Rocky Gerung: Politik Indonesia Selalu Diasuh oleh Isu-isu Dangkal Hanya untuk Menjebloskan Seseorang dalam Opini yang Buruk
PRESIDEN Joko Widodo punya alasan tersendiri, mengapa memutuskan menunjuk Heru Budi Hartono menjadi Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta. Menurutnya, pilihan itu didasarkan pada perkenalannya yang sudah terjalin lama dengan Heru.
"Saya kan sudah kenal Pak Heru lama sekali, sejak jadi (dia) Walikota di DKI, kemudian waktu memegang badan keuangan," katanya, Senin (10/10/2022).
Menurut Jokowi, rekam jejak Heru sudah teruji. Selain itu, komunikasi Heru yang kini menjabat Kepala Sekretariat Presiden dengan berbagai elemen dinilai baik.
"Saya tahu betul rekam jejak secara bekerja, kapasitas, kemampuan saya tahu semuanya dan komunikasinya sangat baik dengan siapa pun sehingga kita harapkan nanti ada percepatan, percepatan," katanya.
Adapun Heru ditetapkan sebagai Pj Gubernur DKI berdasarkan hasil Sidang Tim Penilai Akhir (TPA) yang dipimpin langsung oleh Presiden Jokowi.
Heru Budi Hartono jelas bukan sosok asing di tubuh Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Dia pernah menjabat Kepala Biro Kepala Daerah dan Kerja Sama Luar Negeri (Kabiro KDH dan KLN) serta Kepala Bagian Prasarana dan Sarana Perkotaan Kota Jakarta Utara.
Terakhir Heru menjabat Walikota Jakarta Utara semasa Jokowi masih menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Heru juga pernah mengisi jabatan di Pemprov DKI di era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dia ditunjuk menjadi Kepala Badan Pengelola Keuangan Aset Daerah (BPKAD) dan dipercaya Ahok mengurusi normalisasi Waduk Pluit.
Presiden juga menyatakan bahwa dirinya telah menyampaikan sejumlah pesan kepada Heru terkait pengembangan DKI Jakarta ke depan.
Jokowi berharap kapasitas yang dimiliki Heru dapat menunjukkan kepada masyarakat terkait perkembangan signifikan, utamanya dalam penanganan banjir dan kemacetan, yang dilakukan pemerintah DKI Jakarta.
“Kemarin sudah saya sampaikan kepada Pak Heru, utamanya persoalan utama di DKI Jakarta macet, banjir harus ada progres perkembangan yang signifikan. Dan yang ketiga hal yang berkaitan dengan tata ruang. Itu saja.”
Berikut petikan dialog antara Wartawan Senior FNN Hersubeno Arief dengan pengamat politik Rocky Gerung dalam Kanal Rocky Gerung Official, Selasa (11/10/2022).
Halo halo, Bung Rocky. Ketemu hari ini, Selasa. Hari ini di Malang rencananya akan ada unjuk rasa besar-besaran dari Aremania memprotes soal ucapan Ade Armando. Dan kemudian soal Pj Gubernur DKI Jakarta. Itu kan Anies tanggal 16 Oktober, dia akan mengakhiri masa jabatannya.
Dan itu rencananya akan dilepas secara besar-besaran oleh para relawan di Jakarta. Jadi acaranya cukup besar katanya. Jadi, itu akan dilepas dan pada Seninnya nanti pejabat baru, Gubernur Heru Budi Hartono, itu akan dilantik pada tanggal 17 Okotober.
Saya agak terkejut ketika Pak Jokowi meminta Heru Budi agar membereskan soal kemacetan dan banjir di Jakarta dalam waktu yang singkatlah, begitu. Itu update beritanya hari ini.
Iya, itu Pak Jokowi sendiri yang bilang ya nggak mungkin kalau Gubernur yang mengatasi banjir dan mau jadi presiden. Jadi, Pak Heru ini juga harus jadi presiden dulu. Hal yang buruk kita ingat selalu. Tetapi pada saat yang sama itu kan sinyal bahwa Anies nggak sukses.
Kan itu terbaliknya cara melihat persoalan. Jadi disindirlah Anies bahwa Anies nggak sukses loh, jadi jangan pilih Anies. Kira-kira begitu yang diucapkan Pak Jokowi pada publik. Tetapi, publik nggak merasa penting-penting amat karena Anies kan sudah tidak bertanggung jawab lagi tuh.
Kan publik bisa bilang, kan Anies sudah kadaluwarsa sejak beberapa minggu lalu kan, dihentikan. Jadi, jangan Anies saja dong yang disalahin, nggak bisa bikin policy kok. Ini permainan alasan saja sebetulnya.
Ya. Dan kita tahulah ada message-lah di dalamnya.
Hal yang paling mendebarkan sekarang adalah memperhatikan kasak-kusuk antara Ibu Mega dan Pak Jokowi. Itu ngapain itu pertemuan di sana, lalu Pak Jokowi menerangkan problem bahwa itu belum selesai, masih ada ya macam-macamlah. Tapi kita mau lihat sebetulnya ujungnya apa.
Kalau DKI sudah diganti Gubernur, berarti kita tunggu. Ini masih ada musim hujan satu bulan ke depan itu. Apa yang akan dilakukan? Kalau lebih buruk lagi banjirnya ya diganti lagi dong Plt-nya karena nggak mampu untuk menyelesaikan banjir atas perintah presiden.
