Rocky Gerung: Saya Tetap Menganggap bahwa Frustrasi Publiklah yang Menyebabkan Anies Meledak sebagai Figur
AHAD, 16 Oktober 2022, menjadi hari terakhir Anies Rasyid Baswedan jadi Gubernur DKI Jakarta. Dan, Ahad itu pula, dia berpamitan tinggalkan Balai Kota Jakarta yang selama 5 tahun menjadi tempat kerjanya.
Jutaan warga Jakarta melepas Anies Baswedan untuk kemudian disambut oleh rakyat Indonesia. “Itu pertanda ada kerelaan. Itu namanya relawan,” kata pengamat politik Rocky Gerung kepada Wartawan Senior FNN Hersubeno Arief dalam Kanal Rocky Gerung Official, Ahad (16/10/2022).
“Jadi, kelihatannya Indonesia mengubah atau publik pemilih mengubah cara berpolitik. Nggak menunggu lagi serangan fajar. Jadi betul-betul Anies adalah antitesis dari pemerintahan Pak Jokowi,” lanjut Rocky Gerung.
Menurutnya, dengan cara itu, orang mengerti, semakin bisa dipastikan Anies pemenang Pemilu 2024. “Tetapi, semakin dipastikan juga Anies akan dapet rompi orange,” ungkap Rocky Gerung.
Bagaimana Rocky Gerung melihat semua ini? Lebih lengkapnya ikuti dialog Hersubeno Arief dengan Rocky Gerung.
Halo halo, apa kabar Anda semua. Hari ini, Ahad 16 Oktober 2022. Hari ini di Jakarta dan di berbagai wilayah terjadi kemeriahan karena melepas Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Saya dapat laporan di berbagai daerah.
Saya baca saja ya ini, bukannya di Jakarta, ini di Jabar, itu ada konvoi parade nelayan, di Jawa Tengah juga jalan santai di Simpang Lima, Jateng, Magelang, Jateng; di Purworejo, di Temanggung, di Wonosobo, di Surakarta, di luar Jawa Bengkulu, Sulteng, kemudian di Banyumas, ke Sulawesi Tenggara, banyak sekali.
Jadi menurut saya menarik ya, bagaimana kemudian ada seseorang yang baru melepas jabatan sebagai Gubernur tapi kemudian sambutannya luar biasa di seluruh Indonesia.
Ya, itu pertanda ada kerelaan. Itu namanya relawan. Saya juga dapat banyak banget undangan itu, dari nelayan yang mengundang para sastrawan. Jadi, kalau sekarang dianggap hari Pemilu, itu berbondong-bondong orang nyoblos Anies, itu bisa aklamasi.
Jadi, itulah kekuatan dari kesederhanaan, kesadaran relawan, relawan yang bisa deklarasi dari pinggir pantai, dari kios-kios bengkel. Jadi, kelihatannya Indonesia mengubah atau publik pemilih mengubah cara berpolitik. Nggak menunggu lagi serangan fajar.
Bayangkan kalau relawan Anies menunggu amplop, itu nggak pernah terjadi. Jadi, itu bedanya dengan peristiwa kemarin-kemarin yang proses pemilihan presiden itu penuh dengan ampop. Anies nggak pasang baliho di mana-mana tuh. Ada baliho kecil-kecil dan cuman kalimat-kalimat. Belum pasang baliho Anies sudah dimobilisasi oleh keinginan untuk mempercepat perubahan.
Jadi, betul-betul Anies adalah antitesis dari pemerintahan Pak Jokowi. Dengan cara itu, orang mengerti, semakin bisa dipastikan Anies jadi pemenang Pemilu. Tetapi semakin dipastikan juga Anies akan dapet rompi orange. Kan begitu tuh jadinya.
Tetapi, sekali lagi, konfrontasi ini konfrontasi etis, karena memang ada soal-soal yang kriminal itu pasti dipaksakan. Jadi, pikiran publik sudah sampai di situ. Apalagi kalau dianggap bahwa Anies bersalah. Oke, kalau begitu yang lain juga bersalah.
