Pemerintah Menjadikan Permainan Harga Minyak untuk Isu-isu Negara Kesejahteraan yang Palsu

Rocky Gerung.

PENGAMAT politik Rocky Gerung mengatakan, kita musti tagih terus bahwa negara itu diwajibkan untuk menyejahterakan rakyat. “Kalau kebijakannya tidak menyejahterakan rakyat maka dia musti minta maaf pertama-tama, lalu kalau dia bilang oke ada kesalahan, dia ganti kesalahan itu,” tegasnya.

“Rakyat nggak setuju ibukota itu dibiayai lewat pajaknya, artinya meras rakyat kok tetap dipaksa,” ujar Rocky Gerung dalam dialog dengan Wartawan Senior FNN Hersubeno Arief di kanal Rocky Gerung Official, Sabtu (10/9/2022).

Terkait framing KOMPAS atas Anies Baswedan, Rocky Gerung mengebutkan, di-framing jahat Kompas, Anies membalas dengan halus tapi menohok.

“Tapi intinya adalah Anies paham itu, tapi Anies membalas dengan cara yang semacam pukulan tersembunyi bahwa oke saya nggak akan lapor ke Dewan Pers, tapi rakyat berhak tahu,” tegasnya.

Berikut petikan lengkap dialog mereka.

Halo halo,  Bung Rocky, ketemu lagi di akhir pekan. Ini enak suasananya, sejuk ya, karena sepanjang hari kemarin hujan lebat di mana-mana. Juga banyak kali saluran-saluran internet ini lagi nggak stabil.

Jadi mohon maaf kalau pagi ini kita suaranya juga agak putus- putus. Tetapi tetap saja walaupun putus-putus kita tidak pernah putus harapan. Yang putus harapan sebenarnya pemerintah kalau melihat situasi sekarang.

Iya putus harapan. Kita selalu punya harapan ketika semakin banyak Byorka beroperasi.

Masalah BBM

Oke, biarkan byorka itu nanti kita bahas pada bahasan yang kedua. Kita kan ada dua topik, yang pertama soal Anies Baswedan dengan Kompas dan juga soal BBM. Ini menarik karena ternyata hari ini kan tanggal 10 ya. Ojol sudah secara resmi mulai menaikkan tarifnya.

Kita tahu itu pasti bukan kabar gembira juga buat para ojol. Ini justru kabar buruk buat mereka karena mereka pasti tahu bisa saja potensi kehilangan penghasilan, akan berkurang. Begitu juga kabar buruk dengan para UMKM yang selama ini juga mengandalkan mereka untuk menjualnya.

Nah, di tengah situasi itu kemarin tiba-tiba Menteri ESDM karena dituntut orang, ini harga BBM pasaran dunia turun kok kita malah naik.

Dia bilang kemungkinan juga kalau harga terus menurun ya pertalite bisa turun. Ini pilihannya kelihatannya presidennya turun atau pertalitenya turun. Tapi juga ribut sekali ini petisi. Nanti saya akan ajak ngobrol sendiri ke Agustinus Edi yang sangat kritis ini dan mantan wartawan, LBH.

Dia bilang lo di tengah subsidi dicabut kok bonus dari Direksi dan Komisaris Pertamina gila-gilaan tuh gedenya, sampai ratusan miliar itu.

Itu Menteri ESDM mendengarkan suara publik, tetapi nada bicaranya atau warna kalimatnya kan kemungkinan. Kan ini menteri yang dia itu pelaksana teknis, yang mutusin kan pasti Menteri Keuangan, Direksi Pertamina, terus presiden sendiri. Tapi, bukan itu poinnya.

Kalau dibilang oh mungkin akan dicabut, harganya diturunkan, itu berarti subsidinya ditarik lagi gitu. Kan orang berpikir begitu kan. Ada orang berpikir ya sudah biarin saja naikin terus-menerus tapi subsidi naikin terus juga tuh.

Jadi nggak ada lagi semacam kesatuan pikiran sebetulnya tuh karena tetap orang menganggap bahwa apapun yang disodorkan oleh istana pada publik, itu pasti akan di belakang bukan sesuatu yang diberikan cuma-cuma. Tuker tambahnya banyak.

Jadi soal harga BBM ini tidak lagi akan diturunkan, mau dinaikkan, orang anggap bahwa poinnya bukan sekadar lagi harga BBM, tetapi pemerintah yang memang pelit; pemerintah yang mempermainkan harga diri publik itu. Seolah-olah oke nanti subsidi kita tambah.

Iya, tapi itu kan artinya membuat orang merasa dia jadi pengemis. Jadi hak yang disebut hak itu, tidak diperhatikan pemerintah. Pemerintah justru mau menjadikan permainan harga minyak ini untuk isu-isu negara kesejahteraan yang palsu.

Kami akan melindungi orang miskin, kami akan memberikan tambahan ini, kami ya tapi orang tahu bahwa Istna itu musti batalkan sesuatu yang tidak dikehendaki rakyat, IKN, kereta cepat. Kan hanya itu sinyalnya sebetulnya.

