Rocky Gerung: People Power Itu Bukan Orang Berkerumun Menjatuhkan Kekuasaan
Jakarta, FNN - People power itu bukan orang berkerumun untuk menjatuhkan kekuasaan, tapi ada ide untuk menghasilkan kepemimpinan baru, ada ide untuk menghasilkan keadilan baru, yang sekarang keadilan itu transaksi blackmarket saja, black market of justice. Dan kepolisian itu selalu disorot dalam kerangka itu, ada black market di situ. Jadi bersihkan itu supaya betul-betul tokoh-tokoh yang muda sekarang atau ada generasi pemimpin baru di kepolisian, lepas dari stigma black market of justice.
Demikian paparan pengamat politik Rocky Gerung kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Ahad, 14 Agustus 2022.
Rocky juga menegaskan bahwa sejarah itu kadangkala tiba berdasarkan formulasi-formulasi yang tidak terduga.
“Sekarang kita dapat satu momentum untuk betul-betul yang disebut sebagai polisi itu adalah pelayan publik, pelayan masyarakat, dan harus diterangkan bahwa polisi itu adalah sipil yang dipersenjatai," paparnya.
Publik sekarang bahkan keinginan untuk cepat-cepat melihat hasil reformasi kepolisian itu yang harus didahulukan daripada putar-putar soal Sambo yang memang sudah ada proses hukumnya.
“Jadi opini yang digiring ke satu isu dan isu itu betul-betul masuk dalam batin publik itu enggak mungkin dicegah,' tegasnya.
Berikut wawancara lengkapnya:
Hersu: Oke, walaupun akhir pekan termyata kita tetap membahas topik Ferdy Sambo dan istrinya yang makin seru. Tapi, kita tidak akan masuk ke detil persoalan kriminalnya atau pidananya, tetapi impact-nya. Nah, ini saya membaca KNPI katanya berencana akan mengajukan gugatan judicial review Undang-undang Kepolisian karena mereka melihat bahwa ini dampak dari undang-undang kepolisian yang begitu powerful. Kira-kira begitu. Dan ini juga ada teman kita yang menulis sebuah artikel Gede Sriana. Dia mengingatkan publik bahwa ternyata kalau publik bersatu, tidak terpecah dalam kelompok kadrun dan cebong, agenda-agenda yang lebih serius bisa selesai kita kawal, termasuk bagaimana kasus ini terbongkar karena menyatunya civil society. Saya kira ini topik yang menarik dan perlu kita dalami soal ini.
RG: Betul, akhirnya orang berdiri pada kecemasan terhadap keadaan institusi-institusi reformasi kita: kepolisian, DPR, Mahkamah Konstitusi, KPK. Jadi, betul suatu pengamatan yang bagus dari Gede Sriana bahwa ada hal yang sebetulnya bisa diucapkan ulang, yaitu reformasi seluruh institusi. Itu intinya. Hal yang bagus dimulai dari kepolisian, supaya DPR juga mereformasi cara dia berpikir, MK begitu, KPK juga begitu. Semua reputasi yang kita buat dulu di awal reformasi, itu dimaksudkan untuk membuat bangsa ini teduh secara politik, supaya bisa menghasilkan kembali pertumbuhan ekonomi. Kalau dulu Pak Harto melakukan stabilisasi dan itu artinya ada kekuatan militer di belakang proses pembangunanisme develomentalisme pada waktu. Sekarang dalam era demokrasi mustinya institusi-institusi yang berfungsi, bukan lagi stabilisasi. Pak Jokowi seringkali juga agak kacau menganggap bahwa stabilitas penting. Bukan stabilitasnya yang penting, tapi profesionalitas dari institusi-institusi itu. Ini intinya kenapa KPK bagus, dia mendorong untuk reformasi dan rakyat memang melihat bahwa ini momentum untuk ya sudahlah soal pemilu gampanglah itu. Tetapi, kalau pemilu sendiri dilakukan dan dikawal oleh institusi-institusi yang rapuh itu artinya demokrasi tidak akan tumbuh. Bayangkan misalnya kita mau pemilu satu setengah tahun lagi dan kepolisian masih berantakan semacam ini, KPK masih mudah tebang pilih, Mahkamah Konstitusi tidak paham fungsi konstitusional yang diberikan pada dia, yaitu judicial activism. Jadi kalau Pemilu dibuat 2024 nanti dalam keadaan institusi-institusi demokrasi kita rapuh, itu akan menghasilkan juga pemimpin yang juga rapuh. Itu poinnya. Jadi kalau kita berpikir secara makroskopik, kita dapat poin bahwa ini adalah momentum yang disediakan sejarah untuk mengubah kembali atau menata ulang institusi-institusi utama dari demokrasi kita.
