Ngotot Puan Capres, PDIP Terancam Tak Dapat Partner Koalisi
FAKTANYA, manuver Partai NasDem yang declare Anies Baswedan sebagai bakal Calon Presiden, telah membuat PDIP kalang-kabut. Sejumlah langkah pun ditempuh.
Presiden Joko Widodo yang terkesan berseberangan dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri terkait dukungannya kepada Ganjar Pranowo, bertemu Megawati di Istana Batu Tulis, Bogor, Sabtu, 8 Oktober 2022.
Namun, Presiden Jokowi tak mau membuka isi pembicaraan dalam pertemuan itu. Jokowi hanya menjelaskan, pertemuan dengan Megawati itu bertujuan untuk menjaga stabilitas politik karena situasi ekonomi global yang sedang tidak jelas.
“Yang tidak pasti, yang sulit ditebak, sulit diprediksi, sulit dihitung, sulit dikalkulasikan,” kata Jokowi usai pelantikan Gubernur DIY dan kepala LKPP di Istana Merdeka, Jakarta, Senin, 10 oktober 2024.
“Kesulitan kita membayangkan PDIP itu sebetulnya mau maju apa nggak? Calonnya siapa?” tanya pengamat politik Rocky Gerung dalam dialognya di Kanal Rocky Gerung Official bersama Wartawan Senior FNN Hersubeno Arief, Selasa (11/10/2022)/
“Jadi, saya lihat bahwa karena ketiadaan calon, maka calon yang potensial menandingi Puan pasti dipangkas. Anies terutama dan yang pertama tuh. Jadi masalahnya bukan mencarikan calon, tapi memangkas calon yang potensial untuk mengganggu elektabilitas Puan,” tegas Rocky Gerung.
“Jadi, periode satu semester ke depan proyek PDIP, proyek Pak Jokowi adalah de-Aniesisasi itu. Anies musti dihilangkan dulu sebagai faktor. Jadi, faktor Anies ini sudah jadi duri dalam daging demokrasi, kira-kira begitu. Musti dicabut dulu,” lanjutnya.
Lebih lengkapnya, berikut petikan dialog Hersubeno Arief dengan Rocky Gerung.
Oke, sekarang kita ngomongin soal pertemuan Pak Jokowi dengan Ibu Megawati. Di tengah situasi Itu kan sekarang sudah mulai bermunculan statemen-statemen seperti PKB misalnya, yang menyatakan bahwa mereka kelihatannya akan segera mendeklarasikan capres Pak Prabowo dengan Cak Imin dan nggak perlu lagi bicara dengan PDIP.
Juga bantah-membatah di Golkar, Agung Laksono misalnya, ketua Dewan Pakar. Jangan-jangan, kalau lihat skenario semacam ini, PDIP bisa nggak dapat partner pada Pilpres 2024 ya Bung Rocky.
Sekali lagi, ini masih jauh. Kalau disebut calon presiden itu artinya sudah diiyakan oleh KPU. Ini kan KPU yang mustinya mengumumkan ini calon presidennya. Kalau sekarang kan masih bakal-bakal calon presiden.
Karena ini ada soal koalisi, ada hal yang mendasar, yaitu hitung-hitungan presiden iya tapi kalau nggak ada calon wakil presidennya apa? Karena kan satu paket. Kan yang dipilih ada presiden dan wakil presiden.
Jadi, setiap kali kita dengar deklarasi, ya kita tahu itu mungkin 20% masuk akalnya. Selebihnya enggak ada. Anies dicalonkan sebagai presiden tapi sebetulnya dia belum dinyatakan calon presiden karena belum punya kualifikasi yang diijinkan oleh aturan, kecuali KPU sudah menyatakan oke.
Demikian juga Anies belum pasti mau Wapres dengan siapa walaupun elektabilitas tinggi kalau wakil presidennya tidak ada yang tetap. Misalnya Anies diboikot wapresnya tuh, semua orang merasa nggak perlu kasih Wapres pada Anies, ya nggak bisa maju juga.
Jadi, ini soal-soal yang disebabkan oleh 20% itu, tapi kekonyolan ini kan mau ditutupi dengan pikiran bahwa kalau sudah diajukan ke dalam media massa oleh lembaga survei maka merekalah calon presiden. Jadi, calon presiden yang disodorkan oleh media massa yang mengutip hasil survei.
Kan itu problem kita. Jadi, sekali lagi, desain-desain awal itu enggak jelas. Ini di ujungnya juga bisa berputar-putar tuh. Nah, kesulitan kita membayangkan PDIP itu sebetulnya mau maju apa nggak? Calonnya siapa?
Oke. Ada calon presidennya, Puan Maharani. Oke, itu keputusan partai untuk menyelamatkan kekacauan kalkulasi. Kalau Puan ditaruh, sudah nggak ada kekacauan. Tinggal orang kampanye buat Puan, maka akan disegerakan kolonel-kolonel ini untuk mengumpulkan suara.
Itu lebih masuk akal, tetapi sekaligus orang ya siapa wakil presidennya. Bisa saja nggak ada orang yang mau jadi wakil presiden Puan. Karena merasa begitu Puan dinyatakan presiden, wakil siapapun itu akan membuat Puan kalah bersaing dengan Anies. Kira-kita begitu.
Jadi, saya lihat bahwa karena ketiadaan calon, maka calon yang potensial menandingi Puan pasti dipangkas. Anies terutama dan yang pertama tuh. Jadi masalah kita bukan mencarikan calon, tapi memangkas calon yang potensial untuk mengganggu elektabilitas Puan. Begitu cara melihatnya sebetulnya, secara riil politik.
Ini kalau saya baca Hasto, ini kemungkinan mereka baru akan mengumumkan calonnya itu pada bulan Juni tahun 2023, tahun depan. Jadi masih ada sekitar setengah tahun lagi, masih lama. Tapi kita lihat pertempurannya di media sudah ada. Bagaimana Hasto rajin mendowngrade Anies sekarang, misalnya.
Begitu juga mulai merasa bahwa Nasdem ini jadi pengganggu dan karena itu harus segera disingkirkan dari kabinet. Tapi, dalam hal ini keliatannya Hasto atau PDIP tidak sendirian karena Jokowi Mania juga sudah mulai menyuarakan itu pentingnya segera dikeluarkan dari kabinet si Nasdem itu.
Jadi, periode satu semester ke depan proyek PDIP, proyek Pak Jokowi adalah de-Aniesisasi itu. Anies musti dihilangkan dulu sebagai faktor. Dan, tunggu bulan Juni itu lama betul. Padahal Ibu Puan sendiri mengatakan tahun politik tiba lebih cepat. Ini akhirnya jadi lambat juga tuh karena ada penghalang, yaitu faktor Anies. Jadi faktor Anies ini sudah jadi duri dalam daging demokrasi, kira-kira begitu. Musti dicabut dulu. (Ida/sws)