Kalau presiden bilang oke, saya mengerti bahwa memang yang diminta rakyat itu bukan sekadar turunkan harga minyak, tetapi ganti proyek-proyek yang menggerogoti perekonomian Indonesia. Makronya begitu sebetulnya.

Jadi, bolehlah Menteri ESDM ngomong, tapi tetap tuntutan utama publik adalah hak batalkan proyek-proyek mercusuar yang hanya untuk kepentingan 2-3 orang, bukan untuk kepentingan rakyat. Itu dasar kita bernegara.

Nah, soal ojol ini kan juga dilematis. Pemerintah minta agar kita mengurangi konsumsi BBM. Orang kemudian beralih katanya. Oke, diparkirlah kendaraan-kendaraan pribadi. Kalau kita pakai kendaraan pribadi, kita akan pindah ke kendaraan umum. Tetapi, kendaraan umum juga naik semua.

Jadi kan kita betul-betul dihadapkan dengan pilihan yang sangat sulit buat buat publik. Mobil parkir, tapi ketika kita mau pindah ke transportasi umum, ternyata transportasi umum juga jadi mahal. Jadi terus mau ngapain kita, bertapa di rumah, gitu?

Nanti pemerintah bilang kalian beli lagi mobil yang 900 cc. Itu jalan pikiran yang konyol. Kan begitu sebetulnya, diarahkan untuk beli mobil cc kecil. Padahal dia yang bikin kebijakan sehingga mobil yang tadinya berharap beli pertalite sudah keburu kebeli.

Kalau di Eropa, kalau pemerintah bikin kebijakan konyol, dia akan ganti kekonyolan itu. Dia bilang oke, saya siapin ke mesin 900 cc, dia ganti semua. Itu namanya pemerintah yang bertanggung jawab. Dia bikin kesalahan, dia suruh orang lain cari solusinya.

Jadi, brengseknya di situ tuh cara berpikir itu. Jadi tetap, kita musti tagih terus bahwa negara itu diwajibkan untuk menyejahterakan rakyat. Kalau kebijakannya tidak menyejahterakan rakyat maka dia musti minta maaf pertama-tama, lalu kalau dia bilang oke ada kesalahan, dia ganti kesalahan itu. Kan bukan kita yang disuruh beli mobil baru, dia musti ganti mobil kita. Kan begitu.

Kan kemarin ingat kita, beberapa waktu yang lalu, itu biaya pajak mobil mewah dihapuskan. Tadinya katanya cuma untuk yang cc bawah, tapi seperti biasa kita duga itu hanya strategi awal saja, lama cc tinggi juga dihapus.

Sekarang orang-orang yang kadung beli mobil cc yang tinggi itu karena dengan harapan pada waktu mobil murah, karena pajak ekspor dan barang mewahnya dihapus, eh tiba-tiba sekarang bensinnya dinaikkan.

Jadi, itu poin-poin atau dalil-dalil mendasar itu tuh yang musti kita terangkan kepada publik bahwa kita berhak untuk minta penggantian sesuatu yang kita prediksikan dari awal, dipuji-puji oleh pemerintah, terus pemerintah ternyata bohong.

Beli mobile ini murah segala macam tapi begitu beli harganya dinaikkan minyaknya. Padahal, mereka yang membeli mobil itu dengan perhitungan. Oke, disuruh beli itu artinya disediakan fasilitas supaya mobil itu bisa jalan. Sekarang fasilitas utamanya BBM itu hilang. Begitu kan.

Sama saja dengan petani sawit, dijanjiin Pak Jokowi tahun lalu bahwa harga sawit akan stabil segala macam, lalu petani sawit bikin proyeksi kehidupan keluarganya. Kalau begitu, saya akan kirim dua anak saya sekolah ke Jawa. Eh ternyata harga sawit ngaco jadinya.

Maka dia batalin lagi. Mustinya diganti oleh pemerintah karena pemerintah yang menjaminkan kebijakan itu. Bukan dengan alasan fluktuasitas harga komoditas internasional. Ya pastilah semua orang tahu harga komoditas ada up-nya ada down-nya.

Jadi, pemerintah berbohong dalam membuat kebijakan. Jadi, poin dasarnya kira-kira di situ, kemampuan kita untuk melihat kebohongan itu. Lalu IKN yang diminta dibatalkan, malah pemerintah bilang kalau begitu bisnis-bisnis masih berjalan tapi 20% diambil dari APBN.

Saya nggak setuju IKN, lalu saya disuruh bayar IKN, kan ngaco. Kan lewat APBN artinya pajak rakyat dipakai buat IKN. Ya tanya saja pada rakyat, mau nggak kita bikin IKN. Baru ambil pajak dari rakyat.

Rakyat nggak setuju ibukota itu dibiayai lewat pajaknya artinya meres rakyat kok tetap dipaksa. Kalau bisnis ke bisnis ya silakan saja, kan nggak ganggu pajak saya.

