Politik Kekerabatan, Bukan Monopoli Jokowi
Potik kekerabatan bukan monopoli Jokowi. Megawati Sukarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono sudah menjadi imam dalam hal dinasti. Hary Tanoesoedibjo pun tanpa merasa risih memasang istri dan selutuh anaknya untuk duduk di kursi Senayan.
Oleh: Dimas Huda | Jurnalis Senior FNN
Partai Perindo seakan sudah menjadi kendaraan pribadi keluarga Hary Tanoesoedibjo. Taipan ini mengusung istri dan semua anaknya turut serta berjuang menguasai Senayan.
Istri Hary Tanoe, Liliyana Tanaja Tanoesoedibjo terdaftar sebagai bakal caleg Partai Perindo untuk Dapil Jakarta II dengan nomor urut 1. Anak pertama Hary, Angela H Tanoesoedibjo terdaftar sebagai bakal caleg dari Partai Perindo untuk Dapil Jawa Timur I. Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif itu mendapatkan nomor urut 1.
Anak kedua Hary, Valencia H Tanoesoedibjo tercatat sebagai bakal caleg dari Partai Perindo di Dapil Jakarta III, dengan nomor urut 1. Anak ketiganya, Jessica Tanoesoedibjo terdaftar sebagai bakal caleg di Dapil NTT II, dengan nomor urut 1.
Selanjutnya, anak keempat Hary, Clarissa Tanoesoedibjo sebagai bakal caleg di Dapil Jawa Barat I, dengan nomor urut 2. Adapun anak bungsu Hary, Warren Tanoesoedibjo bakal caleg di Dapil Jawa Tengah I, dengan nomor urut 2.
Hary Tanoesoedibjo juga sendiri terdaftar di Dapil Banten III. Dia mendapatkan urut 1 di antara bakal caleg Perindo lainnya di dapil tersebut.
Fenomena politik kekerabatan tampaknya kian mengental pada Pemilu 2024. Bukan hanya Hary Tanoe yang memboyong keluarganya untuk meramaikan pesta demokrasi tersebut. Fenomena itu terjadi di banyak partai politik. Para bakal caleg keluarga elite partai politik itu jumlahnya sedikitnya hampir 20 orang.
Keikutsertaan mereka diketahui setelah KPU RI mengumumkan Daftar Calon Sementara (DCS) Anggota DPR RI pada Agustus lalu. Dalam dokumen tersebut, terdapat 9.919 nama bakal caleg yang diusung 18 partai politik untuk bertarung di 84 daerah pemilihan (dapil).
Tampak lima nama bakal caleg yang merupakan istri atau suami dari elite partai politik. Bahkan, empat di antaranya nyaleg bareng dengan pasangannya.
Himmatul Aliyah, istri dari Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani, misalnya. Himmatul tercatat sebagai bakal caleg Partai Gerindra untuk Dapil DKI Jakarta II dengan nomor urut 1, sedangkan Muzani sendiri nyaleg di Dapil Lampung I dengan nomor urut 1.
Ada juga Netty Prasetiyani, istri dari Wakil Ketua Majelis Syura PKS yang juga mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher). Netty jadi bakal caleg PKS di Dapil Jawa Barat VIII dengan nomor urut 1, sedangkan Aher berlaga di Dapil Jawa Barat II dengan nomor urut 1.
Lalu ada Erry Ayudhiansyah. Dia adalah suami dari Ketua DPP PKB sekaligus Wakil Gubernur Lampung Chusnunia Chalim. Erry jadi bakal caleg PKB untuk Dapil Banten II dengan nomor urut 1, sedangkan Chusnunia akan bertarung di Dapil Lampung I dengan nomor 1.
Julie Sutrisno Laiskodat tak ketinggalan. Istri dari politikus senior Partai Nasdem sekaligus Gubernur NTT Viktor Laiskodat ini jadi caleg Partai Nasdem untuk Dapil Dapil NTT I dengan nomor urut 1, sedangkan Viktor maju di Dapil NTT II dengan nomor urut 1.
