PNPK: Segera Ratifikasi MoU Ekstradisi dengan Singapura

Haris Rusly Moti. (Independensi)

Jakarta, FNN - Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan, Indonesia akan menghadapi persoalan serius keuangan pada 2023.

Diantaranya disebabkan oleh perintah IMF yang melarang keterlibatan Bank Indonesia (BI) untuk membantu men-top up gizi APBN, yaitu dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan oleh pemerintah.

Dalam menghadapi keadaan darurat APBN pada 2022 dan 2023 tersebut, pemerintahan Presiden Joko Widodo nyaris tidak punya lagi alternatif pintu keluar, semuanya sudah terkunci. Hanya tersedia protokol ventilasi darurat untuk sekedar bisa bernapas.

Protokol ventilasi darurat tersebut adalah jika Presiden Jokowi bersikap tegas untuk memburu, memidanakan dan menyita seluruh uang dan aset hasil kejahatan keuangan (korupsi, penghindaran pajak dan money laundry) serta uang hasil kejahatan pengrusakan lingkungan yang diduga disembunyikan di sejumlah bank surga pengemplang pajak dan korupsi di Singapura, serta berbagai negara lain di wilayah Belarusia dan Timur Tengah.

“Kami menilai Presiden Jokowi belum menunjukan itikad baiknya untuk menyelamatkan darurat APBN melalui protokol darurat yang dikehendaki sistem dan protokol international,” ungkap Presidium Poros Nasional Pemberantasan Korupsi (PNPK) Haris Rusly Moti dalam Siaran Pers yang diterima FNN.co.id, Selasa (8 Februari 2022).

Indikatornya hingga saat ini Pemerintahan Jokowi belum tampak akan meratifikasi “MoU Perjanjian Esktradisi” dengan Pemerintahan Singapura yang telah ditandatangani beberapa minggu lalu.

Menurut Haris Rusly Moti, sepertinya penandatanganan “MoU Perjanjian Ekstradisi” dengan pemerintah Singapura bisa jadi hanya modus lip service semata, sebagaimana yang pernah dilakukan di era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dulu ketika era pemerintahan SBY, melalui Menteri Luar Negeri, pernah mendatangani “MoU Perjanjian Ekstradisi” dengan Singapura. Namun MoU itu tidak pernah dijalankan, karena tidak pernah diajukan ke parlemen untuk diratifikasi ke sistem hukum nasional.

Dikatakan, banyak yang menduga “MoU Perjanjian Ekstradisi” yang baru saja ditandatangani tersebut akan bernasib seperti era Pemerintahan SBY, tidak untuk diratifikasi dan dijalankan.

“MoU Perjanjian Ekstradisi” tersebut diduga sekedar lip service dan dipakai sebagai alat tekan predator pemeras uang kotor yang kabarnya melingkar dan menguasai Istana.

Padahal, jika “MoU Perjanjian Ekstradisi” dengan Singapura diratifikasi, maka dengan demikian tersedia landasan hukum yang kuat dan mengikat untuk menjemput paksa para penjahat keuangan yang bersembunyi di negara tersebut.

Bahkan, lanjut PNPK, melalui “MoU Perjanjian Ekstradisi” tersebut para penjahat keuangan dapat dipidanakan dan dipenjarakan.

Sebetulnya, selain “MoU Perjanjian Ekstradisi” tersebut, Indonesia dengan Singapura juga terikat dalam cakupan perjanjian Mutual Legal Assitance (MLA) ASEAN.

Melalui perjanjian MLA ASEAN, jika diratifikasi, maka pemerintah Indonesia dapat dengan leluasa mengusut, mengejar, mempidanakan dan menyita seluruh uang hingga aset para penjahat keuangan Indonesia yang disembunyikan di rekening rahasia, baik yang ada di Singapura, maupun di seluruh negara ASEAN dan sekaligus dapat mengadili dan memenjarakan pelaku kejahatan keuangan.

Karena itu, untuk memperkuat kedudukan MLA ASEAN, pemerintahan Jokowi juga harus segera mengajukan ke DPR untuk diratifikasi menjadi UU. Sebagaimana sebelumnya Pemerintah dan DPR telah meratifikasi perjanjian MLA dengan Swiss maupun perjanjian MLA dengan Rusia.

“Ada apa gerangan ratifikasi MLA ASEAN dan ratifikasi “MoU Perjanjian Ekstradisi” dengan Siangapura tidak semudah ratifikasi MLA dengan Swis dan Rusia?” kata Haris Rusly Moti.

Menurut pandangan PNPK, baik MLA maupun “MoU Perjanjian Ekstradisi”, merupakan strategi utama dalam penyelamatan darurat APBN.

