Politik Makin Gaduh, Bakal Reda Jika Jokowi Turun

TIADA hari tanpa gaduh. Itulah kenyataan yang terjadi sejak Joko Widodo menjadi presiden. Maklum ada sebagian masyarakat yang merasa kelahiran Jokowi sebagai pemimpin tidak dikehendaki.

Untuk mengakhiri kegaduhan tanpa ujung itu, pengamat politik Rocky Gerung menyarankan Jokowi turun saja, agar semua keributan berhenti.

“Sebaiknya Pak Jokowi turun saja supaya lebih mulus pertandingan politik. Karena selama Pak Jokowi masih berupaya untuk punya pengaruh di dalam persaingan politik, ya itu memancing keributan," kata Rocky kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Rabu (12/10/22).

Rocky juga menyoroti akrobat Ganjar Pranowo yang terus berkeliling Indonesia sebagai upaya mempertahankan kekuasaan Jokowi pasca lengser.

Bagaimana analisis Rocky terkait Buku Jokowi Undercover-2, Anies Baswedan, dan Airlangga Hartarto, berikut wawancara lengkapnya.

Apakabar Bung Rocky? Ini baru dari trans Sulawesi ya?

Ya, saya habis muter-muter Sulawesi Tengah dengan masyarakat akademis. Seperti biasa, ditolak di Universitas Islam Negeri, tapi mahasiswanya pinter, mereka semua ke hotel akhirnya. Akhirnya, tiket kuliah saya dijual, dan yang masuk berebut juga tuh. Jadi menang banyak mahasiswa.

Ini  Universitas Negeri yang ini di bawah Depag. Padahal, saya berteman sama Menteri Agama, tetapi nggak tahu, rektornya menolak. Ya sudah mahasiswa pindahin ke hotel dengan konsekuensi mereka jual tiket dan tiket habis. Jadi saya dapat honor karena dianggap menguntungkan.

Bagaimana Anda mengobrol sepanjang perjalanan bertemu sama mereka? Mood publik tuh seperti apa sih sekarang?

Ya, itu berupaya untuk saya baca di situ, Palu ini kan unik, ada begitu banyak partai ideologi di situ, tapi selalu ada percakapannya tegang terus. Tapi di ujungnya mereka saling paham bahwa kita berbeda, jadi ada yang langsung menyatakan saya Nasdem, saya Anies. Ada yang seberangnya pantai itu.

Jadi saya kasih kuliah umum di dua tempat, satu di kampus yang ditolak tapi pindahin ke hotel, satu lagi di warung kopi. Di Palu ada warung kopi di mana semua partai ada di situ. Mahasiswa dan semua ormas juga ada di situ, dari HMI sampai PRD ada di situ. Dan biasa di situ. Orang ratusan datang juga tuh.

Kayaknya di sana musti menikmati Kalemdo (Kaki Lembu Donggala). Oke, kita balik lagi ke Jakarta, dan akhirnya Universitas Gadjah Mada memberikan pengumuman secara resmi bahwa Pak Jokowi itu adalah alumni dari Fakultas Kehutanan. Ini kenapa sih dibiarkan lama mengambang dan baru sekarang Rektor memberikan penjelasan gitu?

Saya kira itu jadi clear, dan semua isu itu kan pada ujungnya musti ada yang kasih keterangan tuh. Jadi, kalau ibu Rektor UGM sudah bilang, ya sudah terima saja itu kan. Mau diapain lagi. Kan itu intinya.

Jadi, kita mau ngorek-ngorek sesuatu yang sebetulnya juga dangkal juga korek-korekannya. Ya, ini soal Jokowi Undercover. Dulu yang pertama jilid 1 saya menyatakan justru saya protes karena Pak Tito bilang itu tidak karya ilmiah. Lalu saya protes. Kalau begitu Pak Tito Mendikbud dong. Kan karya ilmiah itu ditentukan di Universitas.

Pak Bambang Tri itu dulu terbitin seri pertama, saya bilang bahwa harusnya kalau itu karya ilmiah dibahas di Universitasnya. Universitasnya kan menolak waktu itu. Ya sudah, itu kontroversi. Yang sekarang juga masih kontroversi karena baru beredar versi barunya tuh. Tapi karena sudah diterangkan oleh ibu rektornya, sudah terima saja.

Bahwa itu kemudian akan jadi bukti di pengadilan negeri, ya sudah silakan saja kan. Jadi lebih jelas lah keadaan kita. Tentu orang merasa bahwa isu politik akhirnya nyerempet ke segala hal. Orang juga musti paham bahwa apapun isu yang akan terjadi, kan nggak bisa dibatalkan.

KPU sudah menyatakan Pak Jokowi Presiden. Itu tinggal soal moral saja sebetulnya itu, bener apa nggak. Tapi klarifikasi datang dari Lembaga resmi UGM.