Begitu juga Atalia Praratya. Istri Ridwan Kamil, Wakil Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Gubernur Jawa Barat ini bakal caleg Partai Golkar di Dapil Jawa Barat I dengan nomor urut 2.
Jika dicermati, termasuk Hary Tanoe, ada delapan bakal caleg DPR yang punya hubungan dengan elite politik sebagai ayah-anak atau nenek-cucu atau paman-keponakan.
Mereka itu misalnya Parananda Surya Paloh. Anak Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem ini sebagai bakal caleg nomor urut 1 di Dapil Sumatera Utara I untuk Nasdem.
Ada juga Putri Zulkifli Hasan, anak dari Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Putri jadi bakal caleg PAN di Dapil Lampung I dengan nomor urut 1.
Lalu, Rivandra Airlangga, putra dari Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto. Rivandra tercatat sebagai bakal caleg Partai Golkar untuk Dapil Jawa Barat V dengan nomor urut 1.
Hisan Anis Matta, putri dari Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta juga tak ketinggalan. Hisan jadi bakal caleg Partai Gelora di Dapil Jawa Barat V dengan nomor urut 1.
M Rasyid Rajasa, putra dari Ketua Majelis Penasihat PAN Hatta Rajasa. Rasyid terdaftar sebagai bakal caleg PAN di Dapil Jawa Barat I dengan nomor urut 5.
Erwin Aksa, keponakan dari mantan wakil presiden RI sekaligus mantan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla (JK). Erwin yang kini menduduki posisi Ketua DPP Partai Golkar ternyata maju sebagai bakal caleg di Dapil Jakarta III dengan nomor urut 2.
Rahayu Saraswati, anak dari Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hasyim Djojohadikusumo sekaligus keponakan dari Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang kini memegang jabatan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra maju sebagai bakal caleg di Dapil Jakarta III dengan nomor urut 1.
Diah Pikantan O Putri Hapran juga begitu. Pikantan merupakan anak dari Ketua DPP PDIP sekaligus Ketua DPR Puan Maharani. Dia tentu cucu dari Ketua Umum PDIP sekaligus mantan presiden RI Megawati Soekarnoputri. Pikantan jadi bakal caleg dari partai berlogo banteng itu di Dapil Jawa Tengah IV dengan nomor urut 1.
Merusak Demokrasi
Fenomena keluarga elite partai politik menjadi bakal caleg ini merupakan bentuk politik kekerabatan. Fenomena ini disebut merusak demokrasi dari banyak sisi. "Jaringan politik kekerabatan ini sulit diketahui oleh masyarakat, padahal itu dampaknya buruk, merusak demokrasi kita," kata Lucius Karus, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).
Pada umumnya caleg-caleg kekerabatan ini menjadi caleg dengan menempuh jalan pintas, yakni mengandalkan kedekatan dengan elite partai. Mereka biasanya mendaftar di hari terakhir pendaftaran dan tidak mengikuti tahapan kaderisasi seperti anggota partai lainnya.
Itu sebabnya, fenomena politik kekerabatan merusak proses kaderisasi partai karena kader-kader potensial yang sudah mengikuti tahapan kaderisasi, bahkan mungkin pencalonan, terhalang langkahnya menjadi caleg karena harus mengalah dengan keluarga elite partai. Kalaupun bisa menjadi caleg, para kader tetap saja harus merelakan nomor urut kecil apabila terdaftar di dapil yang sama dengan keluarga bos partai.
Politik kekerabatan atau politik dinasti ini terjadi karena regulasi pemilu tidak melarang hal tersebut. Praktik tersebut semakin subur akibat adanya "oligarki partai" alias segelintir orang yang punya kuasa penuh menentukan kebijakan partai.
"Jadi saya kira (fenomena politik kekerabatan ini) berbanding lurus dengan faktor partai politik kita yang masih dikuasai oligarki. Jadi politik dinasti itu sudah menjadi satu hal yang tak terelakkan," kata Lucius.
Elit Pemangsa
Dinasti politik adalah fenomena yang terjadi setiap pemilu. Para pembuat undang-undang pun tak pernah membuat rekomendasi atau memastikan agar dinasti politik tak terjadi lagi.
