TNI-Polri Ditunjuk Menjabat Kepala Daerah, Jokowi Set Back ke Neo-Dwifungsi ABRI
Jakarta, FNN - Pengamat Komunikasi Politik dan Militer Universitas Nasional, Selamat Ginting mengungkapkan kemungkinan Presiden Jokowi bermain mata dengan TNI-Polri dalam Pilpres 2024. Dengan demikian pemerintah Jokowi telah set back kembali ke era seperti Neo Dwifungsi ABRI, dimana TNI-Polri menduduki jabatan-jabatan sipil di pemerintahan seperi di era Orde Lama dan Orde Baru.
“Jadi dalam sejarah politik Indonesia hubungan sipil-militer ini mengalami pasang surut, ada kalanya hubungan dikendalikan oleh sipil atau sebaliknya militer yang mengendalikan sipil,” katanya kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Hersubeno Point, Rabu, 25 Mei 2022.
Ginting mencontohkan, pada masa demokrasi parlementer era Sukarno intervensi sipil dalam urusan militer semakin dalam, kemudian militer merasa terpolarisasi oleh kepentingan partai politik, sehingga militer di era itu juga coba mempengaruhi Sukarno untuk dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan presiden. Sama dengan presiden juga membujuk TNI dan Polri untuk memperkuat bargaining posisi terhadap partai politik.
Menurut Ginting, yang menarik ketika posisi kepala daerah diisi oleh TNI dan Polri menjelang Pilkada atau Pemilu. Yang dikhawatirkan adalah pejabat gubernur itu bagian dari rezim yang berkuasa atau partai politik yang berkuasa yang ingin kembali menempatkan personilnya menjadi pejabat atau gubernur bupati maupun walikota.
“Saya cenderung kalau di daerah-daerah konflik misalnya Aceh, Papua, Maluku memang bisa masuk akal. Kalau dari background militer atau polisi yang mengetahui konflik-konflik,” paparnya.
Tetapi kalau dari birokrat dikhawatirkan mereka bisa dipengaruhi oleh afiliasi dari partai-partai supaya bisa memperlancar calon-calonya untuk bisa mempengaruhi jabatan-jabatan di posisi gubernur, bupati atau walikota yang sebelumnya ditempati oleh kader partai yang bersangkutan.
Menurut Ginting, praktek buruk politik semacam ini pernah pula dilakukan pada eraa Orde Lama maupun Orde Baru.
"Sejak tahun 62, era Soekarno itu, di situ kemudian Presiden Soekarno juga jelas-jelas mengundang atau menarik ABRI dalam kancah politik untuk memperkuat posisinya menghadapi lawan-lawan politik," tuturnya.
Di sisi lain tentu ABRI mendapatkan kesempatan untuk memperkuat posisi tawarnya. Nah apakah sekarang juga seperti itu? tentu akan kita uji," ucapnya.
"Presiden Soekarno maupun ABRI pada waktu itu sama-sama berkepentingan untuk menekan partai politik, hal ini karena mereka merasa terpinggirkan pada masa demokrasi parlementer di mana partai politik sangat berkuasa," ujarnya menambahkan.
Oleh karena itu Ginting mengungkapkan kemungkinan Jokowi bermain mata dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
"Nah sekarang juga begitu, partai politik begitu berkuasa, jangan-jangan kemudian Presiden Jokowi juga main mata dalam hal ini untuk merangkul TNI dan Polri agar kemudian mendapatkan keuntungan dalam mempertahankan kekuasaannya," katanya.
"Jadi ada pembagian peran yang yang sedang dimainkan oleh Presiden Jokowi," ucapnya menambahkan.
Selamat Ginting kemudian membeberkan sejarah dominasi ABRI pada saat masa transisi pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto.
"Nah kita ingat pada masa Presiden Soeharto, transisi dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto juga itu kelihatan sekali posisi politik ABRI sangat dominan, terutama pada era orde baru, khususnya di tahun 80-an," tuturnya.
Di situ kata Ginting, muncul dwifungsi yang berbeda arah dengan konsep Jalan Tengah yang dicetuskan oleh Jenderal AH Nasution.
“Jadi sejak tahun 82 akhir itu memang kepentingan intelijen sangat kuat untuk menempatkan personel-personel TNI, terutama di jabatan-jabatan Pemerintah Daerah," ujarnya.
Ginting melihat, hampir sebagian besar di Pulau Jawa, terutama Bupati, Walikota, bahkan Gubernur adalah background-nya militer. Kondisi tersebut sampai saat ini masih sama, hanya berbeda aparat yang mendominasinya.
“Sekarang ini kondisi memang agak berubah, mungkin dalam sejarah baru sekali ini juga Menteri Dalam Negeri background-nya polisi," katanya.
Oleh karena itu, Ginting melihat Jenderal Tito Karnavian tampak sekali mempunyai kepentingan polisi lebih dominan di pemerintahan daerah dalam posisi pejabat-pejabat gubernur, bupati, maupun walikota daripada militer.
Dulu itu Menteri Dalam Negeri itu Era Soekarno dan Soeharto itu seperti jatahnya militer tapi di era Jokowi kan berubah dari posisi ini dipegang oleh partai pemenang Pemilu Tjahjo Kumolo waktu itu dan juga kemudian diserahkan kepada Tito Karnavian, mantan Kapolri," ujar Selamat Ginting menambahkan.
Ginting menegaskan, Dwifungsi ABRI yang telah dominan sejak tahun 1982 akhirnya kembali terjadi di era Jokowi.
"Jadi kita ingat dwifungsi ABRI yang bagaimana peran sosial politik itu sangat dominan, terutama setelah tahun 82 ke atas 82, 83, dan seterusnya ini akhirnya kita ingat kembali kasus penempatan seperti Adi Chandra," ucap Selamat Ginting.
Ginting juga mengingatkan bahwa tidak ada aturan main dalam penempatan personel TNI-Polri untuk di jabatan BUMN.
“Tapi nyatanya, kita tahu sendiri komisaris-komisaris BUMN itu banyak sekali, mungkin lebih dari sekitar 15 komisaris di perusahaan-perusahaan BUMN itu dipegang oleh jenderal-jenderal purnawirawan," katanya.
Bahkan, sebelumnya kita tahu beberapa Jenderal polisi dan juga Jenderal TNI masih aktif tapi dialihkan menjadi komisaris di BUMN. Oleh karena itu, Selamat Ginting menekankan bahwa ada kemunduran di era pemerintahan Jokowi, yakni kembali seperti era dwifungsi ABRI.
"Jadi kita sebenarnya sedang set back kembali ke era seperti Neo Dwifungsi ABRI, di dalam hal ini TNI-Polri dengan penempatan sejumlah personel TNI-Polri aktif di jabatan-jabatan sipil yang tidak sesuai aturan main," pungkasnya. (ida, sws)