Dan saya sebenarnya juga mikir-mikir apa pentingnya sekarang meributkan ijazah Pak Jokowi di akhir masa jabantannya. Ini kan jadi nonfaktor, yang tidak bisa mempengaruhi harga beras untuk naik atau turunlah, kira-kira begitu. Atau harga bahan pokok turun juga nggak ada pengaruhnya kan gitu.

Iya, dan Pak Jokowi juga turun nggak ada pengaruhnya karena dianggap bahwa ya sebaiknya Pak Jokowi turun saja supaya lebih mulus pertandingan politik. Karena selama Pak Jokowi masih berupaya untuk punya pengaruh di dalam persaingan politik, ya itu memancing keributan juga.

Keributan di PDIP, keributan di dalam kabinet sendiri. Jadi ribut-ribut di istana justru disebabkan oleh Pak Jokowi masih ingin mengendalikan politik. Padahal, etikanya harusnya Pak Jokowi sudahlah, biarkan saja mereka yang bersaing di situ. Supaya orang juga menjadi teduh.

Ganjar juga mencari kepastian, ini mau didukung Jokowi apa enggak? Kalau enggak didukung ya dia mau jalan sendiri saja kira-kira, karena relawannya juga siap siaga untuk mem-backup Ganjar.

Oke. Karena Anda menyinggung Ganjar, ini kan menarik. Ini saya baca ternyata Ganjar baru saja melakukan roadshow, nggak main-main. Dari Bali, kemudian ke Makasar, kemudian ke Sulawesi Barat, Mamuju. 

Kan kita ingat dulu dia termasuk yang sudah diingatkan oleh PDIP untuk agar selalu berkoordinasi dengan PDIP kalu mau keliling-keliling ke luar daerah. Kita sebutnya dulu sebagai tahanan kota gitu. 

Apakah ini kaitannya dengan pertemuan Pak Jokowi dengan Ibu Mega kemarin, yang kemudian Pak Jokowi menyatakan bahwa belum ada calonnya di PDIP gitu?

Itu juga efek dari Pak Jokowi mengucapkan gak ada calonnya atau belum ada calonnya di PDIP. Itu berarti bahwa bagi Ganjar ya dia nggak akan dicalonkan oleh PDIP, maka dia berupaya untuk mencari konstituen sendiri. Itu reaksi Ganjar saja.

Kan Ganjar enggak mungkin menunggu dicalonkan oleh PDIP sementara secara pribadi dia merasa dukungan dia itu berlanjut terus. Dan Anies juga berlanjut terus. Jadi, sebetulnya itu hal yang normal bagi Ganjar untuk memilih jalannya sendiri.

Dan kita dukung Ganjar beredar ke mana-mana, karena bagi kita itu urusan PDIP ya urusan dialah. Tetapi kita mau lihat ada figur yang akan bertanding nanti, jangan sampai Anies nggak ada penanding sebetulnya kan. Begitu ceritanya. Kalau dibilang nggak etis, itu urusan PDIP.

Etis nggak etis yang penting menjelang tahun pemilu sudah ada seseorang yang menyatakan diri ingin maju dalam pilpres. Anies Baswedan dengan tegas mengatakan ingin maju. Ini lepas dari soal tukar tambah koalisi ya. Tapi kan kita mau lihat keberanian orang untuk tampil. Kalau ada 0% saya juga mau tampil.

Kalau kita lihat ini kelihatannya memang pasca pencalonan Anies, kemudian tensi politik menjadi naik. Golkar, meskipun dibantah oleh Agung Laksono bahwa Pak Akbar Tanjung dia tegak lurus dengan Airlangga Hartarto, tapi berbagai sumber internal di Golkar menyebutkan yang memang terjadi perpecahan itu.

Jadi polarisasi mereka juga mereka realistislah Ganjar. Sorry, maksud saya Airlangga Hartarto ini secara elektabilitas enggak mungkin juga dihadapkan dengan kandidat-kandidat yang lain.

Kemudian PDIP juga masih terus baper, terus menyerang Nasdem, dan juga menyerang Anies. Dan yang enggak sehat ini soal politik identitas lagi yang dibawa-bawa. Kan yang kita mau jangan ngomongin politik identitas, ngomongin soal kinerja saja deh.

Ya, Golkar gamang karena jelas secara organisasi, hak untuk mencalonkan Presiden itu akan tiba pada ketua partainya tuh. Tapi, Golkar tahu juga ya bagaimana, Golkar itu nggak bertumbuh elektabilitasnya kan. Dia musti koalisi itu.

Dan saya lihat Golkar itu partai yang modern sebetulnya dan punya standar kepemimpinan. Kalau enggak bisa dia enggak akan paksa. Itu sebetulnya lebih baik ya lakukan itu, ucapkan itu, walaupun coba-coba masih ada tuh. Tapi kan ini masih 3 semester ke depan.

Kan kita enggak tahu siapa yang kena sprindik duluan kan di antara ketua-ketua partai ini. Sudahlah, itu biarin saja karena Pak Airlangga juga punya dimensi lain untuk mengukur kapasitasnya tuh. Mungkin ada pembicaraan dengan Pak SBY atau macam-macam lah.

Tapi itu kita nggak peduli sebetulnya. Yang kita peduli adalah medan politik yang harusnya sama itu. Nah, kalau Ibu Mega misalnya kasak-kusuk dengan Pak Jokowi, itu artinya benar, PDIP enggak ada kader. Kalau ada kader kan mau diangkat Jokowi kek atau mau didukung Jokowi, bilang saja kan, kami ingin mencalonkan Ibu Puan tuh.

Tapi Ibu Puan kan kurang. Ya enggak ada soal, yang penting kami punya tiket. Ngototnya begitu saja kan. Kalau enggak, terlihat PDIP itu nyari pinjaman elektabilitas dari Jokowi akhirnya tuh. 

Padahal Jokowi lagi berpikir ya dia sendiri mampu untuk menuntun Ganjar masuk di dalam pertandingan dengan Puan pada akhirnya. Jadi kira-kira begitu. Walaupun mungkin semacam pragmatisme PDIP akan jatuh ke Ganjar juga, tapi itu juga tidak etis karena Ganjar udah dinyatakan sebagai tahanan, tapi Ganjar masih beredar sendiri.

Jadi Ganjar tahu bahwa dia sekarang, bukan dia ditawan oleh PDIP, tapi  PDIP ditawan oleh dia. Jadi, satu waktu dalam logika pencarian konstituen, kalau Ganjar misalnya sudah melampaui Anies maka masuk akal kalau Ganjar akhirnya merasa dipinang kembali oleh PDIP kan.

Nah, itu memalukan nanti. Bahwa Ganjar sebetulnya merasa bahwa ya sudah, nggak perlu lagi, karena saya sudah bisa sendirian. Cuma, sialnya Ganjar enggak punya partai kalau dia sendirian. Jadi tetap bagi Ganjar, itu bagus buat Ganjar untuk tetap roadshow untuk tunjukkan bahwa di luar PDIP nama dia itu masih kuat. Sama seperti Anies.

Anies juga belum ada partai pendukung yang fiks, baru Nasdem. Dna Nasdem kan cuman merdekarasikan, bukan akan mengongkosi Anies. Anies disuruh cari uang sendiri juga. Itu taktik Nasdem saya kira begitu, untuk menaikkan elektabilitas Nasdem dipasang Anies.

Tapi untuk Anies jadi presiden, kapasitas Anies itu harus didampingi dengan orang lain yang belum selesai itu siapa wapresnya. Dan itu terhubung dengan cara mencari uang untuk membiayai kampanye kan. Jadi kalau Anies sendiri ya pasti nggak nyampe tuh. Anies tergantung pada wakil presiden, calon wakil presidennya, yang juga punya jaringan untuk mengumpulkan dana Pemilu.

Nah, ini menarik ya ketika Anda menyinggung soal dana Pemilu. Kan kita tahu bahwa selama ini biaya politik yang mahal itu membuat para politisi ini, para kandidat ini, terjebak kepentingan oligarki.

Karena, mau nggak mau, ketika mereka bicara soal Pemilu, itu bicara duat duit dan duit itu larinya pasti oligarki. Tetapi, apakah Anda tidak melihat potensi itu sekarang, yang kita sebut sebagai potensi volunternya dari masyarakat untuk katakanlah dulu dalam skala kecil juga pernah dilakukan pada zaman Pak Prabowo dengan Sandi, sumbangan sumbangan. Mungkin enggak kalau Anda lihat dari Anda keliling-keliling ke daerah-daerah ini Bung Rocky. 

Walau Anies relawannya itu lebih otonom tuh. Nggak tergantung pada dana pusat. Saya perhatikan bahwa orang membentuk relawan dan langsung mengumpulkan uang atau materi untuk bikin model kampanye.

Jadi, Anies relatif lebih independen dalam soal relawannya tuh, tetapi di ujungnya tetap diperlukan misalnya dana untuk saksi itu. Dana yang dipersiapkan untuk hari-hari terakhir. Dan itu sangat rentan.

Kan dana itu pasti habis di ujung Pemilu kan dan itu yang diintai oleh oligarki untuk disulap supaya berpindah kan nantinya di ujung. Kalau sekarang euforia pada Anies relatif nggak memerlukan dana karena semua orang datang ke situ untuk bikin deklarasi. Kan itu nggak mahal.

Tapi, begitu mulai tahun pemilu yang kampanye beneran itu mobilisasi itu diperlukan. Diperlukan mobil, fasilitas kampanye, segala macam karena Anies mungkin akan kewalahan. Kalau dia konsisten, dia akan kewalahan.

Kalau dia pragmatis, dia akan cari investor. Dan investor itu pasti cuman 2-3 orang yang juga menginvestasi pada caleg yang lain. Itu mudah sekali kita baca bahwa Anies akan ada kesulitan untuk mencari investor. Supaya dia bisa, ya pasti investor itu balik lagi pada oligarki. (sof/sws)

630

Related Post