Peristiwa Kanjuruhan Bukan Tragedi tapi Kriminal, Harus Ada yang Bertanggung Jawab!
SOMASI dari Aremania yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo untuk segera meminta maaf tak digubris Istana. Bahkan, menyusul tembakan polisi dengan gas air mata pada penonton di Stadion Kanjuruhan itu sedang disorot dunia.
“Kasus ini membuat Aremania atau rakyat Indonesia marah, bahkan sampai ke seluruh dunia. Di Eropa bahkan orang pakai pita hitam. Itu menunjukkan bahwa ini kasusnya itu bukan sekadar pintu, Pak Jokowi. Jadi, minta maaf dululah, baru kita ngomong tentang bagaimana memperbaiki,” tegas Rocky Gerung, dalam Kanal Rocky Gerung Official, Kamis (6/10/2022).
Menurut pengamat politik itu, ini persoalan serius, tetapi ditanggapi seolah peristiwa biasa itu. Lalu dipakai istilah tragedi. Tragedi artinya sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan karena dia bukan faktor manusia.
“Manusia itu dicemplungkan nasibnya oleh kekuatan-kekuatan di luar kemampuan manusia, di luar kapasitas dia, artinya alam yang membuat tragedi. Kalau ini bukan alam yang membuat,” tegas Rocky Gerung dalam dialognya dengan Wartawan Senior FNN Hersubeno Arief.
“Itu pentingnya Pak Jokowi di dalam keadaan krisis semacam ini datang ke publik, kasih public address. Pak Jokowi datang kasih pidato pendek yang menenangkan. Jadi, jangan defensif atau apologetik,” lanjutnya.
Berikut ini petikan dialog lengkapnya.
Halo halo... Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Waduh, kita mesti mengawali hari ini dengan keberkahan Bung Rocky, karena terlalu banyak masalah di negeri kita ini dan kalau nggak kita kuat-kuat nggak banyak-banyak berdoa, ini berat situasinya Bung Rocky.
Doa itu kita panjatkan setelah kita berniat untuk menyelesaikan masalahnya. Kan Tuhan bilang, kalau Anda tidak mampu menyelesaikan masalah jangan berdoa tuh. Jadi selesaikan masalahmu, maka doamu akan kami kabulkan. Ya, kira-kira itu.
Ya, sepekat. Kita ikhtiar dulu ya. Ikhtiar dulu baru berdoa. Jangan nggak ngapa-ngapain lalu berdoa. Itu salah fatalis namanya.
Iya, itu fatalis namanya. Dalam pepatah bahasa Latin namanya Ora Et Labora, bekerja dan berdoa. Jadi bekerja dulu gitu.
Iya, agama juga mengajarkan begitu ya. Jadi, Tuhan tidak akan mengubah nasib sebuah bangsa kalau bangsa itu tidak mengubah sendiri. Nah, ini yang terjadi justru Pak Jokowi yang mau mengubah pintu di Kanjuruhan, karena kemarin Pak Jokowi rupanya melakukan inspeksi dan akhirnya beliau melihat satu pintu di situ yang disebut sebagai kuburan massal.
Ada satu pintu yang terkunci. Ini yang orang heran kenapa pintu bisa terkunci. Biasanya kan kalau pertandingan selesai pintu-pintu itu langsung dibuka.
Bagus kalau pintunya terkunci, asal yang disemprotkan itu adalah parfum. Orang nggak akan berebut keluar tuh. Tetapi, kalau yang disemprot adalah gas air mata kan, jadi kelihatannya Pak Jokowi dia ada pepatah bilang begini, “You cannot see the wood for the trees” ‘Anda tidak bisa melihat hutan kalau terpaku pada pohon-pohon’.
Demikian juga Pak Jokowi, dia nggak bisa lihat problem besarnya karena terpaku pada hal-hal remeh-temeh itu. Kunci digembok segala macam. Kan semuanya bermula karena kepanikan. Datangnya kepanikan kenapa? Karena ada gas air mata.
Kalau parfum yang disemprotkan, orang gembira-gembira saja tuh. Jadi, hal semacam ini menunjukkan juga pemahaman beliau tentang akar persoalan itu kurang sekali. Orang tentu akan kecewa ini bagaimana kok urusannya urusan pintu, itu kan urusan gampang saja.
Kan ini semua tempat juga bisa bikin perbandingan. Tapi, kasus ini membuat Aremania atau rakyat Indonesia marah, bahkan sampai ke seluruh dunia. Bahkan di Eropa itu orang pakai pita hitam, itu menunjukkan bahwa ini kasusnya bukan sekedar pintu, Pak Jokowi.
