Indonesia Sering Salah Memandang Perang Palestina - Israel
Jakarta, FNN - Jakarta, FNN - Perang dingin Israel-Palestina kembali memicu ketegangan baru beberapa negara Timur Tengah, termasuk Indonesia. Apalagi dengan tertembaknya jurnalis Al Jazeera, Shireen Abu Akleh saat meliput penggerebekan oleh Israel Defense Forces di wilayah pendudukan Tepi Barat, Jenin.
Pengamat politik Rocky Gerung menyebut, elite politik Indonesia kurang update jika melihat konflik antara Israel dan Palestina karena selalu yang dilihat soal agama.
“Yang paradoks itu Indonesia, selalu dianggap bahwa Israel itu ada hubungannya dengan agama. Padahal ini sebetulnya politik kasar saja. Israel memang dari dulu kasar dalam politik, tapi orang Indonesia, ya itu karena informasi yang masuk ke Indonesia membuat bangsa ini juga terpecah dalam soal memandang Israel,” paparnya kepada wartawan senior FNN, Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Sabtu, 15 Mei 2022.
Menurut Rocky, kepentingan Amerika di Israel adalah mempertahankan hegemoni di kawasan Timur Tengah.
“Tetapi, perilaku Israel yang menyerang Palestina dan sekarang ini lebih gila lagi, di mana jurnalis dibunuh oleh tentara Israel. Itu artinya ada pelanggaran di dalam yang disebut hukum perang,” paparnya.
Kalaupun ada kekerasan di situ, kata Rocky mustinya petugas kesehatan, jurnalis, adalah pengamanan pertama.
“Jadi ini adalah kejahatan yang dilakukan oleh tentara Israel atau oleh pemerintah Israel, bukan oleh bangsa Israel dalam pengertian satu etnis. Ini kan konflik politik, dan itu yang musti kita bedakan supaya Indonesia juga riil mengutuk dan meminta supaya ada sanksi terhadap Israel walaupun dalam basa basi diplomasi pasti Amerika menganggap bahwa itu kejadian kecil. Dan itu bisa memicu ketegangan baru di Timur Tengah,” paparnya.
Sekarang ini, kata Rocky politik Israel harus dibedakan antara Israel sebagai pemerintah, apalagi kalau yang berkuasa di situ adalah partai konservatif, itu akan berakibat parah.
“Itu yang mesti kita belajar supaya kita melihat politik dunia itu sebagai isu kepentingan saja, nggak ada lain-lain di situ. Jadi jangan dikait-kaitkan lagi dengan agama segala macam,” paparnya.
Rocky menegaskan orang sering menganggap bahwa Israel itu Kristen atau Nasrani atau Yahudi atau apa dan berseberangan dengan Palestina yang ada muslim, Arab.
“Padahal, Palestina itu multikultural dan multi-agama. Jadi kemampuan kita untuk melihat politik dunia kadang dikacaukan oleh semacam semangat-semangat keagamaan. Itu memburuk cara kita menganalisis politik,” paparnya.
Rocky menyayangkan para pemuka agama yang tidak bisa menjelaskan secara jelas kejadian di Palestina.
“Ini bahayanya kalau kemampuan para pemuka masyarakat Indonesia tidak mampu membedakan antara politik Israel dan Palestina dan sejarah bangsa itu di dalam peradaban dunia yang memang didasarkan pada perebutan wilayah. Dan adalah hak dari bangsa Palestina untuk memiliki wilayahnya sendiri, tidak ada hubungannya dengan hak keagamaan di situ karena setiap warga negara setiap manusia itu musti punya jaminan bahwa dia punya tempat pemukiman yang aman,” paparnya.
Uniknya, Israel selalu menganggap perluasan wilayah itu bagian dari semangat yudaisme dan semangat zionisme. Sementara sikap Amerika pasti dobel standar dan beberapa negara Arab juga ada double standar.
“Beberapa negara teluk itu justru pro-Israel supaya bisa membeli senjata Amerika. Itulah politik. Bagian-bagian itu yang seringkali jadi perdebatan di dalam negeri, karena nggak ada pengetahuan tentang apa yang kita sebut sebagai analisa politik ekonomi,” paparnya.
Menurut Rocky lantara semata-mata karena kepentingan ekonomi dan ekspor senjata, maka Israel menjadi proksi dalam diplomasi antara negara-negara Arab. Yang ingin punya senjata dari Amerika terpaksa musti seolah-olah berbaik-baik dengan Israel. Itu diplomasinya begitu.
“Ya, itu pertama kita musti tahu bahwa proksi-proksi Amerika di Asia Tenggara itu lagi dibujuk oleh Amerika supaya betul berhadapan dengan Cina. Tapi lebih dari itu yang lebih penting kita lihat apa hasilnya buat Indonesia secara ekonomi,” paparnya
Janji Biden, kata Rocky hanya untuk memperkuat bidang pertahanan di Asia dalam berhadapan dengan Cina. Tetapi kita tidak tahu apa sebetulnya manfaat Indonesia secara ekonomi, karena kita tahu bahwa Indonesia kehabisan cash dan tentu Indonesia lebih menginginkan ada semacam bisnis yang ditanamkan oleh pemerintah Amerika di Indonesia.
“Begitu yang lebih penting bagi Jokowi sebetulnya,” sarannya. Sementara bagi Amerika yang lebih penting adalah kepastian Indonesia dalam berhadapan dengan Cina. Itu intinya. Dan di sinilah mendua sebetulnya Indonesia mau anti-Cina tapi masih butuh bantuan Cina, sementara Amerika ini dapat kepastian,” tegasnya.
Janji Amerika itu, kata Rocky bisa berlaku buat negara-negara ASEAN, tapi sebetulnya Indonesia dikecualikan dari situ.
Lebih dari itu, kita tahu bahwa defisit di Amerika mendekati dua digit dan itu artinya konsolidasi dollar di situ akan menyebabkan Indonesia kehilangan kemampuan untuk memperoleh harga dollar yang berat karena harga dollar pasti akan naik kalau terjadi konsolidasi kekuangan di Amerika Serikat.
“Jadi, kita tetap lihat pertemuan Washington itu sebagai sinyal bagi Indonesia supaya kasih semacam ketetapan apa mau jadi proksi China atau menjadi proksi Amerika,” paparnya.
Sementara soal keuntungan ekonomi yang akan didapat Indonesia, Rocky menduga masih jauh Presiden Jokowi bisa bertemu dengan semua CEO di situ. Mereka melihat potensi di Indonesia sudah makin lama makin merosot. Karena mereka juga tahu statistik Indonesia bahwa daya beli rakyat Indonesia turun terus, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru merosot, utang luar negeri Indonesia jadi naik terus, dan kekacauan politik di dalam negeri justru itu yang dipantau oleh CEO Amerika yang melihat bahwa ini kabinet Pak Jokowi kok berantakan, sudah ada faksi-faksi tertentu dalam kabinet yang berupaya untuk memperlemah kebijakan pemerintah.
“Kan itu yang dibaca oleh financial player dunia. Jadi, kita anggap itu basa-basi diplomatik saja,” pungkasnya. (ida, sws)