Ubedillah Badrun: Pernyataan Benny dalam Nusantara Bersatu Wujud Persekongkolan Merawat Pertempuran
Jakarta, FNN -- Gerakan Nusantara Bersatu disambut sentimen negatif di media sosial maupun di dunia nyata.
Diketahui, sebelumnya, silaturahmi relawan Gerakan Nusantara Bersatu yang dihadiri ribuan orang digelar di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, Sabtu (26/11).
Akademisi Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun mengemukakan bahwa pertemuan para relawan Jokowi di GBK yang bertajuk Nusantara Bersatu itu hakikatnya telah terbongkar bahwa itu semua hanya panggung depan kepalsuan, mirip-mirip panggung sandiwara. Sebab, kata Ubed, di belakang panggung ternyata bukan Nusantara Bersatu tetapi persekongkolan yang gemar merawat pertempuran, merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
"Itu terlihat dari narasi Benny Ramdani yang disampaikan kepada Presiden Jokowi di belakang panggung yang tidak didasari dengan data yang benar, tidak mampu membedakan antara kritik dan penghinaan lalu ia menyimpulkan kelompok kritis ini sebagai lawan yang harus ditempuri atau direpresi dengan ancaman pidana," papar Ubed kepada FNN, Jumat (2/12).
Narasi Benny Ramdani lanjut Ubed juga menunjukkan bahwa ternyata ia mendapatkan posisi sebagai kepala BP2MI karena ia telah bekerja sebagai relawan yang senang memproduksi narasi provokatif.
"Narasi semacam itu sesungguhnya tidak patut diucapkan oleh seorang kepala Badan Negara yang digaji oleh pajak rakyat. Narasi yang tidak ada urusanya dengan fungsinya di BP2MI. Itu tindakan narasi yang tidak wajar, juga tidak etis yang disampaikan kepada Presiden dan bertentangan dengan moral kebangsaan kita," paparnya.
Menurut Ubed, fenomena Benny Ramdani dan sejenisnya ini sebenarnya secara substantif bukanlah relawan karena relawan itu mestinya bersifat voluntarisme atau kesukarelawanan, tanpa pamrih. Tetapi semua yang mengaku relawan Jokowi itu terlihat pamrih minta jabatan dan parahnya Jokowi mengakomodir para relawan itu menjadi pejabat atau komisaris di BUMN yang jumlahnya fantastis.
"Jadi mereka sesungguhnya para pemburu rente kursi jabatan berkedok relawan. Kalau relawan seharusnya konsisten dengan spirit voluntarisme, berjuang tanpa pamrih membela gagasan," tegasnya.
Sementara tentang mereka yang mengaku relawan itu yang memproduksi diksi-diksi pertempuran dan ancaman, Ubed teringat dalam sejarah reformasi 1998 ada PAM Swakarsa era akhir kekuasaan Soeharto dan sesudahnya.
"Semacam milisi sipil pembela kekuasaan yang dipelihara oleh penguasa yang bertugas mengancam, menghalau kelompok kritis, menghalau demonstran bahkan siap dengan alat-alat kekerasan. Kira-kira model relawan yang suka memproduksi ancaman itu mirip-mirip seperti itu. Secara kebangsaan itu berbahaya, berpotensi memicu bentrok antar warga negara, dan itu kemunduran dan mengingatkan luka bagi pejuang reformasi 1998. Itu kemunduran demokrasi," pungkasnya. (sws)