OJK Berhasil Redam Gempa Perbankan (Bagian 1)
Muliaman D. Hadad Menerapkan Kebijakan Anti Siklis
Mulai 23 Juli 2017, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tak lagi dipimpin Muliaman Darmansyah Hadad. Penggantinya sudah diputuskan di DPR, yakni Wimboh Santoso. Keduanya dari Bank Indonesia dan sama-sama punya perhatian yang tinggi di industri keuangan.
Selama 5 tahun memimpin, tentu banya suka dan duka yang dilalui Muliaman, termasuk tentu saja tugas baru yang menantang.
FNN, ketika itu masih berstatus Nusantara.News di sela-sela kesibukannya mewawancarai Muliaman di kantornya beberapa waktu lalu. FNN mencoba menurunkan kembali wawancara tersebut karena diduga Pemerintahan Prabowo bakal menerapkan kebijakan ansi siklis sebagaimana yang diterapkan OJK pada masa-masa awal. Berikut petikan wawancaranya.
Apa suka duka Bapak selama 5 tahun memimpin OJK?
Wah, banyak ya. Terutama pada masa-masa awal membangun lembaga besar hasil perkawinan bagian pengawasan perbankan Bank Indonesia dan sektor keuangan non bank Departemen Keuangan. Banyak sekali.
Karena OJK lembaga baru, masih ingat apa saja pekerjaan awal yang Bapak lakukan?
OJK dibentuk berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 21/2011. Awal berdirinya, regulator lembaga keuangan ini menjalani kehidupan serba prihatin. Bayangkan, tanpa infrastruktur pendukung, OJK beroperasi tanpa kantor tetap. Seluruh dewan komisioner harus berpindah-pindah kantor.
Pertama, di Gedung Bank Indonesia (BI) lantai 25, kemudian di Menara Bidakara dengan menyewa 2 lantai. Kantor itu ditempati Dewan Komisioner OJK plus unit pendukung. Sementara di Gedung OJK, pegawai yang menangani pasar modal, Industri Keuangan Non Bank (IKNB) rela bekerja berdesak-desakan.
Kebijakan apa yang Bapak buat saat itu?
Karena belum ada Peraturan OJK (POJK). Jadi POJK pertama yang diterbitkan mengenai tata tertib rapat. Penyelenggaraan rapat seperti apa. Dibentuk organisasi dan tata kerja, inline dengan semangat UU dan visi misi OJK. Itu keluar di minggu pertama OJK beroperasi, supaya ada pedoman.
Selanjutnya, meluncurkan logo OJK. Kurang puas dengan logo OJK yang pertama, didesain logo kedua yang mengedepankan kepentingan nasional. Kemudian, manajemen menyusun struktur kerja dan kepegawaian. Maklum, kala itu sumber pegawai OJK berasal dari BI sebanyak 1.200 orang dan 800 orang dari Bappepam LK.
Lalu dibuat struktur sendiri, tidak ikut Kementerian Keuangan dan tidak ikut BI. Kita bikin struktur untuk persyaratan jabatan, mutasi, dan lainnya. Dibuat pula berbagai SOP untuk mendukung organisasi.
Apa yang paling berkesan buat Bapak selama 5 tahun di OJK?
Yang paling berkesan adalah merelakan gaji saya tidak dibayarkan selama 3 bulan pertama. Tapi akhirnya di rapel. Ini bagi saya jadi satu kenangan tersendiri.
Setelah itu, OJK mulai meresmikan 35 kantor OJK di seluruh Indonesia. Pertamanya, fokus pada pengawasan perbankan karena pegawai yang tersedia untuk lembaga keuangan tersebut. Saat ini, pegawai OJK mencapai 4.000 orang, berasal dari orang luar sehingga OJK lebih profesional.
OJK kini sudah sangat berubah, dan selama 5 tahun ini kita sudah 196 POJK sudah diterbitkan. Kita bisa membuktikan organisasi ini dibangun secara bahu membahu di tengah keterbatasan.
