USU Pasca-Pelantikan Rektor Muryanto Amin (Bagian-4, Penutup)
by Prof. Dr. OK Saidin SH. M.Hum
Medan, FNN - Di bagian ke-3, telah dijelaskan bahwa term (istilah) ‘self-plagiarism’ itu ada. Disimpulkan pula bahwa USU akan menghadapi masalah besar ke depan di bawah pimpinan Dr Muryanto Amin.
Di bagian ke-4 sekaligus penutup ini, saya coba untuk menelusuri akar masalahnya. Apa yang salah dalam pengelolaan sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Mengapa ilmu penegetahuan tak tumbuh dan tidak berkembang.
Sebenarnya Menteri Nadim Anwar Makarim telah menemukan jawabannya, yakni kampus harus diberi ruang gerak ke arah yang lebih merdeka. Tercetuslah ide Kampus Merdeka-Merdeka Belajar. Akan tetapi benarkah kampus saat ini merdeka, jika dihubungkan dengan sistuasi yang sedang dihadapi USU hari ini?
Ada nilai-nilai insaniah sebagai nilai universal yang tergerus dalam penanganan kasus konkrit yang dihadapi oleh USU hari ini. Yakni nilai kejujuran dan nilai keterbukaan. Selama nilai-nilai ini diabaikan, maka selama itu pula ilmu pengetahuan tak dapat tumbuh dan berkembang.
Plagiat adalah perbuatan mengambil karya orang lain, dan itu adalah perbuatan tidak jujur. Tapi tidak semua perbuatan tidak jujur itu adalah plagiat. Perbuatan Self-plagiarism, double publication, atau salami publication, atau publikasi ganda adalah perbuatan tidak jujur. Perbuatan itu adalah salah satu bentuk dari pelanggaran etika akademik.
Siapa pun dan kemana pun ditanyakan tentang hal itu, mereka yang jujur akan memberikan kesimpulkan dan pandangan yang sama. Nilai itu universal. Buktinya universal, hari ini terbetik ide dari Kementerian untuk menyempurnakan Permendiknas 17/2010 tentang pencegahan encegahan plagiat di perguruan tinggi (Dewi Nurita, Eko Ari Wibowo, Tempo-co, Jumat, 29 Januari 2021).
Artinya pihak Kementerian menyadari ada kesalahan dan ada kekurangan dalam peraturan ini. Di luar dugaan, Kementerian Agama jauh lebih maju karena lebih rinci mengatur tentang perbuatan plagiat yang memasukkan istilah self-plagiarism (plagiat karya sendiri).
Akar masalah yang lain adalah, masuknya unsur politis dalam tiap kali pelaksanaan pemilihan rektor. Hal ini tidak dapat dihindari selama Kementerian dalam pemilihan rektor porsinya 35 %. Akibatnya tiap lima tahun sekali kampus menjadi "terbelah". Habis energi dan waktu rektor untuk menyatukan kembali situasi yang sudah terbelah itu. Kadang-kadang sampai satu atau dua tahun dan bahkan sampai berakhir periode kepemimpinannya.
Suasana batin para pihak yang bertikai dipenuhi oleh rasa kebencian yang tak berujung. Padahal, mereka sama-sama dosen dan kolega. Ini tentu menjadi bahan masukan dan renungan bagi pemerintah di tengah kumandang Kampus Merdeka-Merdeka Belajar. Hendaknya yang dimerdekakan dahulu adalah para sivitas akademikanya. Kalau suara Kementerian dalam pemilihan rektor tetap 35 %, itu artinya tiap 5 tahun sekali para calon rektor mencari calon anggota MWA wakil masyarakat yang dekat dengan kekuasaan yang nanti diharapkan akan menempatkan suara 35 % itu di pihaknya.
Faktor masuknya unsur politik dan berbagai intervensi tak dapat terhindarkan lagi. Oleh karena itu, kaum intelektual kampus perlu memikirkan agar pemilihan rektor itu kembali ditentukan oleh MWA dengan sistem one man one vote. Pihak Kementerian tetap memiliki satu suara sama dengan suara Gubernur. Demikian juga, mereka yang duduk di eksekutif seperti rektor dan dekan tidak boleh rangkap jabatan di MWA. Jika telah duduk di MWA yang bersangkutan harus melepaskan jabatannya di eksekutif. Logikanya, tidaklah cocok orang yang harus diawasi duduk sebagai pengawas.
Faktor-faktor ini sangat kental dalam menciptakan suasana tak nyaman di kampus. Carut-marut di USU hari ini bisa jadi dipicu oleh faktor-faktor itu.
Pelantikan Muryanto Amin sebagai rektor USU seharusnya bisa mengakhiri perdebatan panjang seandianya saja MWA dan Kemendikbud memenuhi rekomendasi hasil rapat MWA 15 Januari 2021. Kementerian diminta membuat klarifikasi soal Surat Keputusan Rektor USU tentang penjatuhan sanksi pelanggaran etika yang dilakukan oleh Muryanto. Tapi itu tidak dilakukan. Pihak Kementerian hanya mengeluarkan surat No 4607/MPK.A/RHS/KP/21, tentang pelantikan rektor periode 2021- 2026.
