Wacana Politik Identitas di Indonesia, Sebuah Analisis dari Perspektif Studi Budaya

Oleh Darlis Azis - Ketua KNPI Turki

TULISAN ini dimulai dengan sebuah bayangan terhadap negara kita yang sangat besar. Kalau kita letakkan peta Indonesia di atas benua Eropa, maka panjang peta kita dari ujung barat ke ujung timur adalah sama dengan jarak dari Inggris hingga ke ujung perbatasan Irak. Indonesia adalah negara dengan gugusan pula terluas di muka bumi. Jumlah pulaunya lebih dari 17.000, yang terdata lebih dari 16.000 lebih menurut data BPS. Dari berbagai macam etnis, sub-kultur, dan lebih dari 300-an bahasa lokal. Bahkan di Papua saja misalnya, tidak kurang dari 252 suku (Muhammad Habibie; 2017) dengan berbagai bahasa khasnya masing-masing. Dari segi pluralitas ini saja merupakat mukjizat yang luar biasa yang harus kita syukuri karena telah bisa bertahan hingga usia Republik ini menjelang 78 tahun pada 17 Agustus mendatang. Oleh sebab itu, apa yang bernama politik identitas yang sering muncul ke permukaan sejarah modern Indonesia harus ditangani dan dikawal secara bijak oleh nalar historis yang dipahami secara benar dan cerdas.

Saat proklamasi, jumlah penduduk Indonesia adalah sekitar 70 juta; sekarang di awal abad ke-21 sudah menjadi sekitar 250 juta, membengkak lebih tiga kali lipat sejak 1945, telah muncul sebagai bangsa terbesar keempat di dunia sesudah Cina, India, dan Amerika Serikat.Dengan masyarakat yang terdiri dari beranekaragam etnis, agama, dan budaya yang berbeda, masyarakat Indonesia dapat saling menghargai dan toleransi antar perbedaan yang ada. Oleh karenanya hal ini penting menjadi starting point untuk diskusi kita selanjutnya.

Lantas, apakah politik Identitas itu sendiri?

Kata politik sendiri berasal dari Bahasa Yunani, politeia, yang mengacu pada pengertian bahwa para individu dalam sebuah komunitas dalam batas geografis tertentu berkehendak untuk melakukan pengelolaan wilayahnya. Misalnya, dengan membuat hukum-hukum, kebijakan-kebijakan, serta lembaga kebijakan politik. 

Sedangkan kata identitas yang diambil dari Bahasa Inggris Identity memiliki arti ciri-ciri atau tanda yang khas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), identitas merupakan ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau jati diri. Bisa dikatakan, manusia yang memiliki identitas adalah mereka yang mampu menyadari tanda khusus atau ciri-ciri yang melekat pada dirinya.

Berdasarkan dua pengertian di atas, bisa disimpulkan bahwa politik identitas adalah politik yang menekanan pada perbedaan-perbedaan yang didasarkan pada asumsi fisik tubuh, kepercayaan, dan bahasa yang menjadi ciri atau tanda khas dari seseorang. Contoh populer adalah Politik Apertheid di Afrika yang membagi warganya menjadi dua golongan masyarakat berdasarkan ciri fisik, yakni mereka yang berkulit hitam dan mereka yang berkulit putih; atau juga perbedaan suku yang ada di Indonesia misalnya dia orang Aceh, saya Jawa; dan juga gender dia cowok, sedangkan saya cowok. Menurut pakar Culture Studies Stuart Hall menjelaskan identity politics sebagai the politics of location (Hall, 1996:1). Artinya politik menempatkan individu ada lokasi-lokasi (realitas sosial) tertentu yang telah dikontruksi dengan sengaja. 

Menurut Hall, politik Identitas selalu berhubungan dengan the definition of self/subject dalam konstruksi tersebut. Sebagai contoh ketika kita belajar sebuah bahasa maka kita selalu diajarkan tentang Subjek-Predikat-Objek-Keterangan dan seterusnya. Maka dari contoh ini bisa kita lihat posisi sentral subjek sebagai fungsi utama dalam pembentuk sebuah kalimat (state-ment). Dengan kata lain, politik identitas merupakan pemahaman bahwa identitas-identitas merupakan pemahaman bahwa identitas-identitas individu didasarkan pada tempat atau posisi dimana individu itu diletakkan (place-based identity).