Jadi, minta maaf dululah baru kita ngomong tentang bagaimana memperbaiki. Karena rasa empati pada korban itu kurang diperlihatkan. Langsung ya nanti kita usut segala macam. Bukan sekadar Pak Jokowi, tapi juga Ketua PSSI segala macam.
Jadi, nggak ada semacam pendalaman batin tentang peristiwa itu. Itu kan masalahnya. Karena itu, kemudian Arema atau masyarakat umum bahkan Persebaya, bahkan segala macam, kan kita lihat sekarang adalah seluruh suporter yang dulu berkelahi atau musuh-musuhan sekarang berkompak untuk mengatakan itu karena aparat.
Jadi suporter di mana-mana juga sekarang merasa bahwa kami juga bisa kena hal yang sama tuh. Jadi, bagian ini yang musti didalami oleh Presiden Jokowi. Kita ingin Presiden Jokowi itu punya perspektiflah. Kini, seluruh masyarakat menunggu itu. Apa perspektif presiden. Ternyata, perspektifnya sesempit pintu yang dimasalahkan.
Ya, dan kemudian beliau meminta diaudit seluruh stadion. Padahal, persoalannya bukan di stadionnya. Jelas ada Komnas HAM sudah memberikan semacam gambaran awal, dari pertemuan awal mereka persoalannya bukan di suporter yang turun ke lapangan yang membuat kerusuhan. Kemudian, secara khusus New York Times yang menyoroti. Kalau New York Times serius menyorotinya, karena ternyata memang polisi kita tidak terlatih dan kemudian juga tidak pernah diminta tanggung jawab. Jadi selalu berulang. Setiap kali ada kesalahan, ya tidak ada tanggung jawab. Itu sebenarnya inti persoalannya.
Betul. Jadi, tanggung jawab itu yang kita tagih pada aparatur tentu saja. Aparat tertinggi dikendalikan oleh Presiden. Tetapi, mungkin terlalu tinggi kalau ke Presiden. Kapolda ada tuh. Ini bukan sekadar siapa yang di lapangan atau panitia yang ada di lapangan.
Kan aparat yang tidak terlatih, aparat yang tidak mengerti cara penanganan kerusuhan di dalam ruangan tertutup, itu yang mustinya diaudit atau minimal ditata ulang. Pak Presiden ngomong tentang aparat, bukan tentang infrastruktur yang sempit di situ. Kan begitu cara kita melihat soal.
Dari awal kita sudah bisa lihat gerakan gas itu ke mana. Harusnya, misalnya kalau mau sekadar asal-asalan, mestinya gas itu ditembakkan ke pintu yang terkunci. Lah itu pintunya jebol baru gitu kan. Tapi, tetap orang menghitung itu lapangan sepak bola ya pasti potensial ada kerusuhan.
Karena itu, latih cara mengatasi kerusuhan, bukan dengan membabi-buta menembakkan kiri-kanan tuh. Jadi, bagian-bagian teknis itu kan mudah dibaca, tetapi Presiden juga harus mengerti bahwa penyelesaiannya bukan penyelesaian teknis.
Ini satu sistem pengamanan yang buruk di mana-mana tuh. Pengamanan mahasiswa juga buruk segala macam, demonstrasi. Ini sistem pengamanan pelatihan aparat kita. Itu yang mesti diperbaiki Pak Presiden. Bukan mata Anda itu tertuju pada pintu yang sempit. Itu juga jadi sempit perspektif Anda.
Karena kalau kemudian dipersoalkan Stadion Kanjuruan ini bisa jadi persoalan dengan Bu Megawati, karena ini stadion yang meresmikan Ibu Megawati loh. Jangan-jangan Pak Jokowi juga nggak tahu tuh.
Oh, ya akhirnya orang kait-kaitkan hal semacam itu. Tapi Ibu Megawati nggak pernah berpikir bahwa aparat penjaga ketertiban pertandingan itu tak terlatih. Tentu Ibu Megawati merasa sudah terlatih sehingga ya bagian-bagian tersebut sebetulnya akhirnya orang kaitkan lagi kan.
Ya Ibu Mega nanti akan berkomentar, ya kan saya buat itu dengan asumsi Bapak Jokowi akan melatih kepolisian. Jadi, jangan salahkan saya. Kira-kira begitu.
Sebenarnya, seluruh dunia juga, yang dari jauh pun, sudah bisa langsung mengambil kesimpulan ketika kita tahu bahwa korban itu akibat ada orang berlarian karena semprotan gas air mata. Kenapa mereka bisa menyimpulkan itu?