Jadi, Pemilu enggak bisa jadi karena semua calon itu juga punya komorbit sebetulnya. Apa saja orang bisa cari-cari, tapi sekali lagi, kelegaan kita bahwa Anies bisa menyelesaikan Jakarta dan ada yang menyambut dia kembali.
Nah, kita bayangkan misalnya kalau Pak Presiden Jokowi lengser pada 2024, mustinya ada yang menyambut dengan sambutan semacam ini dan sambutan itu mesti otentik, bukan sambutan yang ada panitia pusatnya. Enggak begitu tuh. Panitia pusat selalu berupaya untuk cari donor ke oligarki soalnya.
Jadi, kelihatan bahwa ada oligarki, tapi oligarki hati nurani. Itu yang membuat Anies diasuh oleh oligraki hati nurani. Itu kerelaan betul. Ini dalam minggu ini saya 3-4 kali ke daerah dan kerelaan itu betul-betul datang dari keinginan untuk melihat Indonesia yang bersih.
Ini supaya jangan terlalu dianggap bahwa kita bagian dari tim kampanye Anies Baswedan, saya usulkan dua sudut pandang dalam mendiskusikan fenomena hari ini karena fenomena ini tidak hanya di Jakarta, tapi betul-betul fenomena di seluruh Indonesia kalau kita lihat itu.
Di luar yang saya bacakan, saya juga dapat banyak WA. Saya mengusulkan dua, tapi silakan Anda kalau nanti mau melihat dengan persepsi yang berbeda. Pertama, itu bahwa sebenarnya fenomena Anies ini adalah semacam frustrasi publik terhadap situasi saat ini sehingga mereka membutuhkan sebuah figur antitesa. Publik ingin keluar dari situ.
Kedua, kita ingin mendorong bahwa ke depan harusnya politik kita ini keluar dari jeratan oligarki dan untuk keluar dari jeratan oligarki tersebut harus ada kesadaran dan kerelaan publik untuk sebagai relawan tadi.
Jadi, siapapun nanti, ke depan juga, kalau presiden yang kita inginkan kita pilih dan kita rame-rame mengusungnya. Saya usul itu Bung Rocky, silakan kalau Anda mau menambahkan.
Yang pertama memang frustasinya karena keadaan ekonomi, dan sosial segala macam, sehingga orang ambil jalan pintas saja bahwa Anies, apapun dia Anies saja tuh.
Jadi, itu yang first image, image pertama, satu persepsi pertama publik adalah kami frustrasi dengan keadaan, keadaan ekonomi, keadaan kehidupan sosial, keadaan keberagaman, segala macam. Dan, itu orang ekspresikan Anies bisa lakukan perbaikan.
Tetapi tetap kita mau bilang Anies 0% apa enggak? Anies punya potensi untuk berimpit lagi dengan oligarki apa nggak? Pasti ada impitan-impitan ke depan tuh. Tapi bagi publik ini anggap ya sudahlah nanti saja diberesin itu.
Pokoknya Anies dulu deh. Jadi, kira-kira sudah sampai di situ ya. Kenapa? Karena ketidakjujuran dalam proses pemilu kan, termasuk yang menghambat 0%. Publik tentu kalau saya ngomong di mana-mana, ya benar Pak Rocky, 0% itu penting buat Anies. Tapi buat sementara sudahlah nggak usah dibikin itu, nanti toh Anies akan ubah itu. Jadi sudah segitu persepsi publik.
Itu terkait juga dengan keterangan Pak Presiden kemarin pada polisi itu bahwa keadaan kita memasuki pemilu itu rentan atau sangat rawan, karena memang Pak Jokowi betul-betul tahu bahwa elu-elu pada Anies sudah nggak bisa lagi ditahankan sehingga itu memungkinkan terjadi krisis sosial.
Lalu Pak Jokowi perintahkan supaya jangan ragu-ragu polisi untuk menindak yang masih kira-kira sinyal politik identitas justru yang diberikan oleh Pak Jokowi kemarin.