Hersu: Nah, kan kita tahu bahwa penataan ulang dari institusi-institusi kita itu berkaitan sebenarnya power game. Ini politisi, kita teringat dulu pada masa orde baru bagaimana TNI itu ditarik ke ranah politik itu sebenarnya karena kepentingan dari politisi, dalam hal ini tentu saja Pak Harto, ada faktor yang sering disebut oleh Doktor Salim Said sebagai faktor push dan pull, faktor daya tarik dan daya dorong internal TNI (ABRI waktu) untuk terlibat dalam day to day politik. Nah sekarang polisi juga begitu. Apa yang terjadi ini kita melihat bahwa oke kepolisian juga ditarik-tarik ke ranah politik dan ini juga mainan dari para politisi gitu.
RG: Ya, itu tadi satu paket itu mereformasi kultur politik kita. Di zaman orde baru itu memang ada semangat dunia yang disebut developmentalism yang pasti menyeret tentara. Karena pada waktu itu pasca-komunisme tahun 60-an atau 70-an bahkan di tahun 70-an masih ada khmer merah segala macam sehingga ada kekhawatiran bahwa kalau tidak stabil negara-negara di Asia Tenggara itu bisa diatur pada domino efek dari komunisme di Asia Selatan. Tapi kemudian kita masuk dalam era yang betul-betul menganggap bahwa perselisihan ideologi selesai maka diperlukan reformasi. Pak Harto tentu tahu bahwa keadaan sudah berubah. Dan karena itu dia nggak paksa lagi untuk meneruskan jabatannya. Jadi memang sejarah itu kadangkala tiba berdasarkan formulasi-formulasi yang tidak terduga. Ini juga tidak terduga ada kasus Pak Sambo, lalu orang bongkar semua soal yang menyangkut kekacauan dalam institusi kepolisian. Tapi saya tahu ada banyak perwira yang betul-betul profesional, hanya mau belajar dan memahami kepolisian sebagai institusi yang membanggakan mereka. Mereka ini justru yang bisa dipromosikan. Kan nanti kita kesulitan juga kalau kita bubarkan semuanya terus siapa nantinya yang mengatasi kekacauan. Jadi mulai dari sekarang, mungkin Pak Listyo bikin semacam panitia pemantau potensi atau sebut saja reformasi jilid dua lembaga kepolisian. Nah itu memang mulai dari merevisi atau mereformasi minimal undang-undang tentang kepolisian. Tapi, setelah itu kemudian mental dari para politisi juga harus direformasi yang berupaya untuk memanfaatkan kepolisian sebagai peralatan politik. Itu buruknya. Kita masuk pada ide baru bahwa kesempatan ini justru memungkinkan perseberangan ideologi antara Kadrun dan Cebong bisa dihentikan supaya kita fokus pada penguatan institusi. Tetapi, saya masih melihat beberapa kecenderungan untuk favoritisme pada satu kelompok di dalam kepolisian dan itu beberapa potensi yang sebetulnya harus dihasilkan ulang itu kemudian tercegah oleh dari kelompok-kelompok ini, kelompok masyarakat sipil terutama, yang seolah-olah kehilangan akses pada kepolisian. Pada kita memang ingin supaya kepolisian itu tidak punya akses ke mana-mana selain yang berurusan dengan ketertiban. Jadi itu masyarakat sipil tidak boleh juga numpang pada kepolisian, apalagi masyarakat politik supaya betul-betul polisi itu tampil secara profesional. Itu pooinnya.
Hersu: Iya. Kalau kita belajar dari reformasi atau waktu itu disebutnya TNI atau ABRI, itu waktu back to basic. Itu kan juga ada faktor push dan pull. Faktor publik juga ada keinginan agar TNI tidak lagi menjadi alat kekuasaan dari penguasa dan juga tidak terlibat dalam day to day politik. Dari internal TNI kita kenal orang-orang seperti SBY, Agus Wijoyo, Agus Wirahadikusumah, dan teman-teman yang lain. Itu mereka yang terwesternisasi dan mereka melihat bahwa memang praktik-praktik dalam dunia demokrasi itu under skip in control. Dan tadi Anda melihat bahwa potensi yang sama juga ada di dalam kepolisian.
