Terjalnya Proses Pencarian Keadilan Kasus Joshua

Diskusi publik dengan tema “Obstruction of Justice: Terjalnya Proses Pencarian Keadilan Kasus Joshua”, bertempat di Hotel Gran Mahakam, Jakarta Selatan pada Selasa (27/9/22).

Jakarta, FNN - Public Virtue Research Institute (PVRI), Indonesian Corruption Watch (ICW), serta Komite Pengacara untuk Hak Asasi Manusia dan Penguatan Demokrasi (KP-UHPD) mengadakan diskusi publik dengan tema “Obstruction of Justice: Terjalnya Proses Pencarian Keadilan Kasus Joshua”, bertempat di Hotel Gran Mahakam, Jakarta Selatan pada Selasa (27/9/22).

Ketua Komisi Kejaksaan, Barita Simanjutak mengatakan bahwa kasus kematian Brigadir J menjadi momentum untuk membenahi sistem hukum di Indonesia agar ada peningkatan kualitas penegakan hukum di Indonesia.

Menurutnya, proses penyelidikan kasus ini seharusnya disertai dengan pengawasan dari pihak penuntut atau kejaksaan.

Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid. Ia menegaskan perlunya proses penyidikan lanjutan dalam kasus Brigadir J ini oleh kejaksaan bukan kepolisian.

Usman menilai seharusnya perkara obstruction of justice dalam kasus ini perlu ditindaklanjuti melalui persidangan pidana, bukan hanya melalui persidangan etik yang berlangsung di kepolisian.

Usman menyebut terdapat dua pasal hukum pidana yang dapat memberatkan para oknum kepolisian tersebut, yaitu pasal 233 dan pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

“Jadi seluruh anggota polisi yang terlibat dalam obstraction of justice dalam kasus pembunuhan Yoshua seharusnya dapat dijerat atau diperiksa dengan pasal 233 dan pasal 52 KUHP,” ujarnya.

Selanjutnya, Hakim Agung periode 2011-2018, Gayus Lumbuun mengungkapkan bahwa Ferdy Sambo bisa saja lolos dari hukuman mati di kasus Brigadir J, asalkan Kadiv Propam Polri itu kooperatif untuk membuka kasus kematian Brigadir J.

“Kalau ada manfaatnya si pelaku membuka jaringan-jaringan di lembaganya menjadi Polri yang baru kenapa tidak, dia tidak usah dihukum mati. Minimal (pasal) 338 18 tahun. Itu sangat memungkinkan di hakim. Bermanfaat, dia akan membongkar semuanya. Dia membongkar sehingga kita mempunyai Polri yang baru,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Novel Baswedan, berbicara dari perspektif penyidik, memilih tidak membicarakan tentang pokok perkara.

Namun, ia menyampaikan apresiasinya terhadap langkah Kapolri yang telah mengungkap kasus tersebut. Novel membicarakan bahwa Obstruction of Justice ada pada tindak pidana korupsi. Permasalahan utama adalah maraknya praktik penegak hukum yang justru menghalang-halangi penanganan perkara.

Novel mengaitkan hal tersebut dengan kasus Brigadir J, bahwa penegak hukum mempunyai kewajiban-kewajiban yang diatur dan dilakukan. Terdapat dua kemungkinan masalah yang muncul apabila kewajiban tersebut tidak dilakukan, baik faktor ketidaktahuan atau kesengajaan. Menurutnya, penanganan yang telah melibatkan mengaburkan, menghilangkan, menutupi dan sebagainya merupakan masalah kejahatan serius yang seharusnya diatur dalam pasal khusus.

Diskusi ini juga menghadirkan pembicara lainnya yakni Edwin Partogi (Wakil Ketua LPSK), Soleman B Ponto (Dewan Pakar PERADI), Irma Hutabarat (Aktivis Perempuan), Miya Irawati (Direktur Public Virtue Research Institute), Sugeng Teguh Santoso (Ketua IPW), dan Laola Ester (Peneliti ICW). (Lia)

344

Related Post