Pro Kontra Khilafah

Oleh Muhammad Chirzin - Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta 

Di era kebangkrutan praktik demokrasi, bagaimana tanggapan umat Islam tentang tawaran sistem Islam khilafah? 

Sebagian menerima, dengan berbagai segmentasinya, dan sebagian yang lain menolak, dengan berbagai argumentasinya.

Islam cocok untuk setiap ruang dan waktu, iya, tapi perlu deskripsi tebal atas hal itu.

Al-Quran dan Hadis Nabi mengandung pesan-pesan temporal-lokal, dan pesan-pesan universal; ada pesan-pesan yang tetap (tsawabit) dan ada pula pesan-pesan yang berubah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi (mutaghayyirat).

Nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebaikan, persatuan, musyawarah, tolong-menolong, dan jihad termasuk nilai-nilai tsawabit.

Sistem pemerintahan dengan cara memilih/menentukan pemimpin, cara mengatur wilayah, cara mengelola harta dan lain-lain termasuk nilai-nilai mutaghayyirat. Contohnya dalam praktik: tatacara penetapan empat khalifah utama (khulafa rasyidin) itu berubah/berbeda-beda, dan mereka semua kita terima sebagaimana adanya.

Khilafah Bani Umayah menerapkan pemerintahan Islam dengan sistem dinasti (keturunan, kingdom), bagitu pula dinasti Abbasiyah. Keduanya tidak sama dengan cara menetapkan keempat khulafa rasyidin.

Istilah Khilafah Usmaniyah saja sudah mencerminkan unsur dinasti, pewarisan kekuasaan atas dasar keturunan.

Di era sekarang, adakah Negara Islam yang mempresentasikan sistem khilafah 100% dalam penyelenggaraan pemerintahannya?

Jika tidak ada, dapatkan diwujudkan di masa yang akan datang sebuah pemerintahan suatu negara dengan 100% sistem khilafah?

Sistem khilafah mengandaikan pemerintahan Islam sedunia di bawah satu komando. 

Dalam sebuah diskusi kecil penulis ajukan pertanyaan kepada pendukung khilafah, "Apakah negara-negara Islam yang telah ada saat ini dapat dipandang sebagai embrio khilafah Islam sedunia?" Jawabnya ringkas,  "Tidak."

Lalu, dari mana khilafah Islam sedunia dimulai, siapa yang harus memulai, dan bagaimana caranya?

Fakta empris: umat Islam Indonesia terbagi dalam sekian banyak organisasi massa dan politik. 

Kapan umat Islam Indonesia bisa bersatu di bawah satu bendera khilafah, atau berada dalam satu partai Islam saja?

Khilafah Islamiyah sedunia di masa kini adalah utopis, dan Nabi Muhammad saw pun tidak mewariskan sebuah sistem pemerintahan tertentu, kecuali warisan nilai-nilai dan prinsip-prinsip universal kepemimpinan, yang prinsip utamanya adalah musyawarah dan keadilan. 

Salah seorang sahabat mengunggah tulisan tanya-jawab di grup WA: Hukum Mengingkari dan Menentang Khilafah berikut oleh KH Hafidz Abdurrahman, Khadim Ma’had Syaraful Haramain.

Bagaimana status hukum orang yang mengingkari dan menentang kewajiban untuk menegakkan Khilafah?

Untuk mengetahui bagaimana hukum orang yang mengingkari atau menentang kewajiban menegakkan khilafah, maka bisa dikembalikan pada tiga aspek: Pertama, dalil tentang kewajiban menegakkan khilafah; Kedua, hukum menegakkan khilafah; Ketiga, status orang yang meninggalkan dan mengingkari kewajiban tersebut.

PERTAMA, yang digunakan oleh para ulama’ untuk membuktikan bahwa hukum menegakkan khilafah adalah wajib dapat dikembalikan pada tiga hal:

Pertama, Ijmak Sahabat yang secara sharih menyepakati wajibnya mengangkat pengganti Nabi untuk mengurusi urusan dunia dan agama ini. Ini terlihat dalam dua hal, yakni, pertama, Khutbah Abu Bakar saat wafatnya Rasul saw. yang menyatakan,

“Ingat, bahwa Muhammad saw telah meninggal, sementara urusan agama ini tetap harus ada yang menjalankan.”