Saya dipajaki saya setuju supaya tetangga saya bisa dapat beasiswa untuk sekolah anaknya, bukan pajak saya dipakai untuk IKN sehingga tetangga saya kekurangan IQ. Jadi cara bicara berpikir politik-ekonomi nggak dipahami oleh Presiden, ya.

Iya. Di tengah situasi itu seperti tersebut tadi, muncul petisi. Ini rupanya ada bonus untuk direksi dan komisaris Pertamina. Jadi total, tapi ini sudah bonus terhutang segala macem, 446 miliar rupiah.

Jadi kalau dibikin rata-rata katanya direksi itu akan dapat 35 miliar bonusnya, sementara komisarisnya 33 miliar. Tapi nanti wawancara lengkapnya bisa kita simak di Hersubeno Point channelnya. Ini sebenarnya juga kebijakan yang tidak masuk akal, tidak sensitif, atau apalagi namanya.

Ya, itu pongah namanya. Pongah. Jadi kan orang ingin lihat Indonesia itu tumbuh dalam persaudaraan, dalam penderitaan orang berbagi itu. Kalau ada sedikit rezeki, tetangganya senang. Ini mereka kuras harga diri rakyat, tapi mereka naikkan harga insentif mereka tahu harga bonus mereka.

Jadi, ya sudah kalau statistik menunjukkan kejomplangan antara 4 orang terkaya di Indonesia menguasai separuh dari harta umat, bahkan NU pernah bikin perumpamaan satu orang kaya di Indonesia itu setara dengan 100 juta kekayaan umat NU.

Kan itu sudah betul-betul gila. Ini NU yang bikin. Sekali lagi kita lihat kontras itu. Jadi, satu orang di pertamina itu mungkin setara dengan 300.000 sekolah yang terlantar karena akses jalan desa itu nggak dibuat.

Hersu: Dapat dihitung 150.000 untuk BLT, dan mereka ini dia cuma dapet empat bulan, jadi cuma 600.000. Sementara yang ini dapat 35 miliar dan 33 miliar. Dibandingkan dengan itu berapa juta kali.

Jadi, harga minyak yang dipermainan itu adalah subsidi rakyat terhadap komisaris dan direksi. Kan begitu jadinya. Kan logikanya gampang saja.

Soal Anies Baswedan

Oke, makin banyak ketidakwarasan akal-akal di kalangan pemerintahan. Tetapi, seperti tadi saya singgung, ini saya kira tetap menarik soal Anies Baswedan. Saya tahu pasti ketika Anda kemarin membuat konten sama saya soal Islamophobia, pasti banyak yang kebakaran jenggot.

Saya nggak tahu apakah Anda sudah dikontak oleh Kompas karena Anies Baswedan ini statusnya di Instagram di Facebook, dan lain-lain dia ternyata sudah dikirimi surat permintaan maaf dari Kompas dan kemudian dia mengaku dia mendapat desakan banyak orang untuk melaporkan ke Dewan Pers, tetapi dia merasa nggak perlu dia melaporkan soal itu.

Ya, saya ada yang memuji dan ada yang menyesalkan ucapan saya. Saya bilang ya memang saya ucapkan itu, bahwa Kompas itu di dalam analisis saya di belakang kepalanya secara psikoanalisis masih memelihara Islamophobia. Saya terangkan begitu.

Banyak teman saya di Kompas yang seperti protes. Enggak, itu analisis saya, bukan saya menyebabkan Kompas dianggap Islamophobia, tetapi dalam alam bawah sadar orang itu, bahkan saya pakai istilah Sigmund Freud, Freudian Key-nya bisa kita temukan, kita buka dengan kunci itu, kunci psikoanalisis bahwa di belakang politik redaksional Kompas diam-diam masih dihuni oleh kalangan Islamophobia.

Itu biasa saja sebagai (pengajar), kan saya mengajar critical thinking dan saya pakai semua peralatan akademi untuk membaca itu dan memang ternyata begitu akhirnya kan?

Kalau enggak ngapain Kompas ralat itu. Biarin saja itu mengalir dan musti menerangkan pada Anies lewat surat bahwa nggak begitu maksud kami. Iya, semakin tidak begitu semakin begitu anlisis saya. Jadi itu intinya. Saya tidak ada problem dengan Kompas.

Saya hanya mengamati gerak naratif dari Kompas. Jadi, karena dibahas dalam berita Kompas kan kita bisa baca dalam narasi dia. Itu gampang, yang diajarin di teori dasar filsafat komunikasi, Noam Chomsky, Walter Lippmann.

Tapi intinya adalah Anies paham itu, tapi Anies membalas dengan cara yang semacam pukulan tersembunyi bahwa oke saya nggak akan lapor ke Dewan Pers, tapi rakyat berhak tahu. Iya, sudah, rakyat berhak tahu, ya sudah.

Rakyat juga berhak tahu analisis saya, ngapain saya dibuli. Jadi hal itu biasa saja. Jadi buzer-buzer nggak usah baperlah. Kalau mau debat intelektual, taruh di situ saya layani satu persatu. Kalau bisa pararel. (Ida/sws}

509

Related Post