Padahal, ada agenda lain pada rapat tanggal 15 Januari 2021, yaitu mendengarkan penjelasan Rektor USU 2016-2021 tentang kasus plagiat yang dilakukan Muryant. Pada agenda itu, berdasarkan penjelasan Sekretaris MWA, Prof Guslihan Dasacipta, sudah disepakati bahwa akan ada klarifikasi dari tim independen untuk menjernihkan kasus itu. Agar Rektor yan dilantik memiliki kredibilitas dan justifikasi dan telah memenuhi persyaratan formal dan materil untuk memangku jabatan rektor.
Akan tetapi sangat disayangkan pihak Kementerian tidak pernah menyampaikan hasil kerja iim independen bentukan Kemendikbud. Tak pernah ada penjelasan, tentang masukan dan keluhan masyarakat. Tak pernah juga ada penjelasan lebih lanjut mengenai rangkaian due process of law yaitu proses hukum yang adil yang dilakukan oleh Tim Independen.
Tiba-tiba pihak Kementerian meminta dilaksanakan pelantikan segera. Inilah yang beberapa hari berikutnya memicu banyak perdebatan. Belakangan, beberapa jam setelah pelantikan baru muncul pernyataan Prof Nizam (Dirjen Dikti) yang menegaskan bahwa Muryanto Amin tidak lakukan plagiasi. Berselang tiga hari pasca pelantikan beredar informasi bahwa menteri sudah mencabut keputusan Rektor USU terkait plagiat Muryanto. Surat itu bertanggal 27 Januari 2021 yang ditandatangani oleh Nadiem Anwar Makarim.
Akan tetapi, Dirjen Dikti Kemendikbud dalam klarifikasi 28 Januari 2021 tak menjelaskan bahwa sudah terbit surat Menteri yang membatalkan keputusan Rektor USU mengenai penjatuhan sanksi terhadap Muryanto. Bahkan undangan pelantikan rektor periode 2021-2026 itu sudah beredar, sebelum tanggal pencabutan atau pembatalan surat keputusan rektor USU tersebut.
Artinya pelantikan itu tidak didasarkan sama sekali pada surat Menteri yang telah membatalkan atau mencabut surat rektor USU tersebut. Kementerian Dikbud "kecolongan" dan gagal menyiasati serta mendudukkan kasus ini dalam kerangka hukum dan kerangka kerja administrasi yang bersih di lingkungan kementeriannya.
Rekan-rekan di USU menyampaikan diksi yang tak sedap didengar. Kemendikbud sepertinya menaburkan abu di mata publik, dengan pesan seolah-olah pelantikan rektor periode 2021-2026 telah memiliki legitimasi hukum yang kuat. Tentu anggapan ini tak boleh dibiarkan liar. Harus ada juga klarifikasi dari pihak Kementerian, jika kita ingin menegakkan marwah dan wibawa Kementerian.
Tak ada salahnya MWA menggelar rapat sekali lagi pasca pelantikan rektor. Tapi itu harus dilakukan dengan kepala dingin dan hati yang jernih. Semua sivitas akademika USU harus mengakui dengan hati yang lapang bahwa USU sudah memiliki pucuk pimpinan yang secara hukum mempunyai kewenangan yang sah untuk bertindak dan berbuat sesuai tugas dan fungsinya sebagai Rektor.
Tak ada yang boleh dan yang bisa menyalahkan Muryanto, sebab beliau sudah memenuhi semua rangkaian proses untuk duduk sampai ke puncak jabatan itu. Beliau sudah mengikuti rangkaian proses mulai dari pencalonan sampai pada pemilihan. Setelah terplih menyeruak kasus self-plagiarism yang dipersangkakan padanya.
Muryanto pun mengikuti semua proses terkait penyelesaian peristiwa itu. Mulai dari memberikan pembelaan di depan Sidang Komisi I DGB sampai pada memberikan keterangan dalam rangkai pemeriksaan pada Komisi Etik. Rektor pun telah menerbitkan Keputusan, karena itu rektor pun tak bisa dipersalahkan.
Rektor telah menegakkan aturan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan USU. Sebab jika Rektor tidak melakukan itu, Rektor juga dapat dijatuhi sanksi hukum. Dewan Guru Besar dan Komisi Etik juga tidak dapat dipersalahkan, mereka telah menjalankan fungsi dan tugasnya sesuai aturan yang berlaku di lingkungan USU.
Kalaupun ada pihak yang harus kita minta pertanggung jawabannya hari ini, maka pertanggungjawaban itu ada pada:
Pertama, Majelis Wali Amanat (MWA) USU. Seberapa jauh badan ini menjalankan amanah rakyat dalam menyikapi dan menangani kasus ini? Apakah MWA dalam menjalankan tugas dan fungsinya sudah sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku di lingkungan USU sebagai PTN Badan Hukum?