Padahal, sebetulnya orang tahu Anies itu dipolitikidentitaskan oleh persaingan yang tidak bisa diselesaikan oleh Pak Jokowi sendiri kan. Jadi, kalau ditanya kenapa ada ketegangan sosial seperti yang dikonsentrasi Pak Jokowi kemarin, karena Pak Jokowi tak berhasil membuat perbandingan antara pemerintahan dan oposisi. Kalau oposisi jalan, nggak akan ada semacam kecurigaan bahwa oh, ini Islomofobia. Karena kita langsung tahu yang beroposisi pasti terhadap kebijakan. Yang beroposisi pasti namanya antitesis. Kan itu intinya.
Jadi, sekali lagi fenomena Anies ini betul-betul fenomena keinginan untuk melihat politik yang bersih. Bahwa Anies tetap akan kita tagih 0% itu adalah problem akademis kita supaya Pemilu itu dituntun dengan rasionalitas, bukan dengan 20% yang adalah permainan tukar tambah itu.
Jadi, tetap saya menganggap bahwa frustrasi publiklah yang menyebabkan Anies meledak sebagai figur. Itu intinya. Dan, kita mesti ingat bahwa politik Indonesia kadang kala di ujung dipasang palang untuk mencegah orang yang dielu-elukan rakyat. Tapi, rakyat pasti akan melawan. Itu susahnya tuh.
Nah, kalau rakyat melawan dengan alasan bahwa Anies itu sudah dinyatakan sebagai calon presiden rakyat, itu susah tuh. Karena tetap akan ada upaya, ini kan calon presiden rakyat mana calon presiden partai wong dia belum punya wapresnya. Dan, threshold-nya mungkin nggak bisa dicapai kalau cuma dua partai mengusung Anies.
Jadi, sekali lagi kita balik pada apa yang disebut persepsi publik yang bisa mendahului seluruh aturan Pemilu. Jadi, aturan pemilu bisa dibalik nanti karena ada tekanan publik yang besar-besar. Jadi, seperti ini sudah semi revolusi sebetulnya, sudah semi people power.
Oke, tapi kita bahwa ternyata publik tetap percaya dengan sistem demokrasi. Kan kita kemarin khawatir dengan sistem demokrasi itu. Tapi ternyata mereka tetap anggap oke ini jalan yang terbaik dan kita mesti mencari, mungkin karena persoalannya figur yang salah yang kita dukung gitu ya.
Ya, kalau dibahasakan secara terbalik, iya. Banyak juga yang frustrasi yang merasa kami salah pilih itu. Kenapa? Itu karena Pak Jokowi ternyata tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat.
Pak Jokowi lebih banyak memperhatikan proyek-proyek mercusuar. Jadi, kesadaran itu datang dari keadaan politik dan ekonomi sendiri yang memang digagas oleh Pak Jokowi. Kan sebetulnya Pak Jokowi nggak memenuhi janji, lepas dari isu ijazah segala macam, memang tidak dicapai.
Memang pencitraan tetap dilakukan Ibu Sri Mulyani, oleh menteri-menteri. Tapi, itu kan palsu. Orang tahu itu data, bukan fakta. Orang bilang datanya bagus, iya, tapi faktanya adalah kemiskinan. Data pertumbuhan meningkat, iya, tapi faktanya subsidi dicabut, macam-macam tuh.
Jadi, segala hal yang berhubungan dengan keadaan masyarakat yang real, itu dirasakan oleh para relawan Anies, itu langsung dinyatakan sebagai hak Anies untuk memperbaiki bangsa ini. Dan, itu yang saya sebut tadi, euforia yang tak tertahankan.
Ini menarik Anda bicara soal ijazah. Saya sendiri itu terheran-heran gitu ya. Ijazah ini ternyata menjadi isu yang sangat besar kalau kita amati. Dan itu bukan hanya level bawah loh. Itu level kalangan atas juga sangat mempercayai soal itu. Saya cuma heran saja, pertama sudah ada bantahan dari UGM. Jadi sudah ada otoritas resmi dan itu pun tetap di-denial oleh publik.
