Orang Pintar Anak Buah Orang Bodoh
Dan, benar dalam dunia politik sering terdengar “tidak dibutuhkan orang pintar tetapi yang dibutuhkan adalah loyalitas total”.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
“ORANG berilmu mengetahui orang bodoh karena pernah menjadi orang bodoh, sedangkan orang bodoh tidak mengetahui orang berilmu karena tidak pernah berilmu. (Plato )”.
Hidup adalah keberanian menghadapi tanda tanya: apa memang beda orang bodoh dan pintar:
“Orang bodoh suka: menyalahkan orang lain atas kesalahannya sendiri, merasa paling benar sepanjang waktu, bereaksi terhadap konflik dengan kemarahan, mengabaikan kebutuhan dan perasaan orang lain, merasa lebih baik dari siapa pun, suka menindas orang lain”.
“Orang cerdas: mengoreksi kesalahan orang lain dengan cara bijak dan bertanggung jawab, lebih mampu berempati pada orang lain dan mengerti argumentasi mereka, tanpa meremehkan pandangan orang lain, bisa marah, tetapi marah yang bijaksana, cenderung mampu berempati dengan keadaan orang lain”.
Kalau hanya mengetahui definisi tentang orang bodoh dan orang pintar itu hanya teori. Realitasnya mengapa bisa terjadi orang pintar menjadi anak buah orang bodoh:
Orang bodoh sulit dapat kerja, akhirnya berbisnis. Agar bisnis berhasil, ia merekrut orang pintar.
Walhasil, banyak boss-boss orang pintar adalah orang bodoh.
Orang bodoh sering melakukan kesalahan, maka rekrut orang pintar untuk memperbaiki yang salah.
Walhasil, orang bodoh memerintah orang pintar untuk keperluannya.
Orang pintar belajar untuk mendapatkan ijazah & mencari kerja. Orang bodoh berpikir secepatnya mendapatkan uang untuk membayar orang-orang pintar.
Orang bodoh berpikir pendek untuk memutuskan sesuatu yang dipikirkan panjang-panjang oleh orang pintar.
Walhasil orang pintar menjadi staf orang bodoh.
Kalau begini keadaannya terus bagaimana memahami keadaan yang sebenarnya apakah orang yang pintar orang yang bodoh dan orang yang bodoh sebenarnya orang yang pintar.
Dalam konstitusi memang urusannya soal aturan baku kekuasaan menteri adalah pembantu Presiden, tidak peduli urusan menterinya lebih pintar dari Presiden.
Apapun yang ada harus terjadi menteri harus tetap melaksanakan perintah Presiden. Demikian berlaku nasib seorang rektor perguruan tinggi, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Tidak ada urusan Presidennya orang pintar atau bodoh.
Rumusannya menjadi sangat singkat bahwa: “The ballot is stronger then the bullet”, kata Presiden Amerika Abraham Lincoln. Ya, dalam pemilu, suara lebih kuat dari peluru.
Orang pintar sibuk berjuang untuk kebaikan, membela keadilan dan melawan kezaliman. Ketika tidak memiliki kekuasaan semua akan berantakan.
Sadarlah kita menguasai segalanya tidak peduli itu urusan orang pintar dan bodoh Oligarki pasti akan memburu kemenangan pada Pemilu - khususnya Pilpres. Dan, harus memenangkan calonnya menjadi harga mati apapun rekayasa yang harus dilakukan dan betapapun biaya yang harus di bayarkan.
Jadi logis rekayasa sedang berjalan bagaimana bisa mengunci agar Pemilu dan Pilpres tetap dalam kendali dan remote-nya. Dan untuk menguasai negara ini tidak membutuhkan orang pinter tetapi dibutuhkan orang yang bisa menjadi bonekanya.
Dan, benar dalam dunia politik sering terdengar “tidak dibutuhkan orang pintar tetapi yang dibutuhkan adalah loyalitas total”.
Oligarki tidak butuh orang pintar tetapi hanya butuh seorang boneka (orang yang bodoh sekalipun). Dan, orang pintar-pintar harus tunduk dalam skenario kekuasaannya. Dalam prakteknya harus taat dengan kekuasaan yang dimiliki orang bodoh. (*)