Karena FIFA sudah jelas melarang ada penggunaan gas air mata, sementara Kapolda misalnya menyatakan bahwa itu sesuai dengan SOP. Dari situ saja makanya seorang kolumnis di New York Times atau juga Bayern Munchen atau bahkan pemain seluruh dunia bisa langsung menyimpulkan ada persoalan yang serius pada petugas keamanan, bukan pada suporter atau pada stadionnya.
Nah, informasi-informasi begini yang aparatnya Pak Jokowi atau staf khusus segala macam nggak brief. Pak Jokowi perlu diberi briefing tuh, internasional begini. Terjemahkan New York Time, terjemahkan koran-koran yang di Eropa supaya Pak Jokowi ngerti: Oh, iya ya, semua sepakat bahwa ini melanggar aturan FIFA, bahwa seluruh dunia langsung bisa melihat apa penyebab dari kejadian brutal itu. Jadi, dunia nggak melihat pintunya.
Jadi, Pak Jokowi mesti diajarin supaya bisa berpikir lebih lebar, supaya dia dapat perspektif dengan perbandingan-perbandingan tuh. Ini bukan cuma salah Pak Jokowi, itu memang kapasitas beliau begitu. Tapi staf di sekitar beliau tidak kasih informasi yang benar sehingga Pak Jokowi akhirnya merasa ya ini cuma soal karena pintu kecil itu. Jadi hal-hal begini yang dari dulu kita ajarkan pada istana, supaya berpikirnya itu lebar dan dalam. Itu masalahnya. Kita jadi penasihat informal juga nih.
Apa boleh buat Bung Rocky, karena kan kemarin juga kita baca bagaimana staf khusus Presiden Jokowi yang tetap bersikukuh atas somasi Aremania terhadap Presiden Jokowi dan juga para otoritas yang lain. Tetapi, menurut mereka apa urusannya Pak Jokowi harus minta maaf. Ini yang saya kira mesti kita jelasin.
Ini staf khusus dungu juga nih. Kan itu somasi untuk meminta perhatian Pak Jokowi terhadap keadaan psikososial dari masyarakat yang getir, yang marah segala macam. Kan somasi itu artinya teguran etis.
Memang dia disebut somasi karena cuma itu jalannya. Tapi kan dalam hukum yang beradab, kalau disomasikan orang mesti oh iya, gua salah, jangan-jangan ya. Itu namanya somasi. Somasi itu bukan tuntutan hukum. Itu adalah awal dari menyadarkan orang yang bersalah. Itu somasi.
Jadi, staf khusus presiden ini, siapa mereka mereka, nggak paham tentang dasar pertama dari somasi adalah etika imperatif. Itu dia nggak ngerti belajar dari mana dungu-dungu ini.
Ini betul-betul membuat membuat publik menjadi sangat kecewa dan ternyata sikap-sikap semacam itu ya sikap lari dari tanggung jawab itu diikuti juga oleh di bawahnya, misalnya PSSI. Ketua umum PSSI mengatakan bahwa tanggung jawabnya bukan pada PSSI. Tanggung jawabnya itu pada panpel. Haduh... Saya jadi speechless deh mau ngomong.
Kalau begitu tanggung jawabnya ada pada si pemegang kunci pintu itu. Jadi, begitu kan. Atau kunci pintunya yang tanggung jawab. Kan ini gila reasoning dari istana kan. Itu kayak orang nggak terdidik dalam berpikir, asal jeplak saja. Kami nggak akan minta maaf karena nggak perlu lagi karena presiden sudah pastikan diusut.
Memang itu presiden ngomong diusut apa nggak ngomong diusut, itu pasti harus diusut. Jadi, yang lebih penting adalah dimensi etik dari peristiwa itu yang membuat orang jengkel, marah, sedih, geram, segala macam. Kan itu disomasi.
Jadi, hati nurani publik minta presiden minta maaflah. Nanti Istana bilang kenapa kita minta maaf, itu kan yang salah adalah juru kunci, yang pegang kunci kan. Itu saya bayangkan cara berpikir istana ini yang betul-betul ya sering saya sebut dungu itu.
Bukan orangnya yang dungu, tapi cara berpikirnya dungu. Keadaan dunia marah, lalu dianggap bahwa ya nggak perlu minta maaf. Loh, seluruh dunia itu marah, FIFA marah karena kalian itu nggak ngerti manajemen kerusuhan itu. Jadi, itu intinya tuh.