Kedua, kalau katakanlah misalnya memang betul itu ada ijazah palsu, terus apa pentingnya sekarang, karena kan itu sebagai syarat untuk maju pilpres dan Pak Jokowi kan nggak akan maju lagi gitu. Tapi orang tetap makan isu itu. Apa sebenarnya yang memahami situasi ini.
Jadi, kecurigaan ada di setiap sudut gang. Bahkan, kecurigaan terhadap apa benar presiden kita kemarin itu berijazah apa tidak. Padahal, sebetulnya apa pentingnya sih ijazah. Kan kalau dia sudah memimpin, selesai. Tetapi orang menuntut justru aturan yang mensyaratkan seseorang itu harus sarjana.
Jadi, bagian ini sebenarnya juga ngaco. Ngapain nuntut presiden jadi sarjana tuh. Ya bagus juga kalau dia sarjana, tapi kalau dia sarjana tapi tidak bisa berpikir, apa gunanya tuh.
Kan seringkali saya katakan ijazah itu tanda seseorang pernah belajar, bukan karena dia pernah berpikir. Itu prinsipnya dulu tuh. Nah, kalau begitu, nanti kita melihat bahwa memang ada kualifikasi tertentu, yaitu kemampuan untuk membuat desain pikiran.
Ibu Susi Pudjiastuti itu akhirnya mesti nyari-nyari ijazah SMA atau apa yang orang nggak pentinglah, ngapain. Jadi, nanti saja kalau betul-betul kekuatan rakyat menginginkan, ya sudah dianulir saja tuh ijazah. Sebaliknya, ada yang punya Profesor berderet-deret sebagai pemimpin, itu juga enggak bisa mikir. Kan itu yang terjadi. Dan, masih menunggu lagi dapat guru besar dari mana-mana.
Tetapi, balik pada pembuktian ijazah tadi, keterangan Ibu Rektor itu nggak ada gunanya. Karena palsu tidaknya ijazah itu mudah diforensik. Jadi, kan sama dengan mencari tahu ini uang palsu atau beneran. Ya bandingkan saja dengan uang benarnya. Apa? Ya semua ijazah itu sama dengan uang, ada jejak kimianya tuh.
Jadi, kertasnya palsu apa enggak? Kan kertas ijazahnya itu kan kertas yang khusus. Jadi beda. Kan saya pakai kertas yang saya punya tahun ‘50 sama kertas tahun ‘90 beda. Beda kualitasnya atau beda pabrik yang nge-print.
Printing-nya juga bisa. Itu teknologi dengan mudah bisa membedakan ini uang palsu, ini uang benar, ini ijazah palsu, ini ijazah bener. Jadi, bukan karena keterangan administrasi dari Rektor. Orang juga tahu itu bahwa Rektor bisa saja beri keterangan, tetapi pembuktian palsu tidaknya itu atas barangnya. Kan itu.
Jadi, nanti di pengadilan pasti akan dibuka, secara teknis ini palsu atau aspal (asli tapi palsu) karena kok kertasnya beda dengan kertas cetakan yang ada pada mereka yang betul-betul memperoleh ijazah.
Tapi kita mesti kasih satu sinopsis bahwa publik memang akhirnya mengintai dan mencari-cari apa yang bisa membuat Presiden Jokowi dipermalukan, kira-kira begitu kan. Tentu kita ingin supaya ya dipermalukan tapi apa ujungnya tuh. Kan tetap, presiden Jokowi mungkin bisa bilang iya memang ini ada soal, tapi saya sudah selesai jadi presiden. Itu juga apologi.
Jadi, tetap satu Indonesia itu nuntut. Nah, itu sebetulnya bagus karena Indonesia menuntut penyelesaian di pengadilan dan itu silakan berdebat di pengadilan. Saya mendorong supaya Pak Presiden juga cari arsipnya, kasih tahu saja ini ijazah saya dan silakan dideteksi pakai mungkin alat untuk memeriksa dollar palsu atau rupiah palsu, sama juga. Gampanglah secara teknis. (ida/sws)