Pemerintah Didesak Tak Lagi Beri 'Karpet Merah' pada Liberalisasi Ekonomi, karena Hanya akan Memperkaya Oligarki
Jakarta, FNN - Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia mengingatkan pemerintah untuk segera meninggalkan penggunaan sistem atau paham ekonomi liberal dalam pengelolaan perekonomian nasional saat ini.
Sebab, di tengah ketidakpastian situasi global saat ini, paham liberalisasi ekonomi bisa menjadi 'bom waktu' dan berbahaya bagi perekonomian Indonesia yang terlalu terbuka.
Partai yang memiliki nomor urut 7 dalam Pemilu 2024 ini, berharap agar pemerintah segera kembali kepada Ekonomi Pancasila, memperkuat kemandirian, serta memproteksi ekonominya agar tidak masuk jurang resesi pada 2023.
"Kita ini aneh, negara penggagasnya saja memproteksi ekonominya agar tidak kena resesi. Tetapi, kenapa Indonesia justru membuka selebar-lebarnya terhadap liberalisasi ekonomi. Ini tentu saja menjadi paradoks," kata Achmad Nur Hidayat, Ketua Bidang Kebijakan Publik Partai Gelora dalam Gelora Talks bertajuk 'Liberalisasi Ekonomi Nasional, Bagaimana Nasib Kita?, Rabu (8/2/2023) sore.
Menurut dia, liberalisasi ekonomi sudah terbukti gagal, dan tidak mampu bertahan di tengah krisis global saat ini. Karena itu, MadNur-sapaan akrab Achmad Nur Hidayat meminta pemerintah tidak lagi memberikan 'karpet merah' pada liberalisasi ekonomi, yang dinilai hanya memperkaya oligarki.
"Sekarang ini banyak negara ingin membangun kemandirian ekonominya. Mereka sadar bahwa konsep liberalisasi ekonomi sudah gagal. Situasi global saat ini mengharuskan mereka memproteksi ekonominya," ujar MadNur.
Liberalisasi ekonomi, lanjutnya, tidak hanya membawa modal dan teknologi saja, tetapi juga tenaga kerjanya. Sehingga liberalisasi ekonomi tidak jarang mengancam pekerjaan masyarakat Indonesia.
"Saya kira kericuhan yang terjadi antara tenaga kerja lokal dengan tenaga kerja asing di Sulawesi dua minggu lalu, adalah dampak dari liberalisasi saat ini. Liberalisasi ekonomi mengancam pekerjaan dari masyarakat Indonesia," tegasnya.
Ketua Bidang Kebijakan Publik Partai Gelora ini berpandangan bahwa konsep Ekonomi Pancasila yang dimiliki Indonesia sebenarnya lebih bagus dibandingkan konsep Ekonomi Liberal.
"Konsep Ekonomi Pancasila itu pada dasarnya adalah kemandirian, kenapa nggak kita optimalkan itu. Ide kita untuk menciptakan hilirisasi industri itu bisa menciptakan kemandirian. Sekaranglah saatnya kita tinggalkan ekonomi liberal agar Indonesia menjadi negara super power baru" tegas MadNur.
Rentan Diterpa Krisis
Sementara itu, ekonom senior Rizal Ramli juga mengingatkan bahwa paham liberalisme ekonomi nasional hanya menjadikan Indonesia rentan diterpa krisis global. Rizal Ramli juga meminta memperkokoh kemandirian ekonomi bangsa.
Namun, ia menyayangkan para menteri ekonomi saat ini lebih pro terhadap liberalisasi ekonomi. Hal tersebut bisa dilihat dari berbagai kebijakan yang ditempuh dalam dua periode hingga sekarang. Padahal, pemerintah itu seharusnya pro terhadap kemandirian, kedaulatan di berbagai bidang ekonomi.
"Kami harap Partai Gelora itu memilih pro kedaulatan ekonomi, bukan kapitalis. Pro masa lalu, dan saya harap tidak pro leberalisasi masa sekarang," ujar Rizal Ramli.
Menurut Rizal Ramli, di dalam konstitusi tidak menyatakan secara eksplisit pro terhadap liberalisasi ekonomi. Walau para pendahulu bangsa banyak yang belajar dari bara, tetapi tidak memilih paham liberal.
Sebab, liberalisasi ini, bisa mengalami kehancuran ketika terjadi depresi dan keterpurukan melanda negara barat tersebut. "Liberalisasi ekonomi menjadi sangat spekulatif, dan mereka tolak model seperti itu," ujarnya.
Para pendiri bangsa ini, dikatanya, telah meletakkan dasar ekonomi berada di antara penganut liberalisme dan komunisme. Yakni sebagai jalan tengah yang termaktub dalam UUD 1945 adalah ekonomi dalam bingkai kesejahteraan rakyat. "Desain negara adalah kesejahteraan," ucapnya.
Negara kesejahteraan itu, pada prinsipnya kekayaan alam dimiliki rakyat dan dikuasai negara. Sebagai pelaksana bisa diserahkan ke swasta dan tidak memilikinya.
"Ini seperti zaman Pak Harto, tahun era 70-80 silam, 85% laba Sumber Daya Alam (SDA) minyak disetor ke pemerintah. Dan asing dikasih 15% saja sudah sangat senang," jelasnya.
Sehingga rakyat jelas mendapat manfaat langsung dari SDA tersebut. Namun, sekarang yang terjadi adalah SDA telah dikuasai swasta, sehingga memberikan keuntungan bagi perusahaan atau pribadi, rakyat tidak lagi mendapatkan manfaatnya.
"Ini sudah pengkhianatan terhadap UUD 1945, dan saya pikir Partai Gelora jangan diam saja. Mereka itu tidur aja sudah kaya kok. Malah tidak dibebani pajak atas winfall profit ini. Ini semua karena pemerintah mengabdi pada oligarki," tegasnya.
Kondisi ekonomi saat ini, kata Rizal Ramli, tidak baik-baik saja. Sebab, yang menikmati pertumbuhan ekonomi saat ini adalah golongan menengah ke atas, tidak untuk rakyat pada umumnya.
"Di sisi lain, rakyat bawah hidupnya susah banget, dengan harga-harga naik. Pertumbuhan ekonomi 5,3% hanya dinikmati para kapitalis yang gede-gede. Rakyat kecil tak menikmati pertumbuhan sepersen pun," pungkasnya.
Pengamat ekonomi dan perbankan Yanuar RIzki menambahkan, bahwa kebijakan keuangan Indonesia saat ini menuju ke kiblat moneterianisme, yakni individualisme, liberalisme dan materialisme. "Propagandanya begitu gencar," kata Yanuar.
Sementara dari sisi peredaran mata uang rupiah sendiri, lanjut Yanuar terlihat nyata. Dimana pergerakan uang oleh masyarakat relative kecil, dan sebaliknya peredaran korporasi melonjak.
"Yaa bagaimana, kita bisa mandiri kalau rupiah itu sendiri juga dikendalikan oleh asing. Nah bagaimana kalau SUN ini diganggu juga, melalui nilai tukar rupiah. Siapa ini yang kuat menahannya. Kalau dihajar Oligarki, bakal keok juga," katanya. (Ida).