Maka, semua yang hadir pun segera menerima khutbah tersebut, dan tak seorang pun menolaknya.[1] 

Setelah itu, mereka pun mulai berpikir, siapa yang akan diangkat menjadi khalifah.[2] 

Kedua, pengangkatan para sahabat terhadap Abu Bakar as-Shiddiq sebagai khalifah di Saqifah Bani Sa’adah, yang kemudian diikuti oleh bai’at kaum Muslim di Masjid Nabawi.[3]

Kedua, nas-nas al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk menjalankan sanksi hukum, seperti potong tangan,[4] cambuk untuk pezina,[5] termasuk rajam dan qishash,[6] menyiapkan pasukan untuk berjihad[7] dan sebagainya, yang kesemuanya itu hanya bisa diwujudkan jika ada khalifah yang menjalankan hukum-hukum tersebut.

Maka, hukum mengangkat khalifah dan mendirikan khilafah sama dengan hukum menerapkan potong tangan, cambuk, rajam, qishash dan menyiapkan pasukan di atas.

Dalam hal ini, selain berlaku kaidah ushul, “Ma la yatimmu al-wajib illa bihi, fahuwa wajib.” juga berlaku dalalah iltizam, yang statusnya sama dengan manthuq-nya.

Ketiga, nas-nas hadits yang memerintahkan untuk membai’at khalifah,[8] dan mencela orang yang tidak membai’at khalifah[9] atau melepaskannya.

Semua ulama’ Ahlussunnah, Syi’ah, Khawarij —kecuali sekte an-Najadat— dan Muktazilah —kecuali sekte al-Asham dan al-Fuwathi— sepakat, bahwa adanya imam dan imamah adalah wajib.

Pandangan ini bisa kita temukan, misalnya, dalam kitab Ghayat al-Maram, karya al-Amidi (1971: 364), as-Siyasah as-Syar’iyyah, karya Ibn Taimiyah (1955: 161-162), dan Ma’atsir al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah, karya al-Qalqasyandi (1964: I: 2), dan kitab muktabar yang lainnya.

Bahkan, Ibn ‘Abidin menyebutnya sebagai ahamm al-wajibat (kewajiban yang paling penting), dan as-Syathibi menyatakannya sebagai hukum yang ditetapkan berdasarkan kaidah syariah yang qath’i.

KEDUA, mengenai hukum menegakkan khilafah, para ulama’ tidak ada ikhtilaf mengenai status kefarduannya. Dalam hal ini adalah fardu kifayah, yang oleh as-Syathibi didefinisikan sebagai fardu yang ditujukan kepada semua orang, namun jika telah dilakukan oleh sebagian, maka fardu tersebut telah gugur dari yang lain.

Namun, as-Syathibi juga menegaskan, bahwa dari statusnya sebagai hukum yang terkait dengan orang maupun hukum lain, maka fardu kifayah tersebut harus diberlakukan secara umum kepada semua orang mukallaf, supaya kondisi umum —yang menyempurnakan orang maupun hukum secara khusus (maksudnya fardu ‘ain)— bisa tetap tegak.

Bagian (fardu kifayah) ini, lanjut as-Syathibi, sesungguhnya menyempurnakan bagian yang pertama (fardu ‘ain), sehingga statusnya sama-sama dharuri (vital). Sebab, fardu ‘ain tidak bisa dijalankan, kecuali dengan dijalankannya fardu kifayah.

Beliau juga menegaskan, bahwa fardu kifayah itu umumnya disyariatkan untuk kemaslahatan umum —yang beliau contohkan seperti hukum khilafah, wizarah (pembantu khalifah), niqabah (perwakilan para pemuka dalam majlis ummah), qadha’ (peradilan), imamah shalah (kepemimpinan shalat), jihad, pendidikan dan sebagainya— jika diasumsikan tidak ada, atau orang meninggalkannya, maka sistem kehidupan manusia akan menjadi berantakan.