Tantangan apa yang Bapak rasakan selama 5 tahun?
Tantangan terberat OJK ketika menghadapi kebijakan quantitative easing (QE)—penghentian kebijakan mengguyur likuiditas dolar AS ke pasar--oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS) pada akhir 2013. Ekonomi Indonesia kala itu mengalami tekanan besar, aliran modal asing keluar, kurs rupiah jebol lebih dari Rp14.500 per dolar AS, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) longsor, dan situasi bisnis mengalami kelesuan.
Saat itu, OJK meluncurkan berbagai macam paket kebijakan. Bahkan beberapa aturannya masih berlaku sampai saat ini. Kalau situasi dianggap normal, aturan itu bisa dicabut. Kita sudah lalui up and down, karena kita meresponsnya dengan berbagai kebijakan.
Dampaknya bagaimana?
Tentu saja dampaknya sangat terasa di industri keuangan, terutama industri perbankan. Dampak itu lebih terasa di semester terakhir 2015.
Bagaimana situasi perbankan pada 2015?
Seperti kita ketahui tahun 2015 itu bukan tahun yang mudah, terutama paruh kedua 2015, ketika spekulasi mengenai apakah tingkat suku bunga Fed Fund Rate naik atau tidak. Situasi itu menyita perhatian yang cukup besar.
Ketidakpastian itu menyebabkan capital outflow dari Indonesia paling tidak setelah September 2015. Cukup besar, karena terjadi net selling investor terutama di pasar saham, rupiah menembus level Rp14.500. Situasi ini diperburuk dengan ekonomi yang melambat, demand terhadap barang-barang tambah melemah, harga komoditas juga ikut melemah.
Sehingga 2015 bukanlah tahun yang mudah, bagi Indonesia alhamdulillah bisa merespon dan menyiasatinya dengan baik. Sehingga meski di tengah-tengah krisis global, kita masih bisa mencetak laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik 4,7%. Menurut saya salah satu pertumbuhan terbaik di emerging market, saksikan Turki, Brazil, Argentina semua mengalami hambatan. Kecuali India yang sedikit cukup baik.
Apa implikasi dari situasi yang terjadi pada 2015?
Tentu saja situasi tersebut menyebabkan industri keuangan nasional mengalami perlambatan. Artinya pemburukan ekonomi, terutama pasca September 2015, terjadi percepatan pemburukan industri. Aktivitas ekonomi mengalami squeeze (tekanan yang berat), permintaan turun drastis. Kalau diperhatikan sebenarnya trend penurunan ekonomi sudah kita lihat sejak 2012, terus mengalami penurunan. Walaupun turunnya sedikit demi sedikit, namun pasti.
Yang paling terasa di industri keuangan adalah, karena pertumbuhan terus menurun, maka permintaan terhadap jasa-jasa keuangan juga melambat. Kredit melambat, kredit properti drop sampai 30%, kredit pembelian kendaraan bermotor turun, sehingga penjualan motor pada 2015 turun 20% hingga 30%. Tentu saja kalau pemburukan ekonomi ini dibiarkan begitu saja, saya kira sangat berbahaya, dan oleh karena itu Pemerintah dan OJK mengantisipasi. Kita respon ini dengan berbagai macam kebijakan.
Pemerintah menekankan belanja negara harus dipercepat, biar kemudian ada aktivitas ekonomi lokal yang bergerak. Kami di OJK berhasil mengantisipasi ini lebih awal, pada pertengahan 2015, kita teliti, kita mulai melihat bahwa kalau perlambatan ini kita biarkan, sangat menekan kualitas kredit perbankan. Kredit bermasalah (non performing loan—NPL) akan meningkat.
