Soal Big Data, Masyarakat Dicekoki Istilah Seakan-akan Benar, Ilmiah, dan Canggih
Jakara, FNN – Pakar Fisika Komputasi dari Universitas Airlangga Prof. Dr. Soegianto Sulsitiono, MSi mengajak Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk duduk bersama membuka data penyokong tunda pemilu. Ajakan ini untuk menjawab keraguan masyarakat atas klaim Luhut tentang big data berisi 110 juta warganet menginginkan penundaan Pemilu 2024.
“Saya pingin lihat vektornya seperti apa? Apakah memang 110 juta itu benar-benar berada di vektor yang sama. Ini yang bagi kami, harus dibuka di publik. Jangan hanya diberi ujungnya saja, sementara dinamika yang di belakangnya publik tidak tahu,” kata Soegianto dalam perbincangan dengan wartawan FNN, Hersubeno Arif dalam kanal Hersubeno Point, Ahad (20/03/2022).
Soegianto menyarankan Luhut agar jika bicara data lebih detail, karena menyangkut akurasi dan tanggung jawab. Menurutnya, yang perlu dianalisa lebih dalam adalah parameternya. “Apa saja sih yang dijadikan pijakan untuk mengambil keputusan itu. Misalnya kita pakai twitter, facebook, dan instagram. Kalau misalnya mau mengambil 110 juta atau 200 juta, itu vektornya atau parameter yang dijadikan meaning full itu ada semua atau tidak? Definisi mereka setuju itu di mention apa, gambar apa? Variabel-variabel ini harus dicatat, menaing full-nya apa? Yang masuk ke dalam meaning full itu berapa dari 110 juta itu? Bisa jadi cuma 10.000,” katanya
Soegianto juga mempertanyakan, apakah nanti konsepnya sama dengan quick count yang diambil dari beberapa pulau lalu disimpulkan semuanya atau benar-benar big data.
“Big data itu bukan vector. Big data itu semuanya dimainkan, bukan dicuplik-cuplik, kemudian diekstrapolasi data. Jadi data sedikit dipakai untuk memprediksi semua. Jika demikian, itu konsepnya quick count dan statistik,” paparnya.
Soegianto memaparkan bahwa big data berbeda dengan quick count atau statatistik. Ia mencontohkan, katakan 100 juta data, tidak serta-merta 100 juta, sebab vektornya tidak sama.
“Jangan dianggap semua orang akan seragam, semua mendukung atau menolak adanya, tidak begitu. Ini adalah sebuah informasi yang berantakan, informasi yang teksturnya ke sana ke mari. Jadi, faktornya tidak satu. Jadi saya ingin mempertanyakan, ini bagaimana cara ngambilnya pakai apa, apakah menggunakan fix system pemrogaman yang fix atau menggunakan statistik,” paparnya.
Klaim Luhut yang disampaikan sepotong-potong berpotensi membodohi rakyat.
“Jangan sampai rakyat kita dibodohi. Rakyat ini hanya disuguhi pada suatu yang seakan-akan adalah sesuatu yang benar melalui sebuah mekanisme yang rapi. Ayolah kita diskusi. Kalau perlu undang kami-kami ini. Benar gak itu?,” tantangnya.
Yang jadi masalah di negeri ini kata Soegianto adalah kedaulatan, data informasi masyarakat. Ini yang sekarang gak ada.
“Makanya saya usulkan, kalau begitu kita buat rapat transparansi semuanya. Jadi kalau perlu ke depan, kita arus membuat mekanisme supaya semua transparan sejak awal pemilihan umum. Jadi masyarakat tidak boleh hanya disuguhi laporan saja, masyarakat harus ikut proses dengan alat sederhana yang meraka punya. Ini harus kita lakukan,” tegasnya.
Luhut tidak boleh sembarangan main klaim. “Cerita big data, masyarakat harus dilibatkan, untuk nanti ujungnya akan ada Pemilu, masyarakat juga harus dilibatkan sejak awal secara digital. Jadi kita harus mempunyai kedaulatan data digital, dan di masyarakat,” paparnya.
Yang terjadi selama ini kata Soegianto, masyarakat selalu dicekoki, seakan akan sesuatu yang benar, sesuatu yang ilmiah, seakan akan propaganda bahwa ini sudah benar, sudah diolah orang-orang canggih, diolah software-software yang begitu dahsyat dengan kata-kata big data. Jadi masyarakat seperti terbuai atau terhipnotis.
“Sebenarnya feeling manusia itu sudah bisa melebihi software-software itu. Meskipun manusia pada posisi perekaman yang banyak memang tidak bisa, tetapi feeling dari diskusi dari sosial media, dari mana-mana itu kita sudah bisa meraba,” pungkasnya. (sof, sws)