Tak Mampu Berantas Korupsi, Sejumlah Tokoh Menyerukan Pembubaran KPK

Jakarta, FNN – Reformasi 1998 salah satunya melahirkan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberantas praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sangat parah. Namun, dalam 25 tahun perjalanannya, kini KPK semakin lemah dan kehilangan marwah. Independensi, profesionalitas, dan integritas telah jauh dari lembaga yang digadang-gadang menjadi lembaga superbodi dalam pemberantasan korupsi tersebut. Demikian benang merah yang bisa ditarik dari diskusi publik 25 Tahun Reforomasi bertajuk “Mengembalikan Marwah KPK sebagai Institusi Penegak Hukum yang Independen, Profesional, dan Berintegritas” di Universitas Paramadina, Senin (03/04/2023).

Diskusi yang dipandu oleh Hersubeno Arief dari FNN ini menghadirkan pembicara antara lain Saut Situmorang (Wakil Ketua KPK 2014-2019), Bivitri Susanti (ahli hukum Universitas Indonesia), Hamdan Zoelva (mantan Ketua MK), Ahmad Khoirul Ulum (Ahli Politik dan Anti Korupsi Universitas Paramadina, Suparji Ahmad (Ahli Hukum Pidana Universitas Al Azhar Indonesia), Hamdani (Ahli Keuangan Negara), Soemardjijo (Ahli Keuangan Negara Tipikor), dan Sudirman Said (Penggagas Masyarakat Transparansi Indonesia).

Didik J Rachbini,  Rektor Universitas Paramadina  menegaskan bahwa Presiden Joko Widodo adalah satu-satunya presiden yang ikut serta melemahkan KPK. “Ia menyetujui perubahan UU KPK, di mana presiden sebelumnya tidak pernah mau menyetujuinya. Rapat dilakukan di waktu subuh saat orang tidur. Setelah Presiden Jokowi menyetujui, lalu KPK dipakai untuk membunuh lawan-lawan politik. Demokrasi betul-betul dikebiri,” katanya dalam pembukaan diskusi.

Saut Situmorang, Wakil Ketua KPK 2014-2019 menyatakan bahwa KPK saat ini sudah pasti tidak independen, professional, dan berintegritas. Kalau KPK independen kata Saut, maka kita tidak akan membahas di sini.  “Hari ini ada ruang gelap yang dibuat oleh Jokowi. Ketika UU KPK diubah saya yang paling getol menolak,” katanya.

Setelah UU KPK diubah kata Saut, kini orang dengan mudah menggunakan fasilitas publik, mentersangkakan orang tanpa proses hukum, Badan Pemeriksa Keuangan bisa diatur, dan lembaga negara dipimpin orang-orang yang bermasalah.

“Begitu mudahnya cuci uang 349 triliun dianggap hal biasa. Ini tidak cukup sampai di sini, kita cari presiden yang benar. Ini akan sangat berbahaya kalau dibiarkan. Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi,” tegasnya.

Saut mempertanyakan KPK selama 8 terakhir ini nilai apa yang di-create? “Indeks pemberantasan Korupi Indonesia tahun 2019 masih 40, lalu turun ke 37, dan turun lagi 34, nilai apa yang diciptakan oleh KPK saat ini,” katanya geram.

Oleh karena itu Saut menyarankan agar ke depan masyarakat bisa memilih presiden yang tepat, minimal  risiko korupsinya kecil. “Saya sebut saja Anies,” tambahnya.

Sementara Bivitri Susanti, ahli hukum Universitas Indonesia mengingatkan bahwa KPK yang harus dibubarkan adalah KPK sekarang yang telah dirusak dan daya rusaknya sangat hebat. KPK sebelum tahun 2019 kata Bivitri adalah KPK yang masih punya integritas, independen, dan profesional.

Bivitri ingat bahwa sebelum KPK lahir ada BIAK, Badan Independen Anti Korupsi yang ia ikut melahirkannya. “Inilah embrio KPK tahun 1999,” paparnya.

Sebetulnya sejak tahun 2009, KPK sudah diincar untuk dilemahkan karena terlalu berbahaya buat penguasa. Dulu ada kasus Bibit Chandra, Cicak Buaya,  Susno Duadji, dan Bambang Widjojanto. Ketika itu KPK masih kuat, akan tetapi akhirnya tahun 2019, KPK kalah. Sekarang yang dihitung bukan  soal baik buruk, tetapi soal berbahaya atau tidak bagi politisi.

Independensi kata Bivitri mencerminkan posisi KPK dalam hubungannya dengan lembaga lain dalam putusan politik, dalam hal ini presiden bahwa bagaimana politisi mengizinkan atau tidak mengizinkan sebuah aturan.

Hal senada dikemukakan oleh Hamdan Zoelva, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. Ia menegakan bahwa dirinya ikut membidani lahirnya UU KPK, 25 tahun yang lalu.

“Saya ikut bikin UU KPK yang mempunyai fungsi supervisi dan koordinasi. Kejaksaan dan kepolisian semua di bawah supervisi dan koordinasi KPK. Jadilah ia lembaga superbody,” paparnya.

Karena superbodi itulah maka lanjut Hamdan sejak awal KPK ditolak oleh kejaksaan. Kemudian dipilihlah orang-orang yang berintegritas, profesional supaya tidak disalahgaunakan. Mereka harus kuat menghadapi institusi lain yang bermental buaya.

Lembaga ini didirikan agar bisa memilih kasus dalam penindakan, karena terlalu banyak kasus korupsi di Indonesia. Faktanya kini KPK menindak kasus berdasarkan pesanan. “Berbahaya, kasus yang dipilih bukan berdasarkan pemberantasan korupsi,” tegasnya.

Hamdan menegaskan bahwa cita-cita awal KPK didirikan agar korupsi berkurang. “Nyatanya sekarang tidak ada perubahan apa-apa. KPK sekarang menangani kasus berdasarkan pilihan yang penting atau tidak penting. Hukum selalu berkelindan dengan politik. Yang menang pasti penguasa, hukum jadi  rusak. KPK kini membawa masalah bagi penegakan hukum di Indonesia,” paparnya.

Ahmad Khoirul Ulum, Ahli Politik dan Anti Korupsi Universitas Paramadina  menegaskan bahwa KPK lahir dari proses politik. Sebelum ada KPK, dulu ada namanya TGPTK (Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Saat itu siap menyasar elite kekuasaan, tetapi akhirnya dihentikan langkahnya. Proses penyidikan dihentikan. Ketika sudah mulai masuk ke jantung kekuasaan, maka dibredel. Sejarah selalu begitu. Sama dengan sekarang, untuk meruntuhkannya KPK dituduh sarang Taliban. Faktanya yang dihentikan banyak Nasrani dan Budha serta agama lain.

Ahmad menegaskan bahwa pilar reformasi dan demokrasi telah dilemahkan dengan narasi demokrasi. Mereka katakana pembangunan baru bisa dilakukan kalau stabilitas politik terjamin, tetapi faktanya kini KPK hanya bisa menciptakan kegaduhan.

Menurut Ahmad, kredibilitas KPK saat ini anjlok, kepemimpinan KPK sangat penting dan berpengaruh. Survei yang dilakukan untuk menilai kinerjak KPK menempatkan penanganan kasus Formula E rendah sekali. “Kasus ini paling tidak dipercaya oleh publik. Semua karena presiden. Dia pegang hak veto. Hati-hati dengan gimmick politik yang akan merutuhkan konteks demokrasi,” paparnya.

Suparji Ahmad, Ahli Hukum Pidana Universitas Al Azhar Indonesia menegaskan bahwa marwah adalah sebuah kehormatan dan harga diri. Marwah KPK adalah independen, kredibiltas, transparansi, profesionalitas, dan obyektivitas dimana sekarang ini semua tidak ada.

“Kita ingat kasus helikopter dan sprindik bocor, ini ada persoalan pada marwah KPK. Ada nuansa politik sangat kuat dalam penanganan kasus ini yang  menyebabkan marwah KPK hilang,” paparnya.

Dalam kasus Formula E kata Suparji, KPK terlihat memaksakan kehendak sehingga sampai sekarang justru tidak jelas, ini bagian dari hilangnya marwah KPK.

“Marwah KPK mengalami kelunturan. Semua penanganan kasus selalu dikaitkan dengan politik. Kepala negara, ekskutif dan legislatif harus punya peran dalam menjaga indepenesi KPK. Kalau tidak melakukan pengawasan, KPK akan menari-nari dengan kepentingan politik. Ini harus ada intensitas yang lebih sering mengembalikan marwah KPK. Harus ada langkah kongkret menegakkan hukum. KPK saat ini hanya menjadi sandera politik,” paparnya.

Sementara Hamdani, Ahli Keuangan Negara, mantan staf ahli Mendagri menyatakan bahwa KPK saat ini hanya tenar daam kegaduhan. “Dulu penanganan hukum oleh KPK tidak perlu gaduh. Sekarang penuh kegaduhan. Kita bisa lihat poisis Presiden Jokowi dalam menempatkan pimpinan dan dewan pengawas,” paparnya.

Khusus Formula E menurut  Hamdani, KPK tampaknya kehabisan akal, perlu dua alat bukti tapi tak bisa membuktikan, salah satu pun. Penanganan Formulas E merpakan perkara terlama dan terpanjang. Ada ketidaksesuaian antara komisioner dan penyidik.

Hal senada dikemukakan oleh Soemardjijo, Ahli Keuangan Negara Tipikor. Ia menegaskan bahwa KPK saat ini hanya bikin gaduh. “Sebagai ahli akuntan saya yakin Formul E tidak ada satu rupiah kerugian negera. Semua proses pembuatan sesuai UU 23 tahun 2014 soal Keuangan Negara.   Kalau ada korupsi di Formula E maka Mendagri juga terlibat. Firli tidak melihat kondisi riil di lapagan.” katanya.

Soemardjijo mengisahkan bahwa kerja penydikan perlu kehati-hatian. “Di kejaksaan kerja 3 tahun dengan sunyi, bukan gaduh. Setelah BPK melakukan PDTT, baru memberi masukan pada penyidik untuk menjadi tersangka, butuh waktu 6 bulan, baru masuk pengadilan. Ini sekarang semua kok instan,” tegasnya.

Sudirman Said, penggagas Masyarakat Transparansi Indonesia menyatakan KPK sekarang sudah tidak kredibel, maka ia menyarankan  untuk dibubarkan. Keberadaan KPK lebih banyak melaiharkan mudarat dari pada manfaat.

Lewat KPK diharapkan seluruh penyelengaraan negara bebas dari praktek korupsi. Dulu yang dipilih kasus kasus yang super, yang punya fenomena perhatian publik agar jera. Dalam perjalanan semua mengalami penurunan.  Selama 8 tehaun terakhir, intrumen kontrol mengalami pembusukan. Saat ini kita sangat berbahaya sekali. Tetapi oleh pimpinan politik pura-pura tidak sadar.

“KPK segera dibubarkan karena sudah tidak ada unsur idelialistik yang dibanggakan,” tegasnya.

Menyitir studi Kompas, Sudiran Said menegaskan bahwa salah satu penentu kredibilitas turun adalah kepemimpinan. Sejak di masa Presiden SBY sudah ada usaha pelemahan KPK. Bahkan terjadi berulang ulang, tapi SBY selalu menolak. Aneh, Presiden Jokowi merestui revisi UU KPK. (sws)

944

Related Post