Kita pastikan karena ini memang masuk musim hujan ya. Ini kan hujannya baru mulai deras sekarang, walaupun mestinya sejak bulan September lalu. Sekarang hujan baru besar-besarnya. Nanti Desember - Januari itu akan parah dan saya kira nanti orang tetap akan menyalahkan Anies ya kalau banjirnya masih terus berlangsung sampai Januari.
Ya, jadi nanti berubah lagi itu. Orang akan salahin, salah sendiri, harusnya Anies diperpanjang. Anies punya kemampuan. Jadi hal-hal begitu yang akan politik Indonesia selalu diasuh isu-isu dangkal hanya untuk menjebloskan seseorang dalam opini yang buruk. Itu konyolnya di situ.
Dan kita pengen itu sebenarnya berhentilah membuat narasi-narasi semacam itu karena ini yang saya kira menjelaskan mengapa kita sebagai bangsa itu enggak pernah maju, jalan di tempat. Saya kira nggak ada salahnya karena IQ kita kan rata-rata 78. Jadi kalau begitu realitasnya.
Ya, problem kita selalu dalam soal itu. Ketidakmampuan untuk melihat suatu masalah secara konsepsional, secara makro, bahkan, secara komprehensif, menyebabkan pendangkalan percakapan politik.
Nanti mungkin awal Desember Pak Heru sebagai Penjabat Gubernur bilang, itu saya tidak mungkin selesaikan kecuali saya jadi Presiden.
Jadi, nanti diskusinya soal-soal yang dangkal itu, sementara ekonomi nggak bisa dipulihkan lagi, sementara masalah-masalah mendasar bangsa ini, soal ketegangan politik, juga tidak berlanjut.
Jadi, poin-poin dasar bernegara diabaikan hanya karena berupaya untuk cari sensasi dengan kirim-kirim sinyal. Pak Jokowi jelas mengirim sinyal bahwa Anies tidak sukses, berarti yang akan sukses adalah Pak Heru, karena sudah dikasih tugas baru lagi untuk selesaikan macet, selesaikan banjir.
Kalau Pak Heru juga gagal, nanti Pak Heru akan kasih alasan lagi kenapa dia gagal. Jadi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah penyelesaian mendasar sistem pemerintahan kita. Nanti orang berpikir ya Pak Heru kan ditaruh di situ bukan karena dipilih rakyat, jadi dia pasti nggak perlu bertanggung jawab pada rakyat.
Kan dia ditunjuk oleh Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Jadi, masalah itu kembali lagi soal legitimasi. Sekian banyak pemimpin daerah tidak punya legitimasi dan itu berarti ada problem. Memang, beberapa di daerah saya tahu ada yang bermutu memang, yang mengerti soal lingkungan, yang paham soal organisasi birokrasi, tapi dia tetap tidak punya legitimasi karena tidak dipilih oleh rakyat.
Ya. Oke. Dan dalam beberapa hari ini kan kalau kita lihat ya soal penunjukan ini, kita sudah jelas ini orang Istana ini (Pak Heru) dulu orang dekatnya Ahok dan Pak Jokowi.
Kemudian ada berita terbaru juga ini Bung Rocky, kepala LKPP (lembaga yang kemarin ditinggalkan oleh Azwar Anas) yang diangkat menjadi menteri, ini sekarang diisi oleh mantan Walikota Semarang, yang habis masa jabatannya, dan dia kemudian sekarang mengisi lembaga LKPP ini, lembaga tinggi negara. Ini kader PDIP dan Ibu Megawati mengingatkan agar hati-hati di situ duitnya banyak banget gitu.
Nah, itu juga petanda “tolong simpan ya uangnya itu, jangan kasih ke siapa-siapa. Amankan uang yang banyak itu. Buat apa? Ya tentu buat sesuatulah.
Tapi kita sudah bikin dugaan buruk sebetulnya, seringkali kita anggap ya kan dia mungkin profesional di bidang itu, tapi begitu disebut ini kader PDIP lalu berubah lagi cara berpikir kita, ya mungkin karena kemarin Ibu Mega ketemu dengan Pak Jokowi maka Ibu Mega mengusulkan seseorang untuk di LKPP karena itu lahan yang basah.
Jadi, orang akhirnya curiga-mencurigai karena nggak ada pakem. Seseorang diangkat itu dalam kapasitas apa, dengan kualitas apa. Kan masalah-masalah seperti ini yang nggak pernah kita tahu.
Pak Jokowi jelas tidak punya pengetahuan yang lengkap tentang sumber daya manusia di tingkat pusat karena Pak Jokowi lingkungan pergaulannya juga sempit. Jadi, pasti Pak Jokowi juga dapat informasi saja. Tolong ini diangkat, tolong itu diangkat.
Lalu dia mulai hitung batu tuh, yang mana yang duluan tersebut yaitu yang kira-kira diangkat. Jadi, ini lagi masalah rekrutmen yang basis legitimasinya tidak ada basis kapasitas. Itu menimbulkan dugaan bahwa pejabat publik diangkat karena transaksional, bukan karena kapasitas. (Ida, sws)