Pasar Saham Masih Positif Didukung Kondisi Makroekonomi
Jakarta, FNN - Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Katarina Setiawan mengatakan masih memandang positif potensi pasar saham Indonesia yang didukung kondisi makroekonomi domestik di mana pertumbuhan ekonomi membaik, tingkat inflasi terjaga, dan neraca perdagangan relatif kuat.
"Kondisi makroekonomi Indonesia secara relatif juga menarik dibandingkan kawasan lain yang harus menghadapi tantangan lonjakan inflasi dan melambatnya pertumbuhan ekonomi, sehingga potensi arus dana asing masuk ke pasar saham Indonesia juga masih terbuka," ujar Katarina lewat keterangan di Jakarta, Senin.
Secara bottom-up, lanjut Katarina, pihaknya juga melihat kinerja emiten Indonesia membaik tahun ini seiring dengan kondisi ekonomi domestik yang kondusif.
"Ekspektasi kami IHSG dapat mencapai level 7.600 tahun ini dengan asumsi pertumbuhan laba korporasi sekitar 12 persen," kata Katarina.
Sementara itu, ia juga menilai tekanan di pasar obligasi sudah berkurang saat ini. Dari sisi domestik, tekanan inflasi diperkirakan lebih terjaga dari ekspektasi pasar sebelumnya didukung keputusan pemerintah untuk menjaga harga BBM Pertalite dan tarif listrik bersubsidi.
"Pendapatan pemerintah yang meningkat dari sektor komoditas juga membawa angin positif bagi APBN, karena bisa membiayai naiknya subsidi dan mengurangi penerbitan SBN," ujar Katarina.
Ia menambahkan, dengan tingkat inflasi yang lebih terjaga maka kenaikan suku bunga Bank Indonesia juga dapat menjadi lebih konservatif dibandingkan perkiraan pasar sebelumnya.
"Dari sisi eksternal, kami melihat masih ada kemungkinan untuk The Fed beranjak lebih dovish seiring dengan outlook ekonomi AS yang melemah dan tekanan inflasi yang mereda. Perubahan postur The Fed yang lebih dovish dapat menjadi katalis bagi pasar obligasi," kata Katarina.
Pasar saham dan obligasi sempat melemah pasca libur Lebaran pada Mei. Menurut Katarina, pelemahan pasar dibayangi oleh komentar dari bank sentral Amerika Serikat The Fed yang menekankan komitmennya untuk menanggulangi inflasi dan mempertahankan arah kenaikan suku bunga agresif.
"Ketidakpastian pasar juga meningkat terhadap outlook pertumbuhan ekonomi AS, karena kenaikan suku bunga yang agresif dikahwatirkan dapat memicu resesi ekonomi," ujar Katarina.
Selain itu, pasar juga dibayangi oleh lockdown di China karena meningkatnya kasus COVID-19 dan kebijakan ‘zero Covid’ pemerintah China.
"Kondisi ini meningkatkan kekhawatiran gangguan rantai pasokan dunia, karena peranan penting China dalam produksi global, dan dampaknya terhadap inflasi dunia," katanya. (Sof/ANTARA)