Pada penjelasan selanjutnya Stuart Hall mengatakan bahwa identitas merupakan sesuatu yang yang tidak “selesai” dalam artian ia merupakan sebuah produksi yang akan terus terjadi secara terus menerus Hall menyampaikan bahwa 

identity is also not a "finished" process, it is never complete or perfect, or it will never end. Identity is always in the process of formation. Identity means the process of identification where the structure of identification itself is always constructed through ambivalence. Like between "us" and "other", or "us" and "them", “real” and “unreal”. "Other" also exists within us, in the sense that other is also part of the process of identifying our own identity. Because we see other in our view. Our self is also seen in the view of the other. And this idea that separates the boundary between the outside and inside, between the producer and the consumer, etc.

Dalam kajian Media dan Cultural Studies kata “identitas” sendiri merupakan “politik” itu sendiri. Culture Studies mencoba mengggoyang kemapanan berfikir kita tentang “realitas” yang ada di hadapan kita tidak hanya dalam konteks bernegara. Kita dipaksa untuk menjawab apa yang dimaksud dengan yang “real” sebenarnya dalam kehidupan budaya kita sehari-hari?. Dalam dunia yang sudah dipenuhi dengan gambar-gambar dan tulisan-tulisan yang kita temukan di media komunikasi massa seperti koran, televisi, film, video, novel, radio, bahkan iklan-iklan dalam kehidupan sehari-hari telah membentuk cara pandang (worldview) yang berbeda-beda dan membentuk persepsi kita masing-masing dalam proses berfikir dan menentukan sikap. Masing-masing kita mungkin telah menarik makna tersendiri dalam menerjemahkan dunia imajiner dalam fikiran mereka. 

Hal senada juga disampaikan oleh Benedict Anderson mengenai faktor-faktor signifikan pendorong nasionalisme dalam karyanya  “Imagined Communities: Reflections of The Origin and Spread of  Nationalism” adalah menguatnya kapitalisme, yang ditandai dengan adanya komunikasi massa dan migrasi massal.  Komunikasi massa ditandai dengan adanya print capitalism. Standardisasi kalender nasional, jam dan bahasa ada dalam buku dan surat kabar. Hal ini akan membuat siapapun yang membaca akan aware terhadap kejadian yang ada di dalam dan luar negeri. Nantinya, pengaruh dari surat kabar sangat besar. Menurut Benedict,“ Newspapers made it possible for rapidly growing numbers of people to think about themselves, and relate themselves to others in profoundly new ways.”  Migrasi massal juga memiliki pengaruh tersendiri dalam menumbuhkan nasionalisme. Terdapat tipe nasionalis baru yaitu long distance nationalist yang umumnya dimiliki oleh kaum ekspatriat, seperti kaum Creeole dari Amerika Utara dan Selatan pada masa itu. Jika kaum ini tidak merasakan kedekatan dengan negara yang ditinggali, maka kelompok ini akan memainkan politik identitas dengan berpartisipasi dalam konflik yaitu melalui senjata, uang dan propaganda.

Berkenaan dengan persepsi dan cara pandang ini Stephene Robbins (2008), menjelaskan bahwa persepsi adalah sebuah proses ketika manusia mengorganisasikan dan menginterpretasikan kesan  hasil pencitraan  indrawi  mereka  dalam  upaya  memaknai dunia di sekitarnya. Pendapat Robbins di bawah ini :

Perception is defined as the process by which people organize and interpret their sensory impressions in order to give meaning to the world around them. Perception is basically how each individual views the world around them. What one perceives can be very different from actually reality. The perception of one person will vary greatly from that of another person. Perception can have a huge impact on decision-making and on an organization's behavior in whole."

Robbins ingin menyampaikan bahwa dari hasil persepsi masyarakat terhadap realitas disekitarnya akan berpengaruh besar terhadap pembuatan keputusan sekaligus bentuk prilaku kelompok tersebut secara keseluruhan. Proses terbentuknya persepsi banyak dipengaruhi oleh beragam referensi. Oleh sebab itulah, biasanya cepat atau lambat mereka akan mencermati kelompok referensi terdekat dengannya. Bisa jadi persepsi tersebut dibangun berdasarkan aspek kultural yang melingkupi lingkungan dan sejarah mereka, misalnya berdasarkan etnisitas, budaya dan agama. Bangunan persepsi inilah yang kelak memunculkan subyektivitas masyarakat dalam melihat kehidupan mereka. Bertrand Russell (2008) mengatakan bahwa masyarakat hanya ingin melihat apa yang mereka inginkan berdasarkan interaksinya dengan masyarakat lain juga pengalaman-pengalamannya. Aspek budaya berperan penting dalam menumbuhkan data-data yang berhubungan dengan perasaan.”