Kedua, Mendikbud. Pertanyaannya sama. Seberapa jauh lembaga ini menjalankan tugas dan fungsi dalam menyikapi dan menangani kasus ini? Apakah pihak Kemendikbud dalam menjalankan tugas dan fungsinya sudah sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku di lingkungan USU sebagai PTN Badan Hukum? Jawaban atas pertanyaan itu ada pada kedua institusi ini dan itu akan menentukan jalannya USU ke depan.
Upaya yang dapat dilakukan adalah melalui upaya hukum. Hasilnya bisa digunakan untuk menyembuhkan siapa yang terluka dalam waktu singkat. Atau justeru keduanya memperpanjang luka, bahkan bisa menambah luka baru. Tak ada yang bisa memperkirakan USU ke depan akan jadi seperti apa.
Oleh karena itu mungkin ada jalan tengah, jalan rekonsiliasi. Kita kubur semua persoalan, kita buka lembaran baru. Caranya kita benahi kembali apa yang keliru dan tersilap. Hukum tertinggi adalah hati nurani dan kebenaran Ilahiyah. Jika Tuhan dapat memaafkan hambanya, dan Presiden-pun bisa memberikan ampunan terhadap rakyatnya yang diatuhi hukuman, mengapa kita tidak.
Satu-satunya upaya yang dapat dilakukan adalah semua pihak terkait, MWA, Guru Besar, Senat Akademik dan Tokoh-Tokoh Pemersatu dan Tokoh Senior di USU duduk bersama secara informal. Cari jalan penyelesaian yang arif dengan penuh kebijaksanaan. Yang pekak kita minta menghembus lesung, yang tuli kita minta menembakkan meriam. Jadikan semuanya berguna dan hargai semua potensi akademik yang kita miliki.
Persoalan hukum yang menanti di depan, jika diselesaikan melalui pengadilan bukanlah solusi yang baik. Hukum mungkin bisa memberi rasa kepastian, tapi tak bisa memulihkan keadaan yang telah tercabik-cabik. Tapi dengan duduk bersama akan bisa dihapuskan dan dihilangkan hal-hal yang mendera perasaan selama "pertarungan" ini dengan satu kata yakni "ma'af". Bukankah hukum tertinggi adalah hati nurani? Dengan hati nurani kita hargai Keputusan Rektor tentang penjatuhan sanksi, agar tidak terulang kejadian yang sama.
Toch Keputusan Rektor hanya menjatuhkan sanksi etik, yang bisa dihapus dengan kata ma'af. Dengan begitu Rektor dan Komisi Etik tidak kehilangan "muka". Mungkin pertanyaannya, mengapa tidak Rektor saja yang mencabut Keputusannya? Rektor yang menerbitkan keputusan itu telah berakhir masa tugasnya. Sangat tak etis pula kalau Rektor yang sekarang mencabutnya, apalagi hal itu menyangkut dirinya sendiri.
Bagimana dengan keputusan Menteri yang telah mencabut SK Rektor? Berdasarkan hasil "rembukan" Menteri bisa meninjau kembali Keputusannya tentang pembatalan SK Rektor USU terkait penjatuhan sanksi. Dasar pertimbangan SK Menteri tentang Pembatalan Keputusan Rektor USU sangat banyak kekurangannya, tidak menyebutkan PP No.16/2014 tentang Statuta USU dalam konsideransnya.
Dan tidak ditujukan kepada siapa keputusan itu dialamatkan. Keputusan terbit 27 Januari 2021 sedangkan undangan pelantikan rektor telah beredar 26 Januari 2021. Artinya lebih dulu Keputusan untuk pelaksanaan pelantikan daripada keputusan pencabutan Keputusan Rektor USU. Ini tentu akan menjadi perdebatan baru jika ini di bawa ke ranah hukum. Melalui "urun rembuk" ada banyak yang bisa terselamatkan. Paling tidak ini bisa menyelamatkan MWA dan Kementerian dari gugatan yang mungkin akan muncul bertubi-tubi.
Memang ada diantara kita yang mengatakan, "biarkan saja", tapi itu berpotensi untuk semakin merusak kredibilitas USU di masa datang. Jika ini terus dibiarkan tak ada yang mengambil inisiatif untuk meredakannya, maka "keterbelahan" ini akan berkepanjangan dan mungkin akan diwariskan selama bertahun-tahun. Yang menang menjadi arang, yang kalah menjadi abu. Telungkup makan pasir, terlentang makan debu.[]
Penulis adalah Guru Besar Hukum USU, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (periode 2017-2020 dan 2020-2023) dan Ketua Komisi Kelembagaan Akademik, Perencanaan dan Anggaran Senat Akademik USU (periode 2020-2025).