Pemerintahan Jokowi dipastikan hanya punya satu fasilitas ventilasi untuk dapat bernapas, yaitu melalui mekanisme dan protokol MLA guna mengejar, mengusut, mempidanakan dan menyita uang dan asset hasil kejahatan keuangan.

Bukankah sebelumnya Pemerintahan Jokowi pernah mencoba menarik uang 11 ribu triliun rupiah melalui mekanisma Tax Amnesty jilid satu, namun nyatanya tidak menuai hasil yang signifikan.

Kegagalan serupa dipastikan akan terulang kembali pada program tax amnesty jilid dua yang disusupkan ke dalam UU perpajakan yang baru. Pemutihan kejahatan keuangan model tax amnesty sudah pasti tidak diterima oleh protokol dan mekanisme international yang menghendaki pemidanaan terhadap segala bentuk kejahatan keuangan.

Karena itu, menurut PNPK, jalan keluar dalam menghadapi situasi darurat APBN: Pertama, Presiden Jokowi hanya disediakan satu mekanisme, satu protokol, tidak tersedia alternatif yang lain, selain harus menggunakan ventilasi untuk bisa bernapas yang dikehendaki oleh sistem dan protokol keuangan international, yaitu protokol dan mekanisme MLA, yaitu mengejar, mengusut, mempidanakan dan menyita seluruh uang dan asset hasil kejahatan keuangan, di masa lalu maupun saat ini.

Kedua, segera membuka secara transparan ke publik mengenai keberadaan uang dan aset ilegal para pejabat dan pengusaha Indonesia yang disimpan dalam rekening rahasia di Singapura senilai Rp 4.000 triliun.

Selain uang dan asset kejahatan BLBI, diantaranya uang dan aset yang merupakan kekayaan yang tidak dilaporkan, uang dan asset hasil pendapatan ekspor yang tidak dilaporkan, uang dan aset hasil korupsi, uang dan aset hasil penggelapan pajak, dan segala bentuk kejahatan keuangan lainnya yang sekarang telah dikategorikan oleh protokol dan sistem keuangan international dan sistem hukum nasional sebagai harta kekayaan ilegal.

Ketiga, Presiden Jokowi bisa segera mengeluarkan perintah kepada lembaga hukum yakni Kejaksaan Agung dan POLRI untuk segera bekerja dalam melaksanakan MLA dan MoU Perjanjian Ekstradisi dengan Singapura.

“Yaitu mengusut dan mengambil data dan informasi mengenai harta hasil kejahatan keuangan, menyita uang dan assetnya dan mengadili pelakunya, dimanapun mereka berada,” kata Haris Rusly Moti.

Begitu juga KPK yang telah dilemahkan melalui revisi UU KPK harus segera menggunakan kewenangan yang tersedia dalam menangkap para penjahat keuangan, dimulai dengan meneruskan penyidikan kasus yang selama ini ditangani oleh KPK, yakni kejahatan mega korupsi BLBI.

Keempat, Presiden Jokowi sebaiknya membubarkan Satgas BLBI yang diketuai oleh Mahfud MD. Keberadaan Satgas BLBI justru mendistorsi upaya penegakan hukum yang seharusnya dijalankan dalam menuntaskan pidana kasus BLBI dan kasus kejahatan keuangan lainnya.

Menurut PNPK, seharusnya seluruh lembaga negara seperti Kemenko Polhukam, Kemenkeu, Kementerian Hukum dan HAM, Badan Intelijen Negara (BIN), Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan PPATK harus mendorong berjalannya sistem dan protokol penyelamatan darurat APBN melalui MoU Perjanjian Ekstradisi Singapura Indonensia dan MLA ASEAN.

Sebagai catatan, Pemrakarsa PNPK yaitu Gigih Guntoro (Indonesian Club), Sumiarto (Barisan Anak Jakarta - BAJAK), Aprudin (Pemuda Penggerak Bina Mandiri - P2BM), Bambang Isti Nugroho (Guntur 49), Hatta Taliwang (Insitute Ekonomi Politik Soekarno Hatta - IEPSH), Baharudin Sayidi (Komite Solidaritas Umat Islam Indonesia - KSUII);

Haris Rusly Moti (Petisi 28), Suwitno (Aliansi Masyarakat Peduli Bangsa - AMPB), Wawan (LSM PELOPOR), Bambang Nurdin (Barisan Penyelamat Bangsa), Nur Ridwan (Bina Bangun Bangsa), Ferry Razali (Peduli Bangsa Nusantara – PBN), Yudha (Forum Bela Negara-FBN), Mulia Astuti (Permindo), dll. (mth)

285

Related Post