Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan Habib Rizieq Tidak Sah
Jakarta, FNN - Tim Kuasa Hukum Habib Rizieq Shihab, Djudju Purwantoro menegaskan Surat Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan atas diri pemohon (Habib Rizieq Shihab), tidak sah menurut hukum.
Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan yang didasari 2 (dua) Surat Perintah Penyidikan yang berdiri masing – masing dengan nomor, tanggal dan bulan yang berbeda-beda, padahal tersangkanya sama, yaitu ; Habib Rizieq Shihab.
Peristiwa hukum yang sama; Locus Delictie dan Tempus Delictinya sama, yaitu 'berkerumun' di daerah Petamburan, Jakarta Pusat, dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW.
Sebelumnya tim kuasa hukum Habib Rizieq Shihab, juga menyatakan penyidik Polda Metro Jaya tidak memiliki dua alat bukti yang sah dalam menangkap dan menahan kliennya atas kasus pelanggaran protokol kesehatan.
Hal itu disampaikan Djudju dalam siaran pers yang diterima FNN Jumat (10/3).
Tim kuasa hukum HRS menilai tindakan kepolisian tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 77 KUHAP jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
Di mana dijelaskan, dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka, harus ada dua alat bukti yang sah.
"Bahwa termohon telah menetapkan Pemohon sebagai tersangka dan bahkan termohon menerbitkan surat perintah penangkapan dan surat penahanan atas diri pemohon, padahal termohon tidak ada/tidak memiliki dua alat bukti yang sah untuk menetapkan Pemohon sebagai tersangka," kata Djudju.
Djudju menyatakan kepolisian selaku pihak termohon belum pernah melakukan penyitaan terhadap alat bukti.
Djudju juga mengklaim upaya pemanggilan terhadap Rizieq hingga pemeriksaan saksi belum pernah dilakukan oleh termohon.
Dalam surat permohonan gugatan praperadilan tersebut, Tim Kuasa Hukum Habib Rizieq menyoroti adanya dua surat perintah penyidikan yang dinilai janggal.
Pertama, surat perintah penyidikan dengan nomor SP.sidik/4604/XI/2020/Ditreskrimum tanggal 26 November 2020, dan Surat perintah penyidikan kedua dengan nomor SP.sidik/4735/XII/2020/Ditreskrimum tanggal 9 Desember 2020.
"Surat perintah penangkapan Nomor SP.Kap/2502/XII/2020 Ditreskrimum tanggal 12 Desember 2020 atas diri pemohon adalah tidak sah karena mengandung cacat hukum, dan tidak sesuai dengan hukum administrasi yang diatur dalam KUHAP dan juga melanggar peraturan Kepala Kapolri Nomor 6 Tahun 2019, tentang penyidikan tindak pidana," tulis surat tersebut.
Sedangkan 2 (dua) Surat Perintah Penyidikan tersebut kata Djudju digunakan sebagai dasar dari Termohon untuk menerbitkan Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan atas diri Pemohon, dalam kasus yang sama. Oleh karenanya mengakibatkan (kausalitas) Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan atas diri Pemohon adalah Cacat Hukum administrasi dan tidak sah menurut hukum, dan sudah sepatutnya dibatalkan.
Hal tersebut juga selaras dengan pendapat Ahli, DR. Abdul Chair Ramadhan, SH,MH. yang dinyatakan dalam persidangan Prapud tersebut.
Demikian juga ahli menyatakan bahwa Perkara khusus (Lex Specialis) tidak dapat digabungkan sangkaannya dengan Tindak Pidana Umum (lex generalis).
Dengan demikian, ketentuan pasal 63 KUHP; tentang Penggabungan Beberapa Perkara Pidana yang diatur dengan peraturan hukum yang berbeda-beda, maka yang dikenakan hanya salah satu peraturan.
Ahli berpendapat bahwa apabila ada suatu peristiwa hukum diatur dalam suatu peraturan Pidana Umum, dan juga diatur dalam peraturan Pidana Khusus, maka Pidana yang Khusus itulah yang semestinya diterapkan, sebagimana Pasal 63 Ayat (2) KUHP.
Walaupun ancaman hukumannya berbeda- beda, namun yang diterapkan tetap pidana khusus nya. Hal tersebut diperkuat oleh Yurisprudensi Putusan Nomor : 1/ Pid.Pra/2019/PN. PNG. tanggal, 25 Maret 2019, (Pengadilan Negeri Ponorogo). Dalam amar putusannya menyatakan bahwa Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan yang diterbitkan berdasarkan 2 (dua) Surat Perintah Penyidikan adalah Cacat Hukum dan Tidak Sah menurut hukum.;
Delik pidana (larangan berkerumunan) tersebut seperti diatur klausulnya dalam Pidana Khusus, yaitu undang- undang tentang Kekarantinaan Kesehatan. Faktanya Termohon (pihak Polri) menyalahi hukum, dengan menahan Pemohon (Habib Rizieq) menggunakan sangkaan Pidana Umum (pasal 160 KUHP). Konsekuensinya, Surat Perintah Penahanan atas nama diri Pemohon mengandung cacat hukum, karena menggabungkan peristiwa pidana khusus dengan pidana umum.
Ahli juga berpendapat adalah cacat hukum, Termohon menerbitkan surat perintah penangkapan dan surat perintah penahanan sebelum dilakukannya pemeriksaan (BAP) Termohon oleh Pemohon.
Putusan hakim (vonis), akan dilakukan pada Rabu, 17 Maret 2021. (SWS)