Tengok saja trah Yudhoyono yang maju melalui Partai Demokrat. Trah ini dinahkodai oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Rombongan keluarga yang maju caleg ini adalah akibat kepengurusan dan keanggotaan partai politik yang memberi keistimewaan pada kader yang dekat dengan ketua umum. Hal ini agar praktik menyimpang bisa dikendalikan.
“Ini semua bisa dijelaskan karena oligarki partai yang belum juga berubah. Jadi politik dinasti itu sudah menjadi satu hal yang tak terelakkan,” ujar Lucius.
Politik dinasti sebenarnya bukan sistem yang tepat diterapkan negara yang demokratis. Pasalnya, setiap warga negara memiliki hak suara yang harus dijamin dan dipenuhi. Selain itu, politik dinasti juga mampu menyuburkan budaya korupsi dan kecenderungan mempertahankan kekuasaan.
Banyak studi membuktikan bahwa sejak awal terjadi pembajakan terhadap lembaga-lembaga dan prosedur Demokrasi, dan ini menjadikan demokratisasi Indonesia berwatak sangat elitis.
Robison & Hadiz (2004) melakukan studi yang menggaris-bawahi bahwa elit predatorial (elit pemangsa rakyat) lama yang berbasis partai-partai politik menguasai panggung politik.
Mereka melakukan reorganisasi kekuasaan mengikuti logika politik kartel, yaitu politik kartel digambarkan sebagai situasi manakala partai-partai politik secara bersama-sama
mengabaikan komitmen ideologis dan programnya agar tetap bisa bertahan di lingkar
kekuasaan dengan memilih bergabung dengan pemerintahan baru pasca pemilu.
Sebagai imbalan atas dukungan yang diberikan mereka berbagi pos-pos jabatan di pemerintahan.
Politik kartel pada gilirannya membentuk pemerintahan berwatak oligarkis. Oligarki
merupakan mekanisme pemusatan kekuasaan pada segelintir elit berkuasa yang menekankan pada kekuatan sumber daya material (kekayaan) sebagai basis mempertahanan kekuasaan sekaligus kekayaan pada diri elit.
Sementara plutokrasi mirip dengan oligarki. Namun, plutokrasi terjadi tatkala tercipta suatu kondisi ekstrem ketimpangan sumber daya antara “kaya”dan “miskin” di dalam suatu negara.
Plutokrat (penguasa dalam plutokrasi) tidak hanya menguasai sumber ekonomi dan
politik, melainkan juga sumber daya kekerasan (pasukan, senjata, teknologi). Dan ini menjadi basis bagi munculnya oligarki. Akan tetapi ada studi lain yang dilakukan Hee-Yeon Cho (2008) melihat bahwa“demokrasi oligarkis” Indonesia berangsur-angsur berubah menjadi “oligarki demokratis.
”Inilah sejenis oligarki yang ingin mempertahankan kekayaan–sekaligus merebut
kekuasaan–melalui kompetisi electoral (melalui pemilu) yang berwatak elitis. Sehingga, bukan politik demokrasi yang berlangsung di Indonesia, tapi politik oligarki.
Sementara itu Winters (2014) juga menegaskan kenyataan serupa, bahwa elemen
penting neo Orde Baru adalah kaum oligark (elit berwatak oligarkis) yang tak ikut lenyap bersama tumbangnya Soeharto.
Kaum oligark yang dulu berada di bawah kendali mutlak Soeharto kini sedang berebut posisi di puncak kekuasaan. Oligark sultanistik di zaman Orde Baru terpusat di Cendana, sedangkan oligark pasca Orde Baru menyebar ke dalam banyak kutub persaingan kaum elit.
Metode otoritarian Orde Baru membuat oligarki bisa dikuasai seorang diktator, sedangkan “demokratisasi” pasca Orde Baru membuat para oligark bersaing melalui mekanisme kompetisi electoral. Sehingga Winters ingin menegaskan bahwa oligarki dan demokrasi saling menunggangi.