudah pahamlah bahwa dia akan nipu lagi itu Istana.

Dan hari ini (kemarin, Red) rencananya berlangsung juga penjelasan besar-besaran koordinasi rapat BEM seluruh Indonesia. Tetapi, kalau kita amati di lapangan, ini bukan soal besar atau tidaknya, tapi masifnya dan bisa jangka panjang ini.

Karena kelihatannya agak tidak mungkin rasanya pemerintah kemudian tiba-tiba membatalkan kenaikan BBM kalau lihat proses yang semacam ini.

Kalaupun dibatalkan kenaikan BBM, tapi toh barang-barang lain juga sudah terlanjur naik dan nggak mungkin turun. Misalnya, kita dengar ini tanggal 10 nanti, misalnya, ojol atau ojek onlani akan menyesuaikan tarif yang sudah diizinkan oleh Departemen Perhubungan dan itu saya kira sebenarnya juga belum tentu kabar gembira buat para pemilik ojol karena potensi mereka untuk kehilangan pelanggan juga sangat besar.

Ya, ini masalahnya. Kalau sekadar pintu air yang dibuka, itu masih bisa ditutup. Ini bendungannya jebol jadi buat menghalangi banjir itu musti ada gunung yang diruntuhkan untuk bikin bendungan baru. Dan, itu artinya kekuasaan sudah nggak punya peralatan.

Masalahnya, sekali legitimasi hancur, itu lenyap saja kemampuan untuk bertahan. Kalau cuma soal legalitas bisa dipulihkan dengan Perpu segala macam. Ini legitimasi, kepercayaan terhadap kebijakan negara itu hilang sama sekali. Itu nggak mungkin ditambal, snow ball itu akan berjalan terus sampai akhirnya terjadi perubahan politik di luar sistem pemilu.

Dan, ini akan panjang karena akan banyak momentum. Nanti ada G20, misalnya, di Bali  dan semua aparat mungkin BNPT sudah siap-siap di Bali, dikerahkan di situ karena potensi luar juga akan masuk ke Indonesia untuk menikmati kerapuhan-kerapuhan lembaga-lembaga politik kita kan.

Jadi, begitu ada momentum internasional tentunya demonstrasi akan juga tambah karena itu tetap momentum yang dianggap bahwa ini upaya untuk memperbaiki dunia itu tidak dibantu oleh Indonesia karena Indonesia justru buat kacau di dalam negerinya.

Dan pemimpin-pemimpin dunia akan menyaksikan semua itu. Jadi, kalau kita bayangkan beberapa minggu lagi akan G20. Itu artinya, intel-intel asing sudah ada di Indonesia sekarang, CIA, KGB, dan macam-macam Mosad. Jadi, semua intelijen asing ada di Jakarta dan mereka memantau itu.

Itu artinya, satu momentum yang akan dievaluasi oleh pemimpin internasional apakah Indonesia masih bisa menyelamatkan diri atau tidak. Nah, biasanya kalau sudah nggak bisa ditolong, seluruh bantuan internasional juga akan ogah untuk bantu Indonesia karena dianggap Indonesia sudah keterlaluan.

Jadi, kita hari ini bukan sekadar akan dibatalkan oleh demo, tapi juga oleh intervensi diplomasi internasional. Nah, kalau tekanan internasional itu akhirnya datang di G20 itu sudah berantakan Indonesia.

Bayangkan misalnya, beberapa sebut saja beberapa senior minister atau apalagi itu pemimpin negara kasih speech di G20 nanti yang menimbulkan kesan bahwa Indonesia tidak lagi diasuh oleh global politik, sudah selesai.

Jadi, betul tadi, ini akan panjang dan makin lama makin dalam, panjang dan dalam. Karena itu, dulu kita sudah duga ini susah membayangkan Pemilu masih satu setengah tahun bagaimana kalau demo itu tiap hari. Sementara kapasitas pemerintah untuk membujuk rakyat sudah nggak ada.

Masalah Pertemuan Para Profesor di UGM

Oke. Mari kita bahas secara serius ini pertemuan para Profesor di UGM. Karena menurut saya ini ada dua simbol sebenarnya: satu simbol bahwa para Profesor ini yang selama ini kita selalu kritik bagaimana lembaga perguruan tinggi, para guru besar, para dosen, itu lebih sibuk ngurusin bagaimana selingkuh dengan kekuasaan demi jabatan, demi macam-macamlah. Tetapi, sekarang ini mulai pulih akal sehatnya.

Ini satu simbol yang menarik. Yang kedua, ini dilakukan di kampus UGM. Jangan lupa, ini adalah almamaternya Pak Jokowi dan selama ini kita tahu UGM juga menjadi salah satu pilar penyangga kuasanya Pak Jokowi. Tetapi, sekarang ini ternyata itu dilakukan di student cafenya UGM. Saya belum membayangkan kalau hal ini juga terjadi di kampus UI. Ya ini akan jauh lebih menarik lagi kalau itu terjadi.

Ya, mustinya kampus UI malu pada UGM. UGM itu yang tadinya mengasuh presiden sekarang dia menganggap Presiden itu sudah bukan lagi aset. Apalagi UI yang ada di pusat kekuasaan, yang Rektor dan aparat-aparat dari petinggi kampus itu hanya ingin menjilat pada kekuasaan. Mustinya UI malu.

Karena UI mau promosi terus kami akan jadi World Class University (WCU). Jadi, coba kita bayangkan bahwa ini profesor dari Satu Yogyakarta atau Jawa Tengah, dan tentu saling tanya “kita bikin di mana ya, di Undip atau di mana, Surabaya atau di Universitas Muhammadiyah atau di mana” tapi mereka kemudian kasih sinyal semiotik yang keren, kita bikin di UGM.

Itu benteng pertahanan intelektual Indonesia adalah UGM, yang pada waktu yang lalu itu dikooptasi oleh kekuasaan dan akhirnya di situ kan ada segala macam dari situ. Beberapa menteri dari situ, beberapa Gubernur juga dari situ.

Jadi, UGM yang tadinya disebut pendukung kekuasaan, sekarang menyatakan diri bahwa kami tidak ingin lagi mendukung kekuasaan. Jadi, dari cafe center itu di UGM, dulu sebetulnya tempat itu berseberangan dengan Balairung yang zaman saya mahasiswa itu tempat demonstrasi teman-teman yang mengelola majalah Balairung.

Dan itu simbol perlawanan kepada Soeharto. Sekarang berseberangan dengan itu, disebut juga cafe. Bagus karena dulu di Prancis yang namanya Cafe itu tempat pertemuan politik sebetulnya, bukan tempat sogok-menyogok amplop.

Cafe menjadi tempat wartawan dan jurnalis berkumpul di abad ke-19, abad 18, itu dan menghasilkan perubahan besar di Eropa. Jadi, saya kira banyak inspirasi yang bisa kita bahas untuk menunjukkan kesadaran akademis telah terkait dengan kesadaran politik. Karena itu, ada kritik dari UGM. (ida/sws)

412

Related Post