Pemikiran Liberal di Indonesia Sudah Melembaga
Jakarta, FNN -- Ahli ilmu Tafsir dan Hadits, Prof. Dr. H. Daud Rasyid MA, mengungkapkan saat ini pemikiran liberal di Indonesia sudah melembaga. Sudah menjadi institusi formal dimana mata kuliah hermeneutika sudah menjadi mata kuliah formal di sejumlah jurusan tafsir hadits di perguruan tinggi Islam.
“Jadi akar kekeliruan para pengagum Hermeneutika ini adalah mereka tidak meyakini bahwa Quran itu lafdzon wa maknan dari Allah. Sehingga mereka mengutak-atik makna kitab suci mereka sesuai perkembangan zaman,” jelas Daud Rasyid pada acara pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir, Rabu (29/6/2022).
Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Nama hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa Yunani hermeneuein yang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan.
Daud Rasyid berharap dari STID Mohammad Natsir akan lahir para cendikiawan muslim dan peneliti andal. "Jadi bukan hanya sekadar memegang ijazah, tapi siap bertarung di kancah pemikiran. Entah di jurnal, di forum diskusi atau buku ilmiah, itulah yang kita inginkan,” pungkasnya.
Dalam acara itu, Daud Rasyid menyampaikan orasi ilmiah bertajuk “Melawan Arus Liberalisme dalam Kajian Tafsir dan Hadits”. Dia menggambarkan bagaimana liberalisme masuk dalam kajian disiplin ilmu tafsir dan hadits di Indonesia.
Liberalisme, jelas Daud, masuk secara perlahan ke bidang tafsir dan hadits melalui hermeneutika. Walaupun, semerbaknya hanya di Indonesia, karena di Mesir harus berhadapan dengan para Profesor Mufasir dari Al azhar dan Darul Ulum.
“Ketika Nasr Abu Zayd melontarkan hermeutika dalam tafsir, para ulama serempak menggugat, khususnya Profesor Abdushobur Syahin, sehingga Nasr Abu Zayd kabur dari Mesir ke Belanda,” ungkap Daud Rasyid.
Saat itu para ulama Azhar mengajukan gugatan ke pengadilan Mesir bahwa pemikiran Nasr yang ada di buku-bukunya sudah cukup membuat dia murtad. Sehingga pengadilan Mesir waktu itu memfasakh Nasr dengan istrinya. Ini peristiwa 20 tahunan yang lalu.
“Jadi pagar benteng di sana sangat kuat, khususnya di Al Azhar dan Darul Ulum Universitas Kairo,” tegas Prof Daud Rasyid.
Kampus Terbaik
Sementara itu Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Dr. H. Adian Husaini, M.Si atas nama pimpinan Dewan Da’wah menyampaikan selamat atas penganugerahan Prof Dr Daud Rasyid MA sebagai Guru Besar STID Mohamad Natsir.
Adian berharap capaian yang diraih Prof. Daud Rasyid dapat memicu para kader dan dai muda Dewan Da’wah untuk lebih serius lagi belajar. Sehingga memiliki ilmu yang mumpuni untuk dakwah ilallah.
“Kalau secara keilmuan kita sudah tidak meragukan beliau. Dari tahun 1992 beliau sudah mengkritik orientalisme dan liberalisme, dan kita tahu beliau sangat konsisten,” ungkap Adian.
Penganugerahan gelar Guru Besar ini semakin memberikan semangat dan mengokohkan keyakinan bahwa STID Mohamad Natsir adalah kampus terbaik.
“Karena setiap kita bercerita tentang STID kepada Syekh di Timur Tengah, mereka kagum. Sebabnya, salah satu kampus dakwah yang 100% lulusannya jadi dai ya STID ini,” tegas Adian.
Rektor STID Mohammad Natsir, Dr. Dwi Budiman Assiroji mengatakan gelar profesor yang diraih dapat memperkuat dan mengembangkan atmosfer keilmuan di kampus STID.
Ia juga mengatakan, belakangan ini fenomena ghazwul fikri memang mungkin agak sedikit berkurang di bangku perdebatan, atau di buku-buku.
“Namun ghazwul fikri sesungguhnya tidak pernah hilang, dia hanya berpindah tempat. Sekarang berpindah ke media sosial. Karena itu kedepan diperlukan kader dai yang mampu mengimbangi serangan pemikiran ini di media sosial,” katanya. (TG)