Karena itu ada dua objektif yang ingin kita sasar. Pertama, OJK memitigasi risiko, terutama risiko kredit perbankan agar bank bisa terhindar dari tekanan NPL yang berkelanjutan. Kedua, OJK juga ingin sebetulnya tetap terjadi pertumbuhan ekonomi nasional. Sebab tak mungkin bank bisa berjalan kalau ekonominya mengalami stagnasi. Oleh karena itu OJK kemudian memberikan banyak sekali insentif bagi mereka yang mau memberikan kredit ke usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Makanya beberapa paket (dari 35 paket) kebijakan OJK, fokus pada beberapa area, terutama pada pemberian kredit ke UMKM. Ekonomi domestik ini punya potensi yang cukup besar, karena itu perlu kita dorong pembiayaan ke UMKM. Mengapa harus mendorong kredit UMKM, karena UMKM menyerap 97% tenaga kerja dan 60% perannya dalam perekonomian nasional (GDP).
Apa dasar menggeser kredit ke UMKM, apakah hasil kajian atau dari hasil judgement saja?
Belajar dari pengalaman sebelumnya, UMKM itu relatif punya daya tahan yang kuat dalam menghadapi berbagai macam krisis, terutama krisis 1998, karena UMKM berbasis ekonomi lokal. Sebab yang terkena krisis sekarang ini karena lemahnya permintaan dari luar.
Sehingga ketika permintaan dari luar lemah, maka kita mengandalkan dan membentuk permintaan di dalam negeri. Kebetulan penduduk kita juga banyak, cocok untuk memperbesar ekonomi domestik. Momentum ini juga harus kita manfaatkan untuk memajukan ekonomi domestik dengan mendorong pemberian kredit perbankan yang lebih besar ke UMKM.
Itu sebabnya terhadap perbankan juga kita berikan insentif, bagi bank yang memberikan kredit kepada UMKM. Pada saat yang sama kita antisipasi pemburukan NPL ini dengan cara memberikan kelonggaran dalam restrukturisasi kredit. Tenor kredit kita minta diperpanjang, cicilan dengan sendirinya bisa lebih kecil, kemudian juga penilaian kualitas kredit juga cukup satu pilar.
Apakah kebijakan baru soal UMKM ini dieksekusi industri perbankan?
Tujuan kebijakan OJK di atas agar kegiatan ekonomi UMKM tidak terhambat, pertumbuhan kredit rupiah terutama kepada UMKM terus mengalami peningkatan. Jadi kredit UMKM pada 2015 tetap bisa kita tahan secara keseluruhan pertumbuhannya 10%, meskipun terjadi krisis yang cukup berat. Kalau tidak ada kebijakan yang berpihak kepada UMKM, kemungkinan besar pertumbuhan kredit UMKM akan turun.
Ini terbukti bahwa kebijakan itu dimanfaatkan oleh industri perbankan, kita bisa cek ke kredit yang berhasil direstrukturisasi. Kredit UMKM yang direstrukturisasi pada 2015 sebesar Rp28 triliun, naik Rp10 triliun dari tahun sebelumnya Rp18 triliun. Total kredit perbankan yang direstrukturisasi pada 2015 sekitar Rp40 triliun, sementara Rp10 triliun-nya dari UMKM.
Menang kualitas krisis tak lebih besar dari 1998 karena sudah di on-kan kebijakan sebelum krisis terjadi, sebetulnya dibandingkan dengan jumlah kredit yang disalurkan pada 2015 hampir Rp5.000 triliun, angka Rp40 triliun ini relatif peanut. Tapi dampaknya kelihatan betul bahwa kebijakan OJK dimanfaatkan betul oleh perbankan, kebijakan OJK dieksekusi sektor perbankan.
Kalau saja OJK salah atau terlambat mengambil kebijakan, bisa-bisa terjadi gempa di industri perbankan. Kalau gempa perbankan itu benar-benar terjadi, dampaknya bisa lebih dahsyat dari krisis 1998.
Pewawancara Djony Edward