Pembebasan 23 Koruptor Melukai Rasa Keadilan Masyarakat

Inilah wajah enam dari 23 koruptor yang mendapatkan pembebasan bersyarat. (Foto: FNN/Istimewa).

Jakarta, FNN – Di tengah kecewanya rakyat akibat dinaikkannya BBM, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) malah membebaskan 23 koruptor. Rakyat marah!

Kemarahan itu selain terlihat dari opini netizen di media sosial, juga dilontarkan pengacara senior, Juju Purwantoro.

Dalam rilis yang diterima FNN, Sabtu (10/9/22), Juju yang juga menjabat sebagai Ketua Advokasi Hukum DPP Parpol UMMAT menilai para koruptor yang dibebaskan dengan mudah itu tentu tidak menimbulkan 'efek jera' sama sekali.

“Sebanyak 23 koruptor sudah memperoleh banyak kemudahan, sekarang malah dibebaskan begitu saja. Pembebasan tersebut selain menimbulkan kontroversi juga melukai rasa keadilan masyarakat,” kata Juju.

Sebanyak 23 narapidana korupsi yang bebas itu, antara lain: Ratu Atut Chosiyah (Mantan Gubernur Banten), Jero Wacik (mantan Menteri Energi Sumber Daya Mineral), Suyadarma Ali (mantan Menteri Agama), Tubagus Chaeri Wardana (adik Ratu Atut), Zumi Zola (mantan Gubernur Jambi), dan Pinangki (mantan Jaksa).

Para koruptor ini menghirup udara bebas setelah menerima program pembebasan bersyarat (PB) yang diberikan Kemenkumham mengacu pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.

“Penerapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang baru ini tentu menimbulkan kontroversi dan melukai perasaan keadilan masyarakat,” kata Juju.

Beberapa persyaratan tertentu dalam UU tersebut menyebutkan bahwa para narapidana yang berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan dan telah menunjukkan penurunan tingkat risiko, berhak mendapatkannya sebagai narapidana.

Antara lain remisi, asimilasi, cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat dan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian, sebelum diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat, narapidana harus telah menjalani masa pidana paling singkat dua per tiga masa pidana, dengan ketentuan dua per tiga masa pidana tersebut paling sedikit sembilan bulan.

Setelah memenuhi syarat administratif dan substantif, semua narapidana yang dimaksud dapat diberikan hak pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas.

“Hak ini diberikan tanpa terkecuali dan non-diskriminatif kepada semua narapidana yang telah memenuhi persyaratan,” ucap Juju.

Aturan pembebasan bersyarat tersebut, sebelumnya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012. Pasal 43A aturan ini menyebutkan :

“Pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus korupsi mesti bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar suatu perkara (justice collaborator).”

Sementara itu, PP ini juga telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga saat ini yang berlaku adalah UU Nomor 22 tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.

Dalam UU Pemasyarakatan tersebut juga tidak mengatur lagi secara khusus tentang narapidana koruptor yang tidak bisa mendapatkan pengurangan hukuman (remisi) maupun 'pembebasan bersyarat,' sehingga korupsi menjadi tindak pidana biasa.

Padahal, kata Juju, dalam hal kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang lain, seperti narkoba dan terorisme (lex specialis) ketentuannya tetap tidak  mendapatkan remisi.

Menurut Juju, jika narapidana korupsi dapat dengan mudah mendapatkan 'remisi dan hak bebas bersyarat' seperti narapidana biasa, walaupun telah memenuhi syarat administratif dan substantif, maka tetap saja hukum tidak bisa diterapkan secara konsekuen dan tegak lurus (konstitusional).

Salah satu solusinya (terobosan hukum) adalah Jaksa Penuntut Umum (JPU) atau KPK bisa menuntut hukuman minimal para koruptor dengan hukuman penjara 20 tahun atau seumur hidup.

Tidak seperti yang terjadi selama ini, hukuman bagi koruptor berkisar hanya antara 2 hingga 5 tahun, sehingga tidak menimbulkan 'efek jera' sama sekali.

Juju mendesak supaya hak pembebasan bersyarat maupun remisi sesuai UU Nomor 22 tahun 2022, khususnya bagi koruptor segera direvisi atau dicabut.

Bisa juga, JPU dalam tuntutannya meminta kepada hakim pengadilan untuk mencabut hak pengurangan masa tahanan (remisi), sehingga tidak ada (lagi) pengurangan hukuman apa pun bagi narapidana korupsi.

“Hakim dalam vonisnya juga harus bisa 'memiskinkan terpidana korupsi’. Supaya efektif, perangkat perundangannya juga harus segera dibuat dan diterapkan,” kata Juju. (Lia)

708

Related Post