RG: Iya betul kita ingat pada waktu itu menemukan istilah back to basic saja itu supaya nggak ada back to barrak, kembali ke barak itu artinya seolah-olah tentara nggak punya fungsi lain selain pertahanan. Indonesia punya sejarah lain, yaitu tentara perjuangan, tentara rakyat. Karena itu dipilihlah kembali ke basic, bukan kembali ke barak. Kalau kembali ke barak itu betul-betul profesional tentara Amerika, tentara Barat. Jadi kita mau ingat kembali demikian juga soal kepolisian. Kepolisian itu dibentuk dalam upaya menggantikan polisi-polisi Belanda yang juga beroperasi mengintai rakyat secara polisional. Jadim betul bahwa reformasi TNI sudah berhasil dan di ujungnya masih ada semacam upaya partai politik untuk mempunyai akses pada beberapa tokoh TNI dalam pertandingan atau persaingan untuk jadi Panglima, demikian juga di kepolisian. Jadi, sekarang kita dapat satu momentum untuk betul-betul yang disebut sebagai polisi itu adalah pelayan publik, pelayan masyarakat, dan harus diterangkan bahwa polisi itu adalah sipil yang dipersenjatai. Jadi dasarnya dia adalah sipil. Bukan karena senjata maka orang takut, justru karena dia sipil orang hormati, orang hargai, maka diberi dia senjata. Kan itu dasarnya. Beda dengan tentara yang betul-betul peralatan utama dia adalah senjata. Polisi peralatan utamanya bukan senjata, tetapi bahasa. Itu bedanya. Kalau bahasa polisi sekarang mengancam atau seringkali terlihat arogan, itu juga bukan fungsi yang betul. Kita tahu bahwa beberapa sebut saja satu generasi di dalam yang berupaya untuk mengembalikan polisi pada citra yang sipil, tapi sekaligus berwibawa. Nah, kewibawaan itu yang diminta oleh publik, bukan polisi memperlengkapi senjatanya. Ada section-section khusus pada kepolisian yang memang harus kita persenjatai lengkap, tapi secara umum institusi itu institusi sipil.
Hersu: Nah, jadi ini sekarang kita dorong KNPI untuk menguji materi ke Mahkamah Konstitusi. Pertanyaannya, nanti orang skeptis lagi terhadap MK.
RG: Nah, itu bercampur semua. Kita minta Mahkamah Konstitusi untuk membuka pikirannya dan ada problem yang macam-macam, tapi justru kita lagi nggak percaya sama MK. Jadi, keadaan kita ada di dalam dilema itu. Tetapi dilema itu bisa kita atasi kalau ada kesepakatan masyarakat sipil untuk mendorong terus proses ini. Maka kalau Mahkamah Konstitusi mau keras kepala itu akan dianggap sebagai mahkamah dungu kalau nggak mau memperhatikan pikiran publik karena publik sekarang bahkan keinginan untuk cepat-cepat melihat hasil reformasi kepolisian itu yang harus didahulukan daripada putar-putar soal Sambo yang memang sudah ada proses hukumnya.
Hersu: Iya. Dan ini kita juga diingatkan betapa dahsyatnya potensi people power. Sebenarnya fenomena yang terjadi pada Ferdy Sambo ini sebetulnya fenomena people power juga.
RG: Ya, betul itu. Jadi opini yang digiring ke satu isu dan isu itu betul-betul masuk dalam batin publik itu enggak mungkin dicegah. Itu poinnya. Juga kemarin buruh. Buruh kemarin juga ada yang mengakui bahwa nggak akan terjadi ternyata Saudara Jumhur itu bisa memimpin mungkin sampai satu juta buruh karena di daerah-daerah juga ada gerakan. Jadi yang kita sebut sebagai people power itu datang dari kesepakatan batin rakyat. Dari cara ide diucapkan dalam bentuk protes, bukan menggiring manusia sebagai massa, tapi massa itu di dalamnya ada ide. Nah, people power itu bukan orang berkerumun untuk menjatuhkan kekuasaan, tapi ada ide untuk menghasilkan kepemimpinan baru, ada ide untuk menghasilkan keadilan baru, yang sekarang keadilan itu transaksi blackmarket saja, black market of justice. Dan kepolisian itu selalu disorot dalam kerangka itu, ada black market di situ. Jadi bersihkan itu supaya betul-betul tokoh-tokoh yang muda sekarang atau ada generasi pemimpin baru di kepolisian, lepas dari stigma black market of justice. (ida, sof)