Dalam perspektif sejarah juga, persepsi menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya konflik baik inter maupun antar negara. Bertrand Russels menjelaskan kondisi ini sebagai berikut:“These fine lines which allow the perception of entities and categories (and thereby giving order and meaning to the chaotic experiences of everyday life) are largely social in origin. They create the boundaries between what's mine and yours, between “us” and “them,”what's sacred and profane, and what's “real” and “unreal.”

Jadi dalam proses terbentuknya persepsi dan pengambilan keputusan, disamping berasal dari organ sensorik manusia yang diolah dalam otak juga berdasarkan faktor perorangan (personal factors) semacam tipe kepribadian, kedewasaan teori, status secara emosional dan pengalaman-pengalaman sosial. Artinya lingkungan sosial sebagian besar menentukan apa yang kita rasa (perceive) dan apa yang kita abaikan (ignore), tinggal dengan cara apa manusia memproses informasi tersebut secara teori. "Shaping perceptions is, as will be seen, the key to social power" ungkap Bertrand Russell.

Apa yang terjadi negeri kita tercinta hari ini tidak jauh-jauh dari apa yang disampaikan oleh para pakar diatas, dimulai dengan kekayaan budaya dan latar belakang (backround) identitas kita yang tidak dikelola dengan baik, sehingga berujung pada kesalahan dalam mengimplementasikan persepsi itu baik yang dimulai dari perang terbuka di alam sosial media terhadap anti-persepsi yang berada pada kelompok lain (others) sehingga efek ini secara terus-menerus tidak hanya dalam socmed namun juga di alam nyata sebagaimana yang kita saksikan akhir-akhir ini terutama dalam pilpres terakhir dan juga Pilkada Jakarta 2017 yang lalu, dimana telah berhasil memperkuat Politik Identitas yang negatif terhadap keharmonisan (kohesifitas) kita dalam berbangsa dan bernegara.

Kalau dikelola dengan baik, seharusnya hal ini tidak seharusnya berdampak demikian. Beberapa hal yang positif dalam Pemaknaan politik identitas antara Faucoult dan Fukuyama misalnya sangat berbeda sangat berbeda. Fukuyama dalam bukunya Identitiy: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment (dalam Farrar, Straus &Giroux; 2018), Menyatakan bahwa politik identitas adalah sebuah tuntutan martabat, dimana sebuah perjuangan terhadap adanya sebab utama ketidakpuasan global pada kapitalisme liberal: Vladimir Putin, Osama bin Laden, Xi Jinping, live matter, gerakan #MeToo, pernikahan gay, ISIS, Brexit, kebangkitan nasionalisme Eropa, gerakan politik anti-imigrasi, politik kampus, dan terakhir pemilihan Donald Trump menurut Fukuyama merupakan beberapa contoh perwujudan politik identitas dalam berbagai penampakannya.

Gerakan politik identitas pada dasarnya membangun kembali "narasi besar"' yang prinsipnya ditolak dan kritik membangun terhadap suatu teori yang mengendalikan (hegemoni) terhadap faktor-faktor biologis sebagai penyusun perbedaan-perbedaan mendasar sebagai realitas kehidupannya; Dalam gerakan politik identitas ada suatu tendensi untuk membangun sistem apartheid terbalik. Ketika kekuasaan tidak dapat ditaklukkan dan pembagian kekuasaan tidak tercapai sebagai tujuan gerakan, pemisahan dan pengecualian diri diambil sebagai jalan keluar.

Beberapa hal positif yang dapat diambil dari politik identitas adalah ada upaya untuk tetap melestarikan nilai budaya yang menjadi ciri khas bangsa kita yang beragam (majemuk), sehingga penguatan akan budaya tidak akan luntur dan hilang. Penguatan identitas tersebut muncul apabila identitas yang dikonsepkan untuk mewadahiya dirasa tidak dapat mewakili atau menyatukan kelompok-kelompok tersebut. Bahkan, kekuatan kolompok tersebut menimbulkan juga ketegangan antar kelompok untuk memperoleh dominasi dari sebuah konsep yang akan dibangun.

Penguatan identitas kelompok untuk menjadikannya sebagai dominasi dalam sebuah wadah atau bahkan keluar dari wadah disebut sebagai Politik Identitas. Tujuan sebenarnya dari politik adalah mencapai kebaikan bersama. Maka menurut hemat penulis bagaimana pun caranya, entah dengan menggunakan politik identitas atau identitas politik, asalkan pemerintahan yang dibangun atas dasar politik tersebut mampu mewujudkan kebaikan bersama maka ia menjadi baik. (*)

551

Related Post