My Esti Vs Rocky?

Oleh Mariana Ulfah - Warga Godean Jogjakarta 

My Esti, anggota DPR RI dari PDIP melabrak panitia acara Ngopi dengan Rocky Gerung. Memalukan.

Pertama, sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI seharusnya mewakili seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya provinsinya apalagi cuma dapilnya, jika untuk kepentingan partainya semata. Para anggota dewan itu digaji oleh rakyat. Jadi, seharusnya Esti mendengarkan sebanyak-banyak aspirasi rakyat. Mereka yang hadir di acara diskusi dengan Rocky Gerung (RG) kemarin itu semua adalah rakyat. Lalu, mengapa hanya membela segelintir orang di depan yang menolak RG daripada seribu lima ratus peserta pelajar, mahasiswa, dan umum yang sudah menunggu RG berhari-hari, karena sempat tertunda?

Kedua, pembelaan My Esti kepada Jokowi amat subjektif, dan mengabaikan kepentingan umum. Secara hukum Esti pasti tahu, soal penghinaan, yang berhak melaporkan ke pihak yang berwenang adalah Jokowi. Tapi, karena perasaan pribadi, cinta buta, sengaja melanggar undang-undang yang melindungi hak kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat. Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) mengamanatkan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” 

Secara moral mestinya ia mengundurkan diri saja, karena lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada rakyat. Membela Jokowi dengan menolak RG adalah kepentingan pribadi/sekelompok. Entah ia membela Jokowi sebagai presiden, petugas partai, atau idola, yang jelas Jokowi bukan rakyat. Dan suka atau tidak suka, Rocky Gerung adalah rakyat, begitu juga dengan seluruh panita dan peserta acara diskusi tersebut.

Ketiga, My Esti tidak memahami konten dan konteks. Saya memahami pernyataan RG yang membuatnya tersinggung dan marah. Tapi, mutung-nya ini tidak ada hubungannya dengan acara diskusi “Bonus Demography dan Pembangunan Mental Bangsa” di mana RG sebagai pembicara utama. Jika memang RG dianggap berpengaruh buruk, seharusnya My Esti meminta untuk dijadikan narsum juga pada waktu itu. Secara terhormat ia dapat menjelaskan, menasihati para anak muda tentang adab yang dipermasalahkannya. Bahkan bisa mengkritik RG secara langsung di depan publik dan media. Yen wedi ojo wani-wani, yen wani ojo wedi-wedi. (Kalau takut, jangan sok berani, kalau berani jangan takut-takut). Bukan mempersekusi, menyalahkan panitia karena mengundang RG.

Keempat, ada kelompok baru yang menamakan Pejuang Nusantara Indonesia Bersatu (PNIB). Kelompok inilah yang kemarin menutup jalan masuk lokasi diskusi. PNIB patut ditolak, bahkan dibubarkan, karena kegiatannya adalah melanggar UU Kebebasan Berpendapat di Indonesia. Selain itu perlu dipertanyakan siapa anggotanya, dan apa visi misinya. Jangan sampai program kerjanya adalah mempersekusi siapa pun yang tidak sesuai dengan mereka. Apalagi jika ada ancaman menggunakan hukum rimba. Saya khawatir agak sulit untuk mengajukan izin kepada si raja rimba. Indonesia adalah negara hukum, jadi jelas, segala sesuatu diatur melalui hukum yang berlaku di Indonesia. Kalau mengakui Pancasila, PNIB pasti paham sila ke-4 tentang musyawarah mufakat, dan sila ke-5 keadilan sosial. Bergabung saja diskusi, atau debat terbuka, bersama-sama mencari kesepahaman. Biasanya demo itu berkumpul, bentangkan spanduk, dan orasi. Jadi, kalau hanya menutup jalan, membawa spanduk, wajar jika ada yang mengira “orang bayaran.” Apalagi waktu itu yang masuk untuk bernegosiasi hanya My Esti. Lengkaplah sudah framing “orang bayaran My Esti.”

Sebagai warga Jogjakarta saya merasa keberatan dengan spanduk PNIB yang menyebut “Yogyakarta Kota Pelajar Bermartabat”, tapi mereka justru mempersekusi pelajar, mahasiswa, dan umum yang ingin belajar. Mereka itulah yang tidak bermartabat. 

Jika bicara soal adab, dan budaya, ke mana My Esti dan PNIB ketika ada pernikahan anjing dengan adat Jawa yang sempat viral beberapa waktu lalu. Belum lagi alasan menolak RG di spanduk tertulis karena menghina simbol negara. Apakah sudah membaca UU No 24 Tahun 2009 yang menyebutkan simbol-simbol negara sesuai UUD 1945 adalah bendera merah putih, Bahasa Indonesia, Garuda Pancasila, dan Lagu Indonesia Raya. Yogyakarta ini jadi tampak bodoh dengan spanduk PNIB kemarin. Ada juga spanduk serupa, hanya diganti kalimat atasnya “Jombang Kota Santri, Tentrem Adem Ayem”. Masih sama, menolak RG. Ini kebebasan berpendapat. Tapi, tidak perlu juga mencatut nama Jombang dan Santri hanya untuk kepentingan puluhan orang, kelompok PNIB saja. Slogannya tentrem adem ayem, tapi perbuatannya ngisruh. 

Jokowi, selain sebagai rakyat, selama ini juga hanya diam, seolah menikmati kegaduhan. Sudah cukup negara ini gaduh “unfaedah”. Jika dia memang pemimpin yang berjiwa besar, tenangkan pendukungnya, tetap hormati hukum, tidak perlu persekusi, berbesar hati menerima kritik, bahkan makian. Maka, pendukung semakin cinta, dan publik pun akan respek. 

Terakhir, saya ingin mengajak segenap akademisi, praktisi, aktivis pelajar, dan mahasiswa untuk terus menyuarakan hak kebebasan berpendapat, kampanye anti dungu, dan anti korupsi lewat media apa pun. 

Salam akal sehat. Salam perubahan untuk persatuan.

"Ing ngarsa asung korupsi, ing madya mangun dinasti, tut wuri cawe-cawe." (Rocky Gerung).

390

Related Post