Sapa Xi Jinping Kakak Besar, Jokowi Hidupkan Kembali Poros Jakarta – Beijing?
Jakarta, FNN - Dalam pertemuan bilateral kemarin (Rabu, 16/11) di KTT G20, Jokowi memanggil Xi Jinping, Presiden China, dengan Kakak Besar. Rupanya, di China memang ada tradisi panggilan kakak besar, kakak nomor dua, kakak nomor tiga, dan seterusnya, seperti hierarki dalam keluarga.
“Ya, dalam tradisi China itu, dalam tradisi keluarga, ada semacam etika konfusianisme yang berlaku sebenarnya di kawasan Asia karena pengaruh besar peradaban China dari 5000 tahun lalu. Tetapi, kalau dia di meja perundingan, itu kurang etis sebetulnya. Apalagi ada konteksnya, yaitu Xi Jinping sedang menjadi tokoh sentral hendak menandingi popularitas pemimpin besar MAO,” ujar Rocky Gerung dalam Kanal Youtube Rocky Gerung Official edisi Kamis, 17 November 2022.
“Jadi, sebetulnya sinyalnya adalah bahwa negara-negara di Asia ini seolah-olah hendak menghitung kedigdayaan China. Dan memang China lagi tumbuh sebagai Junior Super Power. Tetapi, kalau Pak Jokowi kasih kesan bahwa menyebutkan Kakak Besar, itu artinya ada semacam hierarki bahwa China lebih senior dan lebih perkasa dari Indonesia. Padahal, sebagai tuan rumah, ada basa-basi kebudayaan, yaitu nanti kalau ada Jinping pakai pakai batik, nanti ada orang panggil Mas Ping, Mas Jin. Itu basa-basi diplomasi,” lanjut Rocky Gerung dalam acara yang dipandu oleh Hersubeno Arif, wartawan senior FNN, itu.
Menurut Rocky Gerung, mengucapkan Kakak Besar kepada Jinping membuat orang langsung mengingat konteksnya, yaitu bahwa Jokowi sedang perlu investasi China, Jokowi perlu kasih sinyal pada Amerika bahwa tidak mungkin Indonesia blok ke Amerika, karena secara historis politik luar negeri Indonesia sebetulnya diasuh juga oleh perlindungan Amerika Serikat di kawasan. “Jadi, ini akan ada terjemahan politiknya bahwa Indonesia seolah-olah ingin mendayung di antara dua karang, tetapi karang yang sana karang besar, karang yang ini karang kecil. Jadi, seolah-olah menganggap bahwa hindari karang-karang itu dengan bahasa diplomasi. Tapi, bagi saya kesannya clear, Jokowi ingin China jangan cabut investasinya dari Indonesia atau bahkan tambahkan.” Itu juga yang terhubung dengan diplomasi IKN di mana Jokowi langsung bilang silakan berinvestasi di IKN karena IKN bahkan akan jadi tuan rumah olimpiade dan macam-macam, hal yang di luar kemampuan kita untuk membayangkan untuk 2036.
Menurut Rocky Gerung, menyebut Kakak Besar itu ada hal yang sublim, sekaligus sensitif. Tetapi, Rocky tidak tahu tujuan Jokowi panggil Kakak Besar, selain jualan IKN. Yang sekarang sedang sensitivitasnya sedang naik adalah menganggap Jokowi tidak peduli rakyat kecil, dia peduli Kakak Besar. Sementara itu, tradisi kita selalu menganggap bahwa kekuasaan ekonomi China terlalu besar. Sebetulnya, kita tidak ingin hal itu dieksploitasi, tetapi kepekaan kita untuk bergaul di dalam tatanan internasional, juga mesti diajarkan di dalam Kabinet Jokowi. Kan Joe Biden, Presiden Amerika, juga pulang dengan anggapan bahwa Indonesia mengelu-elukan China. Ini permainan diplomasi yang agak kacau, agak konyol. Kalau sekedar mau beritahu bahwa Indonesia butuh China untuk melanjutkan investasi di kereta cepat atau tambahan investasi buat IKN, jangan lakukan di forum, di mana aspek politiknya sangat tinggi. Ya, B to B atau G to G mungkin tidak apa-apa. Ini kan forum multilateral, di mana negara-negara barat yang sedang berupaya untuk mengkontain, menghalangi ekspansi China di bidang infrastruktur, karena negara Barat sudah membuat bantuan infrastruktur untuk menandingi China, ungkap Rocky panjang lebar.
“Jadi, sekali lagi, di dalam sifat dunia sekarang yang polarisasinya antara China - Rusia versus Amerika, itu menimbulkan analisis yang agak skeptis bagi Indonesia. Jadi, para analis akan skeptis bahwa Indonesia bisa betul-betul menjadi pendamai dan publik internasional menganggap Indonesia akhirnya nggak bisa lepas dari proksi China. Mungkin hari-hari ini CIA atau Pentagon mulai menganalisis posisi-posisi strategis yang harus dia tempatkan di kawasan Indonesia, kalau betul-betul terjadi eskalasi di China Selatan maupun di Indo Pasifik.”
Bagi Jokowi, lanjut Rocky menyebut Xi Jinping sebagai Kakak Besar mungkin no problem. Tetapi, kalau hal ini kemudian membawa negara Indonesia menjadi subordinat dari dari China, itu sangat berbahaya. “Itu intinya. Karena hari ini orang melihat Jinping sebagai Jinping yang sedang mabuk kekuasaan, karena dia merasa bahwa dia akan menjadi pemimpin seumur hidup. Sekarang Jinping kan juga menguasai tentara, di mana dulu tentara ada faksi lain. Sekarang Jinping menaruh orang-orangnya di tingkat wilayah, semacam gubernur militer yang ada orang-orangnya dia. Itu membuat cemas bahwa Jinping betul-betul akan jadi sangat otoriter, karena dia kuasai partai, dia kuasai juga militer. Jadi, ini bahayanya kalau Presiden Jokowi menyebut Kakak Besar. Itu artinya, mengelu-elukan Jinping sebagai seorang tokoh otoriter. Itu bukan pelajaran bagus buat demokrasi, apalagi di dunia Barat akan dianggap bahwa Indonesia betul-betul sudah masuk dalam jebakan China,” tegas Rocky Gerung. (sof, sws))