Ini bahayanya kalau presiden dikelilingi oleh orang-orang yang hanya punya keahlian teknis, teknis hukum apalagi. Itu nggak ngerti bahwa di belakang teknikaliti dari hukum itu ada desain etis di situ, ada moral clarity. Somasi itu untuk minta moral clarity. Begitu cara berpikirnya tuan-tuan dan puan-puan yang ada di istana.
Saya kira wajar kalau Anda pagi ini kelihatan rada emosional.
Karena ini serius betul, tapi ditanggapi seolah peristiwa biasa itu, yang nggak perlu minta maaf segala macam. Lalu dipakai istilah tragedi. Di mana ada tragedi. Di dalam peradaban, kalau kita baca asal-usul kata tragedi, tragedi artinya sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan karena dia bukan faktor manusia.
Manusia itu dicemplungkan nasibnya oleh kekuatan-kekuatan di luar kemampuan manusia, di luar kapasitas dia, artinya alam yang membuat tragedi. Kalau ini bukan alam yang membuat. Ini yang membuat adalah petugas keamanan, dan itu yang nggak dipahami oleh istana.
Oh, ini tragedi kemanusiaan. Nggak ada. Tragedi kemanusiaan itu tidak bisa diprediksi. Nah, peristiwa di Malang itu bisa diprediksi. Sesuatu yang bisa diprediksi pasti bisa dikontrol. Nah, gagal kontrol itu artinya gagal prediksi tuh. Itu bukan karena kehendak alam. Kalau tragedi karena kehendak alam. Di luar kapasitas manusia.
Kalau ini ada di dalam manajemen yang dikelola oleh sistem yang gagal untuk memberi rasa aman. Itu yang mesti dipahami dungu-dungu yang berkeliling di sekitar Pak Jokowi, sehingga Pak Jokowi nggak ngerti sebetulnya beda antara tragedi dan kriminal.
Oke. Kita teruskan evaluasinya ya, karena kalau kita tadi lihat New York Times, jelas. Dia jelas menuding langsung petugas keamanan, dalam hal ini kepolisian, ada memang tentara tapi di situ diperbantukan gitu ya. Dan, ini sebenarnya kalau kita lihat memang terjadi soal serius kelihatannya di internal kepolisian.
Kemarin, ini kita geger ada dua Bintara polisi Polda di Polda Papua Barat yang rupanya diminta mengantarkan kue ulang tahun untuk TNI yang kemarin itu merayakan ulang tahun ke-77, tapi malah melakukan pelecehan.
Kue ulang tahunnya malah dijilat, dia menyatakan supaya tidak panjang umur, dan sebagainya. Dan ini membuat pimpinan Polri kalang kabut dan harus minta maaf pada pimpinan TNI.
Dalam keadaan semacam ini, kita selalu minta pertanggungjawaban. Saya ini rumuskan kembali bahwa tragedi tidak perlu ada pertanggungjawaban karena itu desain semesta. Tetapi, ini butuh pertanggungjawaban. Nah, karena itu, kemudian orang merasa bahwa kalau nggak ada pertanggungjawaban, jadi semua orang bisa suka-sukanya gitu melecehkan atau menghina segala macam.
Jadi, satu paket bahwa institusi Polri itu memang disorot publik dan nggak ada pembenahan. Sudah dari kasus Pak Sambo itu nggak ada pembedahan, lalu terjadi ekses-akses semacam itu. Bayangkan misalnya kalau kemarahan itu tumpah bersama dengan kemarahan buruh, kembaran suporter, dan kemarahan TNI. Kan berantakan.
Nah, itu pentingnya Pak Jokowi di dalam keadaan yang krisis semacam ini datang ke publik, kasih public address. Itu biasa dalam hal yang betul-betul dramatis. Ada bencana, ada segala macam. Itu Pak Jokowi datang kasih pidato pendek yang menenangkan. Itu intinya. Jadi, jangan defensif atau apologetik.
Jadi, lakukan sesuatu secara dorongan keras dari batin bahwa bangsa ini sedang retak. Suatu peristiwa yang barusan terjadi di Malang itu ternyata tidak dipahami oleh anggota polisi yang ada di Papua, misalnya.
Jadi, emang ini yang anggota di Papua mungkin ya sangat junior, dia belum bisa paham bahwa kita ada dalam kecemasan, bahwa institusi polisi itu ada dalam sorotan tajam, bahkan dari internasional menganggap bahwa polisi itu memang nggak terlatih gitu.
Dan orang akan anggap bahwa polisi Indonesia juga berbahaya kalau begitu, menangani potensi rakyat segala macam kalau terjadi G20, misalnya. Cara memandang kita itu lihat hutannya, bukan sekadar lihat pohon-pohonnya. (Ida/sws)