Karena itu, beliau menegaskan, bahwa pada dasarnya semua mukallaf tetap dituntut agar fardu tersebut bisa ditunaikan. Sebagian ada yang mampu (mu’ahhil), sehingga dia berkewajiban menunaikannya secara langsung. Namun, bagi sebagian yang lain (ghair mu’ahhil), sekalipun tidak bisa menunaikannya secara langsung, mereka tetap berkewajiban untuk menghadirkan orang-orang yang mampu. Jadi, yang mampu dituntut menegakkan kewajiban tersebut secara langsung, sedangkan yang tidak mampu dituntut menghadirkan orang yang mampu.

KETIGA, adapun status orang yang meninggalkan kewajiban menegakkan khilafah dan mengingkarinya dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, sebagai hukum syariat, adanya khilafah ini telah dinyatakan oleh para ulama’ sebagai perkara dharuri (vital) dalam Islam. Karena itu, sebagian ulama’ seperti Ibn ‘Abidin, berdasarkan kitab Syarh al-Maniyyah, menyebut orang yang mengingkari kefarduan adanya khilafah tersebut sebagai Mubtadi’ Yukaffaru biha (ahli bid’ah yang bid’ahnya menyebabkan dirinya Kafir), dengan catatan jika tidak ada syubhat.

Namun, sebagian yang lain, karena bersikap ikhtiyath (lebih hati-hati), tidak mau mengkafirkannya, sekalipun hukum tersebut dibangun berdasarkan Ijmak Sahabat. Alasannya, karena masih ada isykalat (berbagai kemungkinan). Namun, substansinya tetap, bahwa pengingkaran terhadap hukum adanya khilafah dan kewajiban menegakkannya merupakan bid’ah, yang tidak pernah dilakukan oleh ulama’ Ahlussunnah maupun yang lain, kecuali sekte ahli bid’ah, seperti Khawarij (an-Najadat) dan Muktazilah (al-Asham dan al-Fuwathi).

Kedua, adapun hukum meninggalkan kewajiban untuk menegakkannya, para ulama’ sepakat bahwa hukumnya haram, dan orang yang meninggalkannya berdosa, dan wajib dikenai sanksi.

Namun tetap harus dibedakan, bahwa ada orang yang tidak melakukan kewajiban tersebut karena menolak bahwa hukum mengadakan atau mendirikannya adalah wajib, dengan orang yang tidak menolak hukum tersebut, namun tidak mengetahui bagaimana cara mendirikannya.

Bagi orang yang tidak melakukan, karena menolak bahwa kewajiban tersebut hukumnya tidak wajib, maka orang tersebut selain berdosa, juga masuk dalam kategori ahli bid’ah. Tetapi, bagi orang yang tidak melakukannya, karena tidak mengetahui tata caranya, dan pada saat yang sama dia mengakui bahwa hukum menegakannya adalah wajib, bisa dipilah menjadi dua: orang awam dan ulama’.

Bagi orang awam, kesalahannya itu bisa di-ma’fu (diampuni), karena tatacara tersebut memang belum pernah dirumuskan oleh para ulama’ sebelumnya, dan untuk itu diperlukan ijtihad baru, sementara dia bukan ulama’ apalagi mujtahid.

Bagi orang awam, masalah bagaimana tatacara melakukan kewajiban tersebut tentu merupakan perkara yang ghair ma’ruf, karena itu mereka mendapatkan ampunan. Namun, ini berbeda dengan ulama’ yang mempunyai cukup ilmu untuk melakukan ijtihad, tetapi dia tidak melakukannya. Maka, dia tetap berdosa karena tidak melakukan kewajiban tersebut, dan juga berdosa karena tidak melakukan fardu kifayah yang menjadi kewajibannya, yaitu menggali atau merumuskan hukum tatacara untuk melakukan kewajiban tersebut. Wallahu a’lam.

[1] Ibn ‘Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, ed. As-Syaikh ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Maujud dan as-Syaikh ‘Ali Muhammad Mufawwadh, Maktabah Dar al-Baz, Makkah, cet. I, 1994, juz II, hal. 278.

[2] Ibn ‘Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, ed. As-Syaikh ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Maujud dan as-Syaikh ‘Ali Muhammad Mufawwadh, Maktabah Dar al-Baz, Makkah, cet. I, 1994, juz II, hal. 278.

[3] Ibn Qutaibah ad-Dainuri, al-Imamah wa as-Siyasah, Maktabah Musthafa al-Babi al-Halabi, Mesir, cet. terakhir, 1969, juz I, hal. 9.

[4] Q.s. al-Maidah [05]: 38.

[5] Q.s. an-Nur [24]: 02.

[6] Q.s. al-Baqarah [02]: 178.

[7] Q.s. al-Anfal [08]: 60.

[8] al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, no. hadits 3196; Muslim, Shahih Muslim, no. hadits 3372.

[9] Muslim, Shahih Muslim.

Penulis pun mengajukan pertanyaan: Bagaimana pandangan Muhammadiyah tentang penegakan KHILAFAH jaman sekarang?

Salah seorang anggota grup WA menanggapinya dengan mengunggah 

Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup (MKCH) Muhammadiyah berikut.

Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al Quran dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridloi Allah, untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.

Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi.

Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: a) Al Quran, kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW; b) Sunnah Rasul, penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.

Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang yaitu: a) Aqidah; b) Akhlak; c) Ibadah; d) Muamalah Duniawiyah.

Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu Negara yang adil dan makmur dan diridloi Allah, “Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur.” (Keputusan Tanwir Tahun 1969 di Ponorogo).

Rumusan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup disempurnakan oleh PP Muhammadiyah, atas kuasa Tanwir 1970 di Yogyakarta dan disesuaikan dengan keputusan Muktamar ke-41 di Surakarta. 

Lima angka tersebut dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, angka 1 dan 2, mengandung pokok-pokok persoalam yang bersifat ideologis. Kedua, angka 3 dan 4, mengandung persoalan mengenai paham agama menurut Muhammadiyah. Ketiga, angka 5, mengandung persoalan mengenai fungsi dan misi Muhammadiyah dalam Negara Republik Indonesia.

Hidup berasas Islam ini berimplikasi pada kesadaran cita-cita hidup yang ingin dicapai, berupa terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat yang baik dan diridhai Allah. Muhammadiyah menyadari kewajibannya, berjuang dan mengajak segenap lapisan bangsa melalui jalur kultural untuk mengatur dan membangun tanah air dan Negara Indonesia. (Muhammad Ridha)

Pertanyaan penulis:

Mana ayat al-Quran yang mewajibkan umat Islam menerapkan sistem pemerintahan berbentuk khilafah?

Apakah sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayah,  Abasiyah, dan Usmaniyah sama dan sebangun dengan khilafah yang diterapkan pada masa khulafa rasyidin?

Apakah perintah potong tangan bagi pencuri dalam Al-Quran itu sebagai tujuan ataukah sarana untuk mewujudkan syariat Allah swt?

Apakah menerapkan sistem khilafah termasuk syarat terlaksananya ketaatan muslim kepada Allah swt dan Rasul-Nya?

Apakah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 bertentangan dengan syariat Islam?

Jawabnya: 

1. Tidak ada. 

2. Dalam pengangkatan Kepemimpinan terjadi keragaman. 

3. Sebagai sarana untuk mewujudkan syariat Allah swt. 

4. Salah satunya, karena sesuai dengan pendapat Al- Ghazali, "Kekuasaan itu penting demi keteraturan agama dan dunia. Keteraturan dunia penting demi keteraturan agama. Keteraturan agama penting demi keberhasilan mencapai kebahagiaan akhirat." Adapun bentuknya, tidak harus Khilafah untuk mencapai hal tersebut. 

5. Pancasila dan UUD 1945 tidak bertentangan dengan syariat Islam. Untuk UUD setelah amandemen perlu dievaluasi lagi, apakah batang tubuh UUD tersebut bertentangan dengan Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 asli atau tidak.

Setuju, khilafah adalah "salah satu" dan bukan "satu-satunya" sarana untuk mewujudkan syariat Allah.

Amandemen UUD 1945 empat kali dari tahun 1999 sampai dengan 2002 telah kebablasan. Solusinya: Kembali ke UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 dengan adendum.

Jadi, Negara berbentuk Kerajaan, Yes. Negara berbentuk Republik, Oke. (*)

540

Related Post