Babe Ridwan Kocak, Ceplas Ceplos, bukan Kaleng Kaleng

Oleh Edy Mulyadi - wartawan senior FNN 

RIDWAN Saidi wafat. Ahad, 25 Desember 2022 jadi hari terakhir budayawan Betawi ini di dunia yang fana. Kita menyayangi Babe Ridwan. Tapi Allah lebih menyayanginya.

Inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun... Allahumaghfirlahu warhamhu wa'afihi wafu'anhu... Aamiin ya robbal alamiin...

Sebagai wartawan, saya beruntung Allah beri kesempatan mewawancarai Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) periode 1974-1976 ini. Wawancara berlangsung sekitar setahun silam. Sebelum saya dipaksa mendekam di penjara selama 7,5 bulan karena mengkritik pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Penajam Paser Utara, Kaltim.

Wawancara itu bisa disimak di Bang Edy Channel.  Silakan klik https://youtu.be/0N1xLlvU-gg. Atau, versi daur ulangnya bisa ditonton di https://youtu.be/LGlalyiRRYU.

Ceplas-ceplos, Betawi Tulen

Kocak. Ceplas-ceplos. Tipikal Betawi tulen. Wawasannya luas dan ilmunya dalam.

Waktu itu kami (saya dan babe Ridwan) ngobrol seputar penghilangan patung tiga tokoh utama penumpas PKI dari markas Kostrad. Gempar? Mungkin kurang tepat. Kita sebut saja heboh. Gaduh.

Saat peristiwa terjadi, Panglima Kostrad adalah Letjen Dudung Abdurrachman. Jenderal yang satu ini memang beberapa kali menyita perhatian publik. Sebagai Pangdam Jaya, misalnya, Dudung dengan "gagah berani" menurunkan puluhan baliho bergambar Habib Rizieq Shihab (HRS) di seantero Jakarta. 

"Saya yang perintahkan. Kalau FPI mau macam-macam, ayo hadapi TNI!," ujarnya, tegas. Sangat tegas!

"Ke depan kita tetap sampaikan imbauan-imbauan kepada mereka biar paham hukum. Bukan hukumnya dia, tetapi hukum yang berada di Indonesia. Ada pemasangan baliho diam-diam, kita tangkap," kata Dudung lagi kepada wartawan di Markas Kodam Jaya, Jakarta Timur, Senin (23/11/2021).

Kesibukan Dudung "berperang melawan" baliho ini pula yang membuat publik menghadiahinya sebutan "jenderal baliho." Please, jangan tertawa. Tapi kalau anda tak percaya, silakan Googling saja. Banyak, kok, berita seputar ini.

Sebelumnya Dudung juga menyita perhatian publik dengan aksi membangun patung Soekarno. Paling tidak, itulah yang dilakukannya ketika menjadi Gubernur Akademi Militer. Tak tanggung-tanggung, atas perintahnyalah berdiri patung Bung Karno setinggi 18 meter di hall utama Akmil, di Magelang, Jawa Tengah.

Kamus Sejarah Berjalan

Ridwan Saidi lahir 2 Juli 1942. Dia memang bukan pria kaleng-kaleng. Berlatar belakang etnis Betawi, Babe termasuk orang yang sangat luar biasa. Pengetahuannya di atas rata-rata. Pemahaman sejarahnya amat luas.

Sebagai sejarawan, saat bercerita tentang sejarah, khususnya Betawi, tentang Jakarta, dia sangat mumpuni. Begitu juga pengetahuan sejarah dunia, Babe Ridwan sungguh luar biasa. Itu barangkali yang membuat sebagian orang menjulukinya dengan "kamus sejarah berjalan".

Saat ngobrol santai atau sebagai pembicara diskusi dan seminar, bungsu dari lima bersaudara ini juga sering menyelipkan bahasa Belanda dan atau Inggris. Fakta ini juga menunjukkan penguasaannya terhadap dua bahasa tadi tak bisa dipandang sebelah mata.

Ridwan Saidi bukan sejarawan biasa. Dia juga dikenal kritis terhadap penguasa. Darah Betawinya membuat lelaki yang menikah pada 1977 ini egaliter. Bagi banyak kalangan, termasuk saya, Ridwan seperti sudah "putus urat takutnya".

Kritikannya sering tajam dan tanpa tedheng aling-aling. To the point. Dia tak suka ber-eufisme, menghalus-haluskan frasa. Baginya, jika memang hitam ya dikatakan hitam. Tak perlu juga mencari penghalusan kata atau kalimat menjadi tidak atau kurang putih, misalnya.

Meski begitu, Babe Ridwan juga bukan orang yang "main seruduk" tanpa peduli pada yang menghadang di depan. Saat diperlukan berbelok atau sedikit mingser, dia pun tak segan melakukannya.

Saat wawancara tersebut, misalnya. Babe Ridwan sempat memilih sikap ngeles. Ini terjadi ketika saya desak adakah hubungan penghilangan patung tiga jenderal di Kostrad dengan PKI.

"Ya pegimana jawabnya kalau Edy Mulyadi sudah tanya kayak gini? Gimana harus jawabnya...? Secara ilmu fiqih, saya ijma' sukuti, ijma' dengan diam saja. Hahahaha..." tukas Ridwan dengan tertawa terbahak-bahak.

Namun secara umum, Ridwan Saidi sangat menyayangkan penghilangan patung tiga jenderal tersebut dari diorama di markas Kostrad. Dia bahkan berpendapat, Pangkostrad harus bertanggungjawab.

"Secara fisik, patung ketiga jenderal penumpas PKI itu memang milik Kostrad. Tapi secara ideal (mungkin maksudnya ideologis), patung tersebut milik bangsa dan rakyat Indonesia.  Pangkostrad sekarang harus mempertanggungjawabkannya. Patung itu harus dikembalikan ke tempat semula," ujar Babe.

Ridwan Saidi sudah berpulang. Sungguh, kontribusinya bagi republik ini tidak tidak bisa dipandang enteng. Sangat berarti. Selamat jalan Babe Ridwan Saidi.

Kita berdoa, semoga Allah menempatkannya di tempat terbaik di kehidupan abadi. Sebagai muslim, saya yakin, Insya Allah, beliau husnul khotimah. Amin ya robbal alamin. (*)

488

Related Post