Potensi Merugikan Keuangan Negara, DPR dan Aparat Hukum Wajib Investigasi “Cost Overrun” Kereta Cepat

Konstruksi Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

Semoga cost overrun ditanggapi serius oleh semua pihak, jangan sampai menjadi modus, tanpa pengawasan dan investigasi yang memadai dari pihak yang berwenang.

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

BIAYA Kereta Cepat Jakarta Bandung membengkak, cost overrun, sekitar 1,9 miliar dolar AS atau sekitar Rp28,5 triliun (kurs Rp15.000 per dolar AS). Ini sebuah jumlah yang sangat besar, mencapai lebih dari 30 persen nilai proyek. Sangat tidak masuk akal.

Mungkin itu juga yang dipikirkan oleh China. Tidak masuk akal. Maka itu, China tidak mau menanggung cost overrun ini. China minta pihak Indonesia yang menanggung. Sangat aneh. Karena ini proyek patungan (joint venture) antara BUMN Indonesia dengan BUMN China, yang seharusnya semua biaya ditanggung oleh perusahaan patungan tersebut: PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).

Tetapi, anehnya, mengapa China minta pihak Indonesia yang menanggung? Apakah China mencium aroma kurang sedap atas cost overrun ini, sehingga tidak mau menanggungnya?

Yang lebih aneh lagi, bahwa Indonesia menyatakan akan mempertimbangkan permintaan China, seperti dijelaskan oleh Sekretaris Kemenko Perekonomian yang dimuat oleh CNN Indonesia.

Menurut CNN Indonesia, pemerintah sedang mengkaji permintaan China untuk bantu biaya bengkak kereta cepat. Apa maksudnya “bantu”? Apakah membenarkan penciuman China, bahwa ada aroma tidak sedap terkait cost overrun ini. Apakah Indonesia tidak bisa mempertanggungjawabkannya, sehingga memilih “membantu”, yang artinya menanggung, cost overrun ini?

Pemerintah Indonesia seharusnya tidak patut memberi pernyataan seperti itu, pemerintah tidak boleh mempertimbangkan menanggung cost overrun, dengan alasan apapun. Pernyataan seperti ini saja sudah mengindikasikan akan ada potensi besar kerugian negara: Tipikor (Tindak Pidana Korupsi).

Sebab, menurut UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pemerintah tidak boleh membantu perusahaan atau lembaga asing. Dalam hal ini, yakni: perusahaan patungan PT KCIC.

Karena itu, pernyataan Sekretaris Kemenko Perekonomian sangat tidak wajar. DPR dan lembaga penegak hukum seperti: Kepolisian, Kejaksaan dan KPK, seharusnya langsung mengambil tindakan cepat, karena pernyataan tersebut berpotensi besar merugikan keuangan negara.

DPR harus segera melakukan investigasi, termasuk membentuk Panitia Khusus (Pansus), untuk mendapatkan informasi cost overrun sejelas-jelasnya, sehingga dapat menentukan penyebabnya, dan siapa yang harus bertanggung jawab.

Jadi, lembaga penegak hukum seharusnya dapat segera menyelidiki, bahkan menyidik, apakah cost overrun ini terbukti merugikan keuangan negara.

Salah satu alasan bahwa cost overrun disebabkan oleh biaya pembebasan lahan yang membengkak sangat tidak masuk akal mengingat progress pembebasan lahan sudah mencapai 99 persen sekitar pertengahan 2019.

Pembengkakan biaya proyek bukan terjadi kali ini saja. Sebelumnya, biaya proyek Tol Cilincing-Cibitung juga membengkak dari Rp4,2 triliun menjadi Rp10,8 triliun, membengkak Rp6,6 triliun atau sekitar 157 persen.

Luar biasa, bukan? Pembengkakan biaya proyek tersebut membuat biaya pembangunan tol sepanjang 34 km ini menjadi salah satu yang termahal (di dunia), dengan biaya pembangunan sekitar Rp317,6 miliar atau 21 juta dolar AS per km.

Semoga cost overrun ditanggapi serius oleh semua pihak, jangan sampai menjadi modus, tanpa pengawasan dan investigasi yang memadai dari pihak yang berwenang.

Semoga DPR dan lembaga penegak hukum segera terbangun dari hibernasi (tidur) berkepanjangan. Lumpuhnya DPR dan lembaga penegak hukum sangat merugikan seluruh rakyat Indonesia, dan membawa konsekuensi sangat serius bagi masa depan bangsa.

Kalau modus seperti ini berlanjut terus, bukan tidak mungkin buku novel fiksi Ghost Fleet menjadi kenyataan. Maka itu, rakyat Indonesia menuntut DPR segera membentuk tim investigasi, Pansus Kereta Cepat.

Selamatkan Indonesia! (*) 

490

Related Post