Subsidi BBM Salah Sasaran Karena Pengawasan Sangat Lemah

Jakarta, FNN – Tata kelola Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi oleh PT Pertamina (Persero) dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sangat lemah, sehingga terjadi kebocoran di sana-sini yang mengakibatkan BBM bersubsidi salah sasaran.

Menurut Salamudin Daeng, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), mengungkapkan Pemerintah cenderung melakukan pembiaran yang massif, sehingga BBM bersubsidi, seperti solar bersubsidi, lebih dinikmati industri sawit dan tambang batubara.

Hal ini dipicu oleh adanya disparitas harga solar bersubsidi dengan solar industri yang mencapai Rp 8.800 per liter. Seperti diketahui, harga solar bersubsidi sebesar Rp 5.150, sedangkan harga solar industri mencapai Rp 13.950, sehingga para pengelola industri sawit dan industri batubara berburu solar bersubsidi.

“Semua terjadi karena pengawasan yang lemah, bahkan cenderung terjadi pembiaran,” kata Salamuddin dalam sebuah diskusi yang digelar di Kantor Sekretariat ProDEM pada Selasa (6/9).

Kalau Pertamina dan Kementerian BUMN melakukan pengawasan yang ketat dan peduli soal penggunaan solar bersubsidi itu, tentu tidak akan terjadi penyimpangan.

Seperti diketahui, 85% pengguna solar subsidi adalah kendaraan industri sawit dan batubara. Sisanya, 15% digunakan oleh rakyat kecil. Bahkan, industri ada yang menimbun solar subsidi untuk kebutuhan jangka panjangnya.

Demikian juga Pertalite yang masuk kategori BBM bersubsidi yang memiliki disparitas harga seharusnya Rp 14.450 per liter, harga jual ecer hanya Rp 7.650 per liter, sehingga ada selisih harga Rp 6.800 per liter. Pertalite hanya dinikmati 20% masyarakat miskin. Selebihnya 80% dinikmati orang-orang mampu yang memiliki mobil dan motor, sehingga terjadi salah sasaran.

Menurut Salamudin, kebijakan BBM bersubsidi adalah kebijakan Pemerintah. Pelaksanaannya dilakukan oleh Kementerian BUMN dan Pertamina, yang juga perpanjangan tangan Pemerintah. Sehingga, kalau terjadi salah sasaran dan bahkan pembiaran, maka itu adalah bagian dari kesalahan Pemerintah.

“Jadi Pemerintah mengoreksi kebijakannya sendiri yang sangat lemah dalam pengawasan,” ujarnya.

Sementara itu Ridwan Iman, Koordinator Pergerakan Semesta Selamatkan Indonesia (PSSI) menuntut Pemerintah untuk lebih kreatif ketimbang harus menaikkan harga BBM. Menurutnya, saat ini pemerintah merasa dirinya adalah dewa penyelamat bagi masyarakat karena telah memberikan subsidi BBM. Lalu pada akhirnya pemerintah mengatakan, “Kita telah terbebani APBN”.

Ridwan pun membalas, “Padahal faktanya, subsidi itu juga uang rakyat. Itu hasil dari pajak rakyat. Ini kan alasan klasik yang dipakai dari rezim ke rezim.”

Sebelumnya, Ridwan pun sempat menyinggung pernyataan dari ekonom Anthony Budiawan terkait data pemerintah yang tidak sama dengan yang sesungguhnya. Nilai subsidi BBM hanya Rp 11 triliun, tetapi Pemerintah mengklaim nilai subsidi BBM (ditambah dana kompensasi BBM) mencapai Rp 502,4 triliun.

“Dalam APBN 2022 hanya ada nomenklatur BBM bersubsidi Rp 11 triliun, sementara nomenklatur kompensasi BBM tidak ada disebut. Jadi, ini penyesatan informasi,” kata Anthony Budiawan.

Dalam diskusi ProDEM yang dilakukan pada Selasa (30/8/2022), Anthony berpendapat bahwa temuannya berbeda dengan pernyataan Jokowi mengenai subsidi BBM yang mencapai Rp 502 triliun.

Anthony mengatakan bahwa subsidi dalam UU APBN hanya Rp 11 triliun. Ridwan berani menantang pemerintah jika memang data yang disampaikan oleh Anthony Budiawan salah. “Kalau yang dikatakan Anthony Budiawan salah, maka tangkap dong! Karena pemerintah bisa membuktikan bahwa data-data itu tidak benar,” tegas Ridwan.

Martin Lauren selaku pembicara terakhir juga menyatakan pendapat terkait BBM. Menurutnya, apapun kebijakan yang diberikan oleh pemerintah, sudah pasti tidak akan memihak masyarakat. Ia mengaku bahwa tak ada satupun fakta yang tersedia bahwa pemerintah melalui skema BBM akan melindungi rakyat, baik ekonomi maupun kesejahteraan.

Ia menjelaskan bahwa ini semua juga disebabkan oleh kegagalan rekayasa sosial kita sebagai masyarakat Indonesia. Berikutnya, lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif juga turut disalahkan karena telah membuat kondisi kita seperti saat ini.

Ia berpendapat bahwa buzzer kini telah menjadi determinan sosial yang baru. Di mana para pemimpin dan tokoh intelektual seharusnya yang menjadi determinan sosial